oleh Kaheel Baba Naheel
Sebelum
membaca risalah yang kecil ini, ada baiknya Saudara- saudaraku
mengheningkan hati sejenak dan membuang doktrin- doktrin ta'ashubiyah
kemazhaban agar dapat membaca risalah ini nantinya dengan sikap yang
netral dan pikiran yang jernih.
Ada sebuah fenomena yang
sangat pelik telah mendorong saya untuk menulis sebuah risalah sederhana
ini dimana sebagian orang telah menjadikan tarku an-Nabi (ترك النبي )
atau dalam bahasa kita (hal-hal yang ditinggalkan atau tidak dilakukan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) itu sebagai hujjah (alasan hukum)
untuk mengharamkan amal ibadah orang lain.
Pertanyaannya adalah
apakah benar jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan
atau tidak melakukan suatu perkara, lantas menjadi haram hukumnya bagi
kita untuk melakukan suatu perkara itu? Saya harap Saudara-saudaraku
sekalian memahami pertanyaan saya itu sebab di situlah inti dari
pembahasan kita ini.
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas ada
baiknya kita memahami dahulu sebuah pertanyaan yang lebih mendasar lagi,
apakah benar jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
melakukan sesuatu, berarti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
ingin memberitahukan kita bahwa sesuatu itu haram?
Jawabannya
tentu saja tidak, karena di sana ada sebab-sebab lain mengapa Rasulullah
meninggalkan sesuatu yang berarti bukan serta-merta sesuatu yang
ditinggalkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu haram
dilakukan oleh kaum muslimin.
Di antaranya adalah:
1.
Terkadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu
hanya karena adat atau kebiasaan saja, seperti yang pernah terjadi
ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat bertamu ke
suatu kaum dimana mereka disuguhkan daging dhob (biawak padang pasir)
panggang dan kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membentangkan
tangannya yang mulia untuk mengambil daging itu, dan serta merta sahabat
mengatakan wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah
daging dhob. Langsung Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik
tangannya kembali dan tidak jadi mencicipi dhob tersebut. Kemudian para
sahabat bertanya, "Apakah ianya haram wahai Rasulullah?"
Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Tidak, hanya saja
daging dhob ini tidak ada di tempatku maka aku merasa tidak suka untuk
memakannya. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh para
sahabat untuk melahap daging itu dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
melihat dan membiarkan mereka..
Dari riwayat yang diriwayatkan
oleh Bukhari-Muslim di atas, sangat jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam meninggalkan memakan daging dhob bukan karena ingin
memberitahukan bahwa daging dhob itu haram, tetapi karena sebab lain
yaitu beliau tidak suka dengan daging dhob.
2. Terkadang
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena takut
sesuatu itu diwajibkan kepada umatnya. Seperti Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam meninggalkan sholat tarawih justru ketika para sahabat
berkumpul untuk mengikuti tarawehnya dari belakang.
3.
Terkadang pula Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu
karena tidak terpikir atau terlintas dibenaknya untuk melakukan sesuatu
itu. Seperti dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam khutbah jum'at
hanya di atas sebuah tunggul kurma dan tidak pernah terlintas sebelumnya
dalam benak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membuat sebuah
mimbar sebagai tempat berdirinya ketika khutbah. Kemudian para sahabat
mengusulkan untuk membuat mimbar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun
menyetujuinya sebab memang itu sebuah usulan yang baik dan membuat
semua jama'ah dapat mendengar suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
4
. Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu
karena sesuatu itu bebas boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan
semisal ibadah-ibadah tathowwu' seperti sedekah, zikir, sholat dhuha,
tilawah qur'an dan sebagainya. Ibadah-ibadah ini jika ditinggalkan tidak
mengapa dan jika dikerjakan sebanyak- banyaknya maka termasuk
sebagaimana yang dikatakan dalam keumuman ayat:وافعلوا الخير لعلكم
تفلحون (الحج:77
...dan lakukanlah kebajikan agar kamu beruntung. (Al-Hajj:77)
Dan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan sholat dhuha setiap
hari. Bukan berarti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin
memberitahukan kepada kita bahwa sholat dhuha tiap hari itu haram.
Begitu pula zikir selepas sholat, terkadang Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam meninggalkannya dengan berbagai alasan seperti
perang, menunaikan hak kaum muslimin dan sebagainya. Bukan berarti
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin memberitahukan kepada
kita bahwa melakukan zikir setiap kali selesai sholat adalah haram.
5.
Pernah juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu
karena sesuatu itu adalah perkara sensitif yang dikhawatirkan akan
menyinggung perasaan kaum Quraisy pada waktu itu sehingga berpengaruh
akan menggoyang keimanan mereka yang masih baru. Seperti Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meninggalkan untuk tidak merehab
kembali bangunan ka'bah kepada ukuran semula sebagaimana yang pernah
dibangun Nabi Ibrahim As sebab khawatir banyak kaum muslimin Quraisy
yang masih baru keislamannya pada waktu itu akan berubah hatinya kembali
kepada kekafiran.
6. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam juga meninggalkan untuk menulis hadits-hadits beliau di masa
hidupnya karena takut tercampur dengan ayat-ayat Alquran yang juga
sedang disuruh untuk menulisnya di daun-daun, tulang-tulang, batu- batu
dan pelepah kurma. Ini bukan berarti menulis hadits- hadits Nabi Saw
itu haram hukumnya. Dan buktinya sepeninggal Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan setelah Alquran dibukukan, kaum muslimin bersepakat untuk
menuliskan dan membukukan hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
Dari
sedikit contoh di atas dapat kita jawab pertanyaan di awal risalah ini
bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan atau
tidak melakukan suatu perkara maka tidak menjadi haram hukumnya bagi
kita untuk melakukan suatu perkara itu.
Berikut saya sertakan dalil dari Alquran dan sunnah akan pernyataan saya di atas:
1. Biasanya untuk menunjukkan sesuatu itu haram, Alquran dan sunnah menggunakan lafazh- lafazh larangan, tahrim atau ancaman siksa ('iqob), seperti:
ولا تقربوا الزنا...(الإسراء:32
...dan janganlah engkau dekati zina...(Al-Isra:32)
188:ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل... (البقرة
...dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara yang batil...(Al-Baqarah:188)
: حرمت عليكم الميتة و لحم الخنزير...(المائدة:3
Diharamkan atasmu bangkai dan daging babi...(Al-Maidah:3)
قال صلى الله عليه و سلم: من غش فليس منا (رواه مسلم
Rasulullah Saw bersabda:"Siapa yang berdusta maka bukan daripada golongan kita."
Dari
nash-nash di atas, para ulama mengistimbath hukum bahwasanya zina,
memakan harta orang lain secara batil, memakan bangkai dan babi serta
berbohong adalah haram. Dan tidak pernah di dalam istimbath hukum, para
ulama kita menggunakan tark Nabi (sesuatu yang ditinggalkan atau tidak
dikerjakan Nabi Saw) sebagai hujjah untuk mengharamkan sesuatu.
2. Coba perhatikan ayat dan hadits berikut ini:
وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا...(الحشر:7
...dan apa-apa yang didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarang Rasul maka tinggalkanlah...(Al-Hasyr:7)
Dari
ayat di atas sangat jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu jika
dilarang Rasul, bukan ditinggalkan atau tidak dilakukan Rasul. Coba
perhatikan bunyi ayat di atas
وما نهاكم عنه bukan وما تركه.
Kemudian coba perhatikan hadits berikut ini:
قال صلى الله عليه و سلم: ما أمرتكم به فأتوا منه ما ستطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه (رواه البخاري
Nabi
Saw bersabda: "Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan
apa yang aku larang maka jauhilah!" (Riwayat Bukhari)
Dari hadits di atas sangat gamblang bahwa bunyi haditsnya "وما نهيتكم عنه" dan bukan
وما تركته فاجتنبوه
3. Bahwasanya para ulama ushul fiqih mendefinisikan sunnah(السنة) sebagai: perkataan (القول), perbuatan (الفعل) dan persetujuan (التقرير) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan tark-nya(الترك) Jadi siapapun yang melakukan sesuatu dan sesuatu itu tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bisa dikatakan dia telah bertentangan dengan sunnah, sebab tark bukan bagian dari sunnah.
4. Para ulama ushul fiqih telah bersepakat semuanya bahwa landasan hukum (hujjah) untuk menentukan sesuatu itu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh dengan empat landasan hukum yaitu: Alquran, sunnah, ijma' dan qiyas. Dan tidak pernah at-tark dijadikan sebagai landasan hukum (hujjah).
Begitulah cara para ulama kita mengetahui hukum dari
sesuatu perkara. Dan saya melihat hanya sebagian kecil saja ulama-ulama
yang menggunakan at-tark ini sebagai hujjah. Ulama yang pertama sekali
menggunakan at-tark ini sebagai hujjah adalah Imam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dan sekarang diikuti manhaj ini oleh para ulama Arab Saudi
dan cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama salaf
sebelum beliau (Imam Ibnu Taimiyah). Ini adalah sebuah kekhilafan yang
sangat fatal sebab akan menyebabkan banyak sekali perkara-perkara sunnah
lagi baik digolongkan kepada bid'ah hanya karena perkara-perkara itu
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Ini akan menyempitkan ladang
amal dan ibadah bagi kaum muslimin, padahal kita semua sudah tahu bahwa
ladang amal dan ibadah itu bagi kaum muslimin sangat luas sampai-
sampai seluruh perkara yang bernilai manfaat dan diniatkan untuk Allah
adalah ibadah dan seluruh hamparan bumi ini di anggap sebagai tempat
sujud oleh Islam.
Yah...begitulah manusia, terkadang benar dan
terkadang salah. Terlebih dalam ijtihad agama, benarnya diberi pahala
dua dan salahnya masih diberi pahala satu. Dan sebagaimana kata Imam
Malik radhiyallahu 'anhu: "Setiap kalam itu mungkin ditolak dan mungkin
diterima kecuali kalam penghuni kubur ini (mutlak dapat diterima)". Imam
Malik sambil mengisyaratkan tangannya kepada maqam Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berziarah ke maqam Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam..
Wallahu a'lam.
Disarikan dari kitab Husnut- Tafahumi wa Ad-Darki Limas'alatit-Tark lil imam Abdillah Shodiq Al-Ghumary.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar