tag:blogger.com,1999:blog-30053846069449642952024-03-21T00:20:13.260-07:00Blogger AswajaThis is the real moeslem Talk with facts and datawahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.comBlogger99125tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-25857711963727220202012-06-18T20:27:00.000-07:002016-11-22T11:28:31.226-08:00Hukum Menonton Piala EURO 2012 ( Fatwa koplak Ulama Tentang Hukum Mononton Pertandingan Sepak Bola )<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: left;">
<span class="hasCaption"><span dir="rtl"><br />
Pertanyaan: Apa hukum menonton sepak bola yang ditayangkan di televis<br />
<br />
Jawaban: Saya memandang bahwa menyaksikan permainan-permainan yang ditayangkan di televisi atau yang lainnya dari berbagai tayangan adalah menyia-nyiakan waktu.<br />
<br />
Dan sesungguhnya seorang manusia yang berakal, dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya dengan perkara-perkara seperti ini yang tidak mendatangkan faidah sama sekali. Ini jika dia selamat dari kerusakan lainnya. Dan jika terdapat bersamanya kerusakan yang lain, yang akan menumbuhkan dalam hati penontonnya yang bersenang-senang tersebut perasaan bangga kepada pemain yang kafir, maka ini tidak meragukan lagi adalah perbuatan haram, sebab kita tidak boleh sama sekali memuliakan orang kafir, apapun yang dia dapatkan dari kemajuan, sesungguhnya tidak boleh sama sekali kita memuliakan mereka.<br />
<br />
Ataukah pada pertandingan-pertandingan tersebut telah nampak padanya paha-paha para pemuda yang dapat menimbulkan fitnah, bahkan menurut pendapat yang mengatakan bahwa paha bukan termasuk aurat, maka saya tidak mengatakan bahwa para pemuda boleh menampakkan pahanya sama sekali. Adapun kalau kita menyatakan bahwa paha termasuk aurat, sebagaimana yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad, maka perkaranya lebih jelas lagi bahwa hal tersebut tidak boleh.<br />
<br />
Yang jelas, yang aku nasehatkan kepada saudara-saudaraku agar mereka semangat untuk menjaga waktu-waktunya, karena sesungguhnya waktu itu lebih mahal dari harta. Apakah kalian tidak membaca firman Allah ta’ala:<br />
<br />
حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ<br />
<br />
“Sehingga apabila telah datang kematian ke salah seorang dari mereka, maka ia berkata, ‘Kembalikanlah aku, semoga aku bisa kembali beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan.’” (QS. Al Mukminun: 99 – 100)<br />
<br />
Dia tidak mengatakan: “Kembalikan aku agar aku dapat bersenang-senang dengan dunia”, namun dia mengatakan: “Semoga aku dapat beramal shalih terhadap apa yang aku tinggalkan, untuk menggantikan waktu yang telah ia lewati sebelum mati.<br />
______________________<br />
<br />
Sumber: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin. Teks asli bisa disimak melalui tautan berikut ini (audio): <a href="http://ar.islamway.com/fatwa/111" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://ar.islamway.com/<wbr></wbr><span class="word_break"></span>fatwa/111</a><br />
<br />
Perkataan ulama lain terkait hal ini:<br />
[1] Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Sholih Fauzan, Syaikh Bakar Abu Zaid (Komite Fatwa Lajnah Daaimah): <a href="http://bit.ly/JLKRKT" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://bit.ly/JLKRKT</a><br />
[2] Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin: <a href="http://bit.ly/NnStq3" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://bit.ly/NnStq3</a><br />
[3] Perkataan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Syaikh Hamud At-Tuwaijiri, Fatwa Syaikh Rabi’ bin Hadi, dan Syaikh Ibnu Jibrin: <a href="http://bit.ly/KnJrTK" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://bit.ly/KnJrTK</a><br />
[4] Fatwa Lajnah Daaimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Saudi Arabia: <a href="http://bit.ly/O0fE7w" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://bit.ly/O0fE7w</a><br />
<br />
ما حكم مشاهدة مباريات كرة القدم التي تعرض في التلفاز ؟ - محمد بن صالح العثيمين</span></span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>
wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-63790483160146897352012-06-17T02:19:00.003-07:002012-06-22T20:10:51.396-07:00KENAPA HARUS EMPAT MAZHAB<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg61BE96WgUb0H-vNXssH6MTV8PbAtXuMjSOnm7rYpnNIPil1EPpvEjVxvDGh6sbma64u6iL_ga1CYIE_EOWeiDnwWLngVHbZMMjXgJpIGQxPtVrwElWxsOD1fBZ5NuJF-H2l1boK3-cNT7/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg61BE96WgUb0H-vNXssH6MTV8PbAtXuMjSOnm7rYpnNIPil1EPpvEjVxvDGh6sbma64u6iL_ga1CYIE_EOWeiDnwWLngVHbZMMjXgJpIGQxPtVrwElWxsOD1fBZ5NuJF-H2l1boK3-cNT7/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
Kenapa Harus Empat Mazhab.<br />
Di antara mazhab bidang fiqh yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat. Mereka menjadi panutan warga Nahdliyin, masing-masing adalah:<br />
Pertama: Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Biasa disebut Imam Hanafi. Lahir tahun 80 H, dan wafat tahun 150 H, di Bagdad. Abu Hanifah berdarah Persia, digelari Al-Imam al-A’zham ( Imam Agung ), menjadi tokoh panutan di Iraq, penganut aliran ahlu ra’yi dan menjadi tokoh sentralnya. Di antara manhaj istimbathnya yang terkenal adalah Al-Ihtihsan. Fiqh Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama mazhab Hanafi ditulis oleh dua orang murid utamanya: Imam Abu Yusuf Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani.<br />
Kedua: Imam Malik bin Anas. Biasa disebut Imam Malik. Lahir tahun 93 H, dan wafat tahun 179 H di Madinah. Imam Malik, dikenal sebagai “Imam Dar al-Hijrah”, Imam Malik adalah seorang ahli hadits yang sangat terkenal sehingga kitab monumentalnya yang berjudul “Al-Muwatha” dinilai sebagai kitab hadits hokum yang paling shahih sebelum adanya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ( dua kumpulan hadits shahih yang menjadi rujukan ulama ahlussunnah ). Imam Malik juga mempunyai konsep manhaj istinbath yang berpengaruh sampai sekarang. Kitabnya berjudul al-Maslahah al-Mursalah dan al-Ahl al-Madinah.<br />
Ketiga: Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i. biasa disebut Imam Syafi’i. Lahir tahun 150 H, di Ghaza, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir. Imam Syafi’i mempunyai latar belakang keilmuan yang memadukan antara Ahl al-Hadits dan Ahl al-Ra’yi, karena cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan, di Bagdad. Dia adalah murid senior Imam Abu Hanifah. Metode istinbath Imam Syafi’i ditulis menjdi buku pertama dalam ushul fiqh berjudul al-Risalah. Pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi’i ada dua macam. Yang disampaikan selama di Bagdad disebut “al-Qaul al-Qadim (pendapat lama)”, dan yang disampaikan di Mesir disebut “al-Qaul al-Jadid (pendapat baru)”. Tentang ini semua telah dihimpun Imam Syafi’i dalam kitab “Al-Um”.<br />
Keempat: Imam Ahmad bin Hambal, biasa disebut Imam Hambali. Lahir tahun 164 H, di Bagdad. Imam Ahmad bin Hambal terkenal sebagai tokoh Ahl al-Hadits. Imam Ahmad bin Hambal adalah salah seorang murid Imam Syafi’I selama di Bagdad, dan sangat menghormati Imam Syafi’i. Sampai Imam Syafi’I wafat masih selalu mendoakannya. Imam Ahmad bin Hambal mewariskan sebuah kitab hadits yang terkait dengan hokum Islam berjudul “Musnad Ahmad”.<br />
Alasan memilih Kenapa Empat Mazhab:<br />
Pertama: kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara mendetail.<br />
Kedua: keempat Imam Mazhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Imam Ghazali belum mencapai derajat seperti empat Imam Mazhab itu. Beliau masih mengikuti mazhab Imam Syafi’i.<br />
Ketiga: Para Imam Mazhab itu mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga saat ini.<br />
Keempat: Ternyata para Imam Mazhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual di antara mereka.<br />
Imam Abu Hanifah pada waktu menunaikan ibadah haji sempat bertemu dengan Imam Malik di Madinah. Hal itu merupakan dua tokoh besar dari dua aliran yang berbeda. Imam Abu Hanifah sebagai tokoh aliran ahlu al-Ra’yi, sedangkan Imam Malik merupakan tokoh aliran ahlu al-Hadits. Kedua tokoh ini sempat melakukan dialog ilmiah interaktif di Madinah, yang berakhir dengan sikap saling memuji dan mengakui kepakaran masing-masing di hadapan pengikutnya.<br />
Peristiwa itu kemudian mendorong salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah, yakni Imam Muhammad bin Hasan, belajar kepada Imam Malik di Madinah selama dua tahun.<br />
Imam Syafi’i yang cukup lama menjadi murid Imam Malik dan selama sembilan tahun mengikuti mazhab Maliki, tertarik mempelajari mazhab Hanafi. Ia berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan, yang waktu itu menggantikan Abu Hanifah yang sudah wafat.<br />
Ternyata Imam Muhammad bin Hasan ini sudah pernah bertemu akrab dengan Imam Syafi’I sewaktu sama-sama belajar kepada Imam Malik di Madinah. Di antara keduanya saling tertarik dan mengagumi. Itu terbukti, waktu Imam Syafi’i ditangkap oleh pemerintah Abbasiyah karena difitnah terlibat gerakan ‘Alawiyah di Yaman, yang membela dan memberikan jaminan adalah Imam Muhammad bin Hasan.<br />
Dan yang terakhir: Selama Imam Syafi’i berada di Bagdad yang kedua, Imam Ahmad bin Hambal cukup lama belajar kepada Imam Syafi’i. kalau diperhatikan, ternyata keempat imam mazhab tersebut mempunyai sikap tawadhu’ dan saling menghormati. Kebesaran dan popularitas masing-masing tidak mempengaruhi sikap dan perilaku akhlaqul karimahnya. Itu merupakan citra terpuji dari para pemegang amanah keilmuan yang luar biasa. Hal demikian patut diteladani oleh para pengikt mazhab selanjutnya.<br />
<br />
( Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama, Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU Jawa Timur, 2007, hal, 22 ) </div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-73652779306837758632012-06-17T02:17:00.001-07:002012-06-22T20:12:36.950-07:00TANYA JAWAB ASWAJA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg61BE96WgUb0H-vNXssH6MTV8PbAtXuMjSOnm7rYpnNIPil1EPpvEjVxvDGh6sbma64u6iL_ga1CYIE_EOWeiDnwWLngVHbZMMjXgJpIGQxPtVrwElWxsOD1fBZ5NuJF-H2l1boK3-cNT7/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg61BE96WgUb0H-vNXssH6MTV8PbAtXuMjSOnm7rYpnNIPil1EPpvEjVxvDGh6sbma64u6iL_ga1CYIE_EOWeiDnwWLngVHbZMMjXgJpIGQxPtVrwElWxsOD1fBZ5NuJF-H2l1boK3-cNT7/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
Bab II<br />
Tanya jawab Aqidah ahlussunnah wal jama’ah<br />
<br />
1. Apakah yang dimaksud dengan ilmu agama yang (hukum mempelajarinya) fardlu‘ain??<br />
Jawab: Diwajibkan atas setiap mukallaf (baligh dan berakal) untuk mempelajari kadar ilmu agama yang ia butuhkan seperti masalah aqidah (keyakinan), bersuci, shalat, puasa, zakat bagi yang wajib mengeluarkannya, haji bagi yang mampu, maksiat-maksiat hati, tangan, mata dan lain-lain. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Katakanlah (wahai Muhammad) tidaklah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui” (Q.S. az-Zumar: 9)<br />
Dalam hadits disebutkan:<br />
“Menuntut ilmu agama (yang dlaruri/pokok) adalah wajib atas setiap muslim (laki-laki dan perempuan)” (H.R. al-Bayhaqi)<br />
<br />
2. Apakah hikmah dari penciptaan jin dan manusia ??<br />
Jawab: Untuk diperintahkan Allah agar beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirma “Dan tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali (Aku perintahkan mereka) untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S. adz- Dzariyat: 56)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Hak Allah atas para hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun” (H.R. al Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
3. Bagaimanakah sahnya ibadah ??<br />
Jawab: Beribadah kepada Allah (hanya) sah dilakukan oleh orang yang meyakini adanya Allah dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya” (Q.S. asy-Syura:11)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Tuhan tidak bisa dipikirkan (dibayangkan)” (H.R. Abu al Qasim al Anshari)<br />
Al-Ghazali berkata:<br />
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.<br />
<br />
4. Kenapa Allah mengutus para rasul ??<br />
Jawab: Allah mengutus para rasul untuk mengajarkan kepada umat manusia hal-hal yang membawa kemaslahatan (kebaikan) dalam agama dan dunia mereka. Dan untuk mengajak mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Allah ta’ala berfirman:<br />
“…Maka Allah mengutus para nabi untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan” (Q.S. al Baqarah: 213)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Perkataan paling utama yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah “Laa ilaaha illaallah” (tiada yang disembah dengan benar kecuali Allah)” (H.R. al Bukhari)<br />
<br />
5. Apakah arti Tauhid ?<br />
Jawab: Tauhid adalah mensucikan (Allah) yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya”.<br />
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Junayd. Maksud beliau dengan al-Qadim adalah Allah tidak mempunyai permulaan, sedangkan al-Muhdats adalah makhluk.<br />
Pernyataan ini sekaligus mengandung bantahan terhadap keyakinan Hulul dan Wahdatul Wujud. <br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk- Nya dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya” (Q.S. asy-Syura:11)<br />
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam ditanya: Perbuatan apa yang paling utama?? Rasulullah menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya” (H.R. al Bukhari)<br />
<br />
6. Jelaskan mengenai keberadaan Allah !<br />
Jawab: Allah ada, tidak ada keraguan akan ada-Nya. Ada tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk dan ada tanpa tempat dan arah. Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya.<br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
“Tidak ada keraguan akan adanya Allah” (Q.S. Ibrahim: 10)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan tidak ada sesuatupun selain-Nya” (H.R. al Bukhari dan lainnya)<br />
<br />
7. Apakah makna firman Allah: “Wa huwa ma’akum ainamaa kuntum”.<br />
Jawab: Maknanya bahwa Allah mengetahui kalian di manapun kalian berada, sebagaimana dikatakan oleh Imam Sufyan ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad, Malik dan lain-lain.<br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu” (Q.S. ath-Thalaq: 12)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Janganlah kalian memaksakan diri untuk mengeraskan suara (secara berlebihan), karena kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli dan ghaib, sesungguhnya kalian berdoa kepada Dzat yang maha mendengar lagi maha dekat (secara maknawi, bukan secara fisik)” (H.R. al Bukhari)<br />
Maknanya bahwa tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah.<br />
<br />
8. Apakah dosa yang paling besar ??<br />
Jawab: Dosa paling besar adalah kufur. Dan termasuk kufur adalah syirik. Syirik adalah menyembah selain Allah. Allah ta’ala berfirman tentang Luqman, bahwa Luqman berkata:<br />
“Wahai anakku, jangan menyekutukan Allah (syirik) karena menyekutukan Allah (syirik) adalah kezhaliman yang besar” (Q.S. Luqman: 13)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam pernah ditanya: apakah dosa yang paling besar ?? beliau menjawab: “Engkau menyekutukan Allah padahal Ia telah menciptakanmu” (H.R. al-Bukhari dan lainnya)<br />
<br />
9. Apakah arti ibadah ??<br />
Jawab: Ibadah adalah puncak ketundukan dan ketaatan sebagaimana dikatakan oleh al- Hafizh as-Subki. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Aku (Allah), maka beribadahlah kepada-Ku” (Q.S. al Anbiya’ : 25)<br />
<br />
10. Apakah Doa terkadang bermakna ibadah ??<br />
Jawab: Ya, Allah ta’ala berfirman:<br />
“Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya aku hanyalah beribadah kepada Tuhanku dan tidak menyekutukan-Nya dengan seorangpun” (Q.S. al-Jinn: 20)<br />
Maknanya bahwa aku menyembah atau beribadah kepada Allah. Allah juga berfirman:<br />
“Maka janganlah kamu menyembah (beribadah) seorangpun di samping (menyembah) Allah” (Q.S. al- Jinn: 18)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda yang maknanya adalah: “Doa adalah ibadah” (H.R. al- Bukhari). Makna ibadah dalam hadits ini adalah kebaikan.<br />
<br />
11. Apakah Doa (kadang) mempunyai arti selain ibadah ?<br />
Jawab: Ya, Allah ta’ala berfirman:<br />
“Janganlah kamu jadikan doa (panggilan) Rasulullah di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain” (Q.S. an-Nur: 63)<br />
<br />
12. Apakah hukum memanggil (Nida') seorang nabi atau seorang wali, meski tidak di hadapan keduanya, dan apa hukum meminta kepada nabi atau wali sesuatu yang biasanya tidak pernah diminta oleh umat manusia ??<br />
Jawab: Itu semua boleh dilakukan, karena perbuatan seperti itu tidaklah dianggap beribadah kepada selain Allah. Ucapan “Wahai Rasulullah” semata bukanlah syirik. Dalam sebuah hadits yang tsabit disebutkan bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani (salah seorang sahabat Nabi) mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam saat musim paceklik di masa pemerintahan Umar ibn al-Khaththab –semoga Allah meridlainya- lalu Bilal berkata (di depan makam Nabi): “Wahai Rasulullah ! mohonlah (kepada Allah) agar diturunkan air hujan untuk umatmu, karena sungguh mereka telah binasa” (H.R. al Bayhaqi dan lainnya). Apa yang dilakukan sahabat Bilal ini sama sekali tidak diingkari oleh sahabat Umar dan para sahabat lainnya, bahkan mereka menilai perbuatan tersebut bagus. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menzhalimi diri mereka (berbuat maksiat kepada Allah) kemudian datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulullah-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah maha menerima taubat lagi maha penyayang” (Q.S. an-Nisa: 64)<br />
Juga dalam hadits yang tsabit telah disebutkan: Bahwa Ibnu Umar mengatakan:<br />
(wahai Muhammad) ketika merasakan semacam kelumpuhan pada kakinya (H.R. al- Bukhari dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad)<br />
<br />
13. Jelaskan mengenai arti “Istighatsah” dan “Isti’anah” disertai dengan dalil ??<br />
Jawab: Istighatsah adalah meminta pertolongan ketika dalam keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti’anah maknanya lebih luas dan umum. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat” (Q.S. al-Baqarah: 45)<br />
Dalam hadits disebutkan: "Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighatsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam" (H.R. al Bukhari). Hadits ini merupakan dalil dibolehkannya isti’anah (meminta pertolongan) secara umum kepada selain Allah. Namun hal itu harus disertai dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfa’at secara hakiki kecuali Allah.<br />
<br />
14. Terangkan tentang tawassul dengan para nabi??<br />
Jawab: Para ulama sepakat bahwa tawassul dengan para nabi itu boleh. Tawassul adalah memohon datangnya manfa’at (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya, dengan disertai keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfa’at secara hakiki hanyalah Allah semata. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan carilah hal-hal yang (bisa) mendekatkan diri kalian kepada Allah” (Q.S. al Mai-dah: 35)<br />
Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengajarkan kepada seorang yang buta untuk bertawassul dengannya. Lalu orang buta tersebut melaksanakannya di belakang (bukan di hadapan) Nabi, maka Allah mengembalikan penglihatannya (H.R. ath-Thabarani dan dishahihkannya)<br />
<br />
15. Jelaskan mengenai tawassul dengan para wali ?!<br />
Jawab: Boleh bertawassul dengan para wali, tidak diketahui ada orang yang menyalahi kebolehan ini dari kalangan Ahlul Haqq (orang-orang yang berada di jalur kebenaran), baik generasi Salaf maupun Khalaf. Dalam hadits diceritakan bahwa Umar bertawassul dengan ‘Abbas (paman Rasulullah). Umar berkata: “Ya Allah kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami (‘Abbas) (supaya Engkau turunkan air hujan)” (H.R. al- Bukhari)<br />
<br />
16. Terangkan mengenai hadits al -Jariyah (sebuah hadits di mana Rasulullah bertanya kepada seorang budak perempuan: “Aina Allah??, lalu ia menjawab: Fi as-Sama”)!<br />
Jawab: Hadits tersebut mudltharib (diriwayatkan dengan lafazh matan yang berbeda-beda dan saling bertentangan sehingga menjadikannya dihukumi sebagai hadits dla’if). Adapun sebagian ulama yang menganggapnya shahih, menurut mereka bukan berarti hadits ini mengandung makna bahwa Allah menempati langit. Imam an-Nawawi mengomentari hadits ini dengan mengatakan: “Aina Allah adalah pertanyaan tentang derajat dan kedudukan-Nya bukan mengenai tampat-Nya”. Aina Allah berarti seberapa besar pengagunganmu terhadap Allah??. Jawabannya: “Fi as-Sama” mempunyai makna bahwa Allah, derajat dan kedudukan-Nya sangat tinggi. Tidak boleh diyakini bahwa Rasulullah bertanya kepada budak perempuan tersebut tentang tempat (di mana) Allah ?? dan juga tidak boleh diyakini bahwa budak perempuan itu bermaksud Allah menempati langit. Imam Ali ibn Abi Thalib –semoga Allah meridlainya- berkata:<br />
“Tidak boleh dikatakan di mana bagi Dzat yang menciptakan di mana (tempat) …” (Disebutkan dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiyyah karya Abu al-Qasim al-Qusyairi). Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath menyatakan:<br />
“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada (pada azal) dan belum ada tempat serta makhluk, dan Dia pencipta segala sesuatu”.<br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk- Nya dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya” (Q.S. asy-Syura:11)<br />
Dalam hadits:<br />
“ Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu selain-Nya” (H.R. al Bukhari)<br />
<br />
17. Orang yang mencaci maki Allah hukumnya adalah kafir. Jelaskan mengenai hal ini disertai dengan dalil !<br />
Jawab: al-Qadli ‘Iyadl mengutip Ijma' (kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencaci maki Allah adalah kafir meskipun dalam keadaan marah, bercanda atau hati yang tidak lapang (meski hatinya tidak ridla dengan makian terhadap Allah yang diucapkan oleh lisan). Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah (kepada mereka) Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok (melecehkan), tidak usah kalian meminta maaf, kalian benar-benar menjadi kafir setelah kalian beriman” (Q.S. at-Taubah: 65-66)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Sungguh seorang hamba jika mengucapkan perkataan (yang melecehkan atau menghina Allah atau syari’at-Nya) yang dianggapnya tidak bahaya, (padahal perkataan tersebut) bisa menjerumuskannya ke (dasar) neraka (yang untuk mencapainya dibutuhkan waktu) 70 tahun (dan tidak akan dihuni kecuali oleh orang kafir)” (H.R. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hadits ini hasan)<br />
<br />
18. Sebutkan dalil dibolehkannya ziarah kubur bagi laki-laki dan perempuan ??<br />
Jawab: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Lakukanlah ziarah kubur, karena sesungguhnya ia dapat mengingatkan kalian akan kehidupan akhirat” (H.R. al Bayhaqi)<br />
<br />
19. Bagaimanakah cara masuk Islam ??<br />
Jawab: Cara masuk Islam adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan dengan mengucapkan “Astaghfirullah”. Adapun firman Allah tentang Nabi Nuh ‘alayhi as-salam bahwa ia mengatakan: “Faqultustaghfiruu rabbakum” (QS. Nuh: 10)<br />
Maknanya adalah bahwa Nabi Nuh menyeru kepada kaumnya untuk masuk Islam dengan beriman kepada Allah dan Nabi-Nya Nuh ‘alayhi as-salam supaya Allah mengampuni mereka. Dalam hadits disebutkan:<br />
“Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah” (H.R. al- Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
20. Jelaskan mengenai hukum mengucapkan pujian (mad-h) untuk Rasulullah !<br />
Jawab: Hukumnya boleh dengan Ijma' (kesepakatan para ulama').<br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad mempunyai perilaku yang agung” (Q.S. al Qalam: 4)<br />
Allah juga berfirman:<br />
“… dan mereka memuji, mengagungkan dan membela Rasulullah” (QS. al-A’raf: 157)<br />
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa suatu ketika ada sejumlah perempuan yang memuji Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dengan mengatakan di hadapan Nabi:<br />
“Muhammad adalah seorang tetangga yang sangat agung” (H.R. Ibnu Majah)<br />
Telah disebutkan dengan sanad yang shahih bahwa tidak sedikit sahabat Nabi yang memuji-muji Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam seperti Hassan ibn Tsabit, 'Abbas dan yang lainnya, dan Rasulullah sendiri tidak mengingkari hal tersebut, bahkan sebaliknya justru menganggapnya sebagai perbuatan yang baik.<br />
<br />
21. Jelaskan tentang siksa kubur !<br />
Jawab: Beriman akan adanya siksa kubur adalah wajib, ketetapan akan adanya siksa kubur telah disepakati oleh umat Islam (Ijma’) dan barang siapa yang mengingkarinya maka ia telah kafir. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Kepada mereka (orang-orang kafir pengikut Fir’aun) dinampakkan neraka pada pagi dan petang (di kuburan mereka), dan pada hari terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat): Masukkan Fir’aun dan orang-orang yang mengikutinya dalam kekufuran ke dalam siksa (neraka) yang sangat pedih” (Q.S. Ghafir: 46)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
Maknanya: “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur” (H.R. al-Bukhari)<br />
<br />
22. Apakah makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah ??<br />
Jawab: Makhluk pertama adalah air. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan telah Kami (Allah) ciptakan dari air segala sesuatu yang hidup (dan yang mati)” (Q.S. al Anbiya’: 30)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Segala sesuatu diciptakan dari air” (H.R. Ibn Hibban)<br />
<br />
23. Terangkan mengenai macam-macam Bid’ah dan sebutkan dalil yang menunjukkan adanya Bid’ah Hasanah (yang baik) !<br />
Jawab: Bid’ah secara etimologi adalah segala hal yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun dalam tinjauan syara’, Bid’ah terbagi menjadi dua; Bid’ah Huda (baik) dan Bid’ah Dlalalah (sesat). Allah ta’ala berfirman:<br />
“… dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridlaan Allah” (Q.S. al Hadid: 27)<br />
Allah memuji perbuatan para pengikut nabi Isa ‘alayhissalam yang muslim, yaitu melakukan rahbaniyyah (menjauhkan diri dari hal- hal yang mendatangkan kesenangan nafsu, supaya bisa berkonsentrasi penuh dalam melakukan ibadah), padahal hal itu tidak diwajibkan atas mereka. Hal ini mereka lakukan semata-mata untuk mencari ridla Allah.<br />
Dalam hadits disebutkan:<br />
“Barang siapa yang merintis (memulai) dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang setelahnya yang melakukan perbuatan baik tersebut” (H.R. Muslim)<br />
Para sahabat Nabi dan generasi muslim setelahnya banyak melakukan hal-hal baru (yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah) yang baik dalam agama, dan umat Islam menerima hal itu seperti membangun mihrab (tempat imam di masjid), adzan kedua untuk shalat jum’at, pemberian titik dalam mushhaf (al-Qur’an) dan peringatan maulid Nabi Saw.<br />
<br />
24. Jelaskan mengenai perbuatan sihir !<br />
Jawab: Melakukan sihir hukumnya adalah haram. Allah berfirman:<br />
“Dan tidaklah Nabi Sulaiman itu kafir, akan tetapi syetan-syetan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia (dengan meyakini bahwa hal ini sebagai perkara yang halal dan boleh)” (Q.S. al Baqarah: 102)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda yang maknanya:<br />
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan. Beliau ditanya: Apa saja tujuh hal itu, wahai Rasulullah ?, beliau menjawab: Menyekutukan Allah, sihir…”(H.R. Muslim)<br />
<br />
25. Sebutkan dalil bahwa orang yang melempar lembaran bertuliskan nama Allah ke tempat-tempat kotor (menjijikkan) dengan maksud melecehkan telah kafir !<br />
Jawab: Tidak boleh melemparkan lembaran bertuliskan nama Allah ke tempat kotor (menjijikkan). Dan barang siapa melakukan hal itu dengan maksud melecehkan (menghina) maka ia telah kafir.<br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
“Katakanlah wahai Muhammad (kepada mereka) Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kalian berolok-olok (melecehkan), tidak usah kalian meminta maaf, kalian benar-benar menjadi kafir setelah kalian beriman” (Q.S. at-Taubah: 65-66)<br />
Ibn Abidin berkata: “Telah kafir (keluar dari Islam) orang yang melempar mushhaf (al- Qur’an) ke tempat-tempat kotor (menjijikkan) sekalipun niatnya tidak bermaksud melecehkan karena perbuatanny itu (sudah) menunjukkan pelecehan (penghinaan)”.<br />
<br />
26. Apakah hukum nadzar ?<br />
Jawab: Dibolehkan bernadzar dalam ketaatan kepada Allah, dan nadzar wajib dipenuhi (dilaksanakan). Adapun nadzar dalam hal yang diharamkan maka hukumnya tidak boleh dan tidak wajib dipenuhi. Allah berfirman:<br />
“Mereka (senantiasa) memenuhi nadzar” (QS. al Insan: 7)<br />
Dalam hadits juga disebutkan:<br />
“Barang siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah maka haruslah ia taat kepada-Nya, dan barang siapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya” (H.R. al Bukhari)<br />
<br />
27. Sebutkan dalil bahwa suara perempuan itu bukan aurat !<br />
Jawab: Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan katakanlah (wahai para istri Nabi) perkataan yang baik” (Q.S. al Ahzab: 22)<br />
Al-Ahnaf ibn Qais berkata: “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku mendengarnya dari mulut ‘Aisyah” (H.R. al Hakim dalam kitab al Mustadrak)<br />
<br />
28. Jelaskan mengenai sifat kalam Allah !<br />
Jawab: Allah mempunyai sifat kalam yang tidak serupa dengan kalam kita. Sifat kalam-Nya bukan berupa huruf, suara dan bahasa. Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan Allah telah benar-benar memperdengarkan kalam- Nya kepada Musa” (Q.S. an-Nisa: 164)<br />
Imam Abu Hanifah dalam kitab al Fiqh al Absath mengatakan:<br />
“Allah mempunyai sifat kalam yang tidak menyerupai pembicaraan kita, kita berbicara menggunakan organ-organ pembicaraan dan huruf, sedangkan kalam Allah tidaklah dengan organ-organ pembicaraan dan huruf”.<br />
<br />
29. Apa makna firman Allah : “Arrahmanu ‘alal’arsyistawaa”<br />
Jawab: Imam Malik berkata:<br />
“Istawa sebagaimana Ia mensifati Dzat-Nya, tidak dikatakan (mengenai istawa) bagaimana, dan sifat-sifat makhluk mustahil bagi-Nya”.<br />
Al-Kayf adalah sifat makhluk. Diantara sifat makhluk adalah duduk, bersemayam dan menempati suatu tempat dan arah. Imam al-Qusyairi berkata: “Istawa berarti hafizha, qahara dan abqa; memelihara, menundukkan dan menguasai, serta menetapkan”.<br />
Tidak boleh diyakini bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas ‘arsy, karena keyakinan seperti ini adalah aqidah orang-orang yahudi. Dan aqidah ini merupakan pendustaan terhadap firman Allah:<br />
“Maka janganlah kalian mengadakan serupa-serupa bagi Allah” (Q.S. an-Nahl: 74)<br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan mereka berkumpul untuk dihisab oleh Allah yang Maha Esa lagi Maha menundukkan dan menguasai” (Q.S. Ibrahim: 48)<br />
Imam Ali ibn Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- berkata:<br />
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk dijadikan tempat bagi Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi)<br />
<br />
30. Terangkan mengenai Qadar (takdir) !<br />
Jawab: Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini; kebaikan, keburukan, ketaatan, kemaksiatan, keimanan, kekufuran terjadi dengan takdir Allah, masyi-ah (kehendak)-Nya dan diketahui oleh-Nya. Kebaikan, keimanan dan ketaatan terjadi atas ketentuan Allah dan hal itu dicintai serta diridlai-Nya. Sedangkan keburukan, kemaksiatan dan kekufuran juga terjadi dengan ketentuan Allah, namun tidak dicintai dan tidak diridlai-Nya. Dan tidak boleh dikatakan takdir Allah (sifat maha menentukan) yang merupakan sifat-Nya adalah buruk.<br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (ketentuan)” (Q.S. al- Qamar: 49)<br />
Dalam hadits disebutkan:<br />
“Segala sesuatu terjadi dengan pengaturan (ketetapan Allah) sampai tumpulnya otak dan kecerdasan” (H.R. Muslim)<br />
<br />
31. Sebutkan dalil diharamkannya seorang laki-laki berjabat tangan dengan perempuan yang bukan mahramnya !<br />
Jawab: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Jika salah seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan sebuah besi, itu lebih ringan baginya dari pada disiksa karena menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya” (H.R. ad- Daraquthni)<br />
Dalam hadits lain beliau juga bersabda:<br />
“Dan zina tangan adalah menyentuh” (H.R. al Bukhari) <br />
<br />
32. Jelaskan tentang menbaca al Qur’an untuk mayit !<br />
Jawab: Membaca al-Qur’an untuk mayit muslim hukumnya boleh.Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan lakukanlah kebaikan” (Q.S. al-Hajj: 77) Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
“Bacalah untuk mayit-mayit kalian surat Yasin” (H.R. Ibnu Hibban dan dishahihkannya)<br />
Ahlussunnah sepakat dibolehkannya membaca al Qur’an untuk mayit dan bahwa bacaan itu bermanfaat bagi si mayit. Al-Imam asy- Syafi’i berkata: “Adalah kebaikan apabila dibacakan di atas kuburan mayit muslim beberapa ayat al Qur’an dan lebih baik jika dibacakan al-Qur’an seluruhnya” (dituturkan oleh Imam an-Nawawi dalam Riyadlus-shalihin)<br />
<br />
33. Sebutkan dalil bahwa shadaqah bisa memberikan manfaat terhadap mayit !<br />
Jawab: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:<br />
”Apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya (yang dapat terus mengalirkan pahala untuknya), kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya” (H.R. Ibnu Hibban).<br />
Ketiga hal tersebut adalah di antara amal yang bisa dirasakan manfaatnya oleh mayit muslim karena dialah penyebab terjadinya. Begitu juga firman Allah:<br />
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,. (QS. An-Najm: 39)<br />
Yakni perbuatan baik yang ia lakukan sendiri, hal itu bermanfaat baginya. Dan perbuatan baik yang dilakukan orang lain untuknya yang bukan perbuatannya sendiri, hal ini juga bermanfaat baginya karena fadll (karunia dan kemurahan) Allah ta’ala kepadanya. Sebagai misal adalah shalat jenazah, ia bukan amal perbuatan yang dilakukan mayit, tapi mayit merasakan manfa’at dari shalat tersebut. Dan juga seperti doa Rasulullah untuk orang lain. Doa itu bukan perbuatan orang yang didoakan, namun doa tersebut bisa dirasakan manfaatnya, seperti doa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam untuk Ibnu 'Abbas:<br />
“Ya Allah ajarilah ia hikmah dan (kemampuan untuk) mentakwil al-Qur’an” (H.R. Bukhari)<br />
<br />
34. Sebutkan dalil dibolehkannya qiyam Ramadlan lebih dari 11 raka’at !<br />
Jawab: Allah ta’ala berfirman:<br />
“Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)<br />
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:<br />
“Shalat malam itu dilakukan dua raka’at dua raka’at” (H.R. Bukhari)<br />
Beliau juga bersabda:<br />
“Shalat adalah (termasuk) amal yang terbaik, maka barangsiapa berkehendak, ia (boleh) menyedikitkan bilangan raka’atnya dan barangsiapa berkehendak, ia (boleh) memperbanyak (bilangan raka’atnya) –yang dimaksud dalam hal ini adalah shalat sunnah (nawafil) -” (H.R. Muslim)<br />
<br />
35. Apa dalil dibolehkannya menggunakan rebana?<br />
Jawab: Abu Dawud meriwayatkan bahwa ada seorang perempuan yang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam<br />
“Sungguh aku telah bernadzar untuk memukul rebana di depan engkau, jika Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat”. Beliau menjawab: ”Jika engkau telah bernadzar, maka penuhilah (laksanakan) nadzarmu !”.<br />
<br />
36. Siapakah nabi dan rasul pertama?<br />
Jawab: Nabi dan rasul yang pertama adalah Adam 'alayhissalam.<br />
Allah ta'ala berfirman:<br />
"Sesungguhnya Allah ta'ala memilih Adam dan Nuh (sebagai nabi)…" (Q.S. Ali Imran: 33)<br />
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda yang maknanya:<br />
"Adam dan nabi-nabi yang lain di bawah benderaku pada hari kiamat" (H.R. at- Tirmidzi)<br />
<br />
37. Sebutkan sifat-sifat yang pasti (wajib) berlaku bagi para nabi dan sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka !<br />
Jawab: Para nabi wajib (pasti) bersifat jujur, amanah (dapat dipercaya), sangat cerdas, menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela, pemberani dan fashih dalam berbicara. Mustahil bagi mereka berdusta, khiyanah (tidak dapat dipercaya), berbuat tercela, zina dan dosa-dosa besar lainnya serta kekufuran, baik sebelum diangkat menjadi nabi maupun setelahnya. Allah ta'ala berfirman:<br />
"Dan masing-masing nabi itu kami lebihkan derajat mereka di atas umat seluruhnya" (Q.S. al An'am: 86)<br />
Dalam hadits disebutkan:<br />
"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali bagus rupanya dan indah suaranya" (H.R. at-Tirmidzi)<br />
<br />
38. Apakah makna firman Allah ”Lam yalid wa Lam Yuulad”<br />
Jawab : Bahwa Allah tidak berasal dari sesuatu (tidak diperanakkan) dan tidak terlepas dari-Nya sesuatu (tidak beranak). Allah tidak menempati sesuatu, tidak terlepas dari-Nya sesuatu dan tidak ditempati oleh sesuatu. Al Imam Ja'far ash-Shadiq berkata:<br />
"Barang siapa beranggapan bahwa Allah di dalam sesuatu, dari sesuatu atau di atas sesuatu, sungguh ia telah musyrik". (diriwayatkan oleh Abu al Qasim al Qusyairi dalam ar-Risalah al Qusyairiyyah)<br />
<br />
39. Sebutkan dalil dibolehkannya membaca shalawat atas nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam setelah adzan !<br />
Jawab: Bershalawat atas Nabi shallallahu 'alayhi wasallam setelah adzan adalah boleh. Tidak perlu didengarkan pendapat orang yang mengharamkannya Allah ta'ala berfirman:<br />
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya" (Q.S. al Ahzab: 56)<br />
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:<br />
"Apabila kalian mendengar muadzdzin (orang yang mengumandangkan adzan), maka ucapkanlah seperti yang diucapkannya kemudian bacalah shalawat untukku" (H.R. Muslim)<br />
Beliau juga bersabda:<br />
"Barang siapa menyebutku maka hendaklah bershalawat untukku" (H.R. al-Hafizh as-Sakhawi)<br />
<br />
40. Apakah pengertian riddah dan sebutkan macam-macamnya!<br />
Jawab: Riddah adalah memutus keislaman (orangnya disebut murtad) dengan kekufuran. Riddah terbagi tiga:<br />
1. Riddah Qauliyyah (perkataan) seperti mencaci maki Allah, para nabi atau Islam, walaupun dalam keadaan marah.<br />
2. Riddah Fi'liyyah (perbuatan) seperti melempar mushhaf (al-Qur'an) ke tempat-tempat kotor dan juga seperti menginjak mushhaf.<br />
3. Riddah Qalbiyyah (hati) seperti meyakini bahwa Allah adalah benda atau roh, meyakini bahwa Allah duduk di atas 'arsy atau menempati langit atau meyakini bahwa Dzat Allah berada di semua tempat atau di suatu arah.<br />
Allah ta'ala berfirman:<br />
"Dan mereka telah benar-benar mengatakan perkataan kufur, mereka telah kafir setelah keislaman mereka" (Q.S. at-Taubah: 74)<br />
Allah ta’ala berfirman:<br />
"Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan rembulan" (Q.S. Fushshilat: 37)<br />
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:<br />
"Sesungguhnya seorang hamba jika mengucapkan perkataan (yang melecehkan atau menghina Allah atau syari'at-Nya) yang tidak dianggapnya bahaya, (padahal perkataan tersebut) bisa menjerumuskannya ke (dasar) neraka (yang kedalamannya) lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat" (H.R. al Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
41. Sebutkan dalil dibolehkannya peringatan maulid Nabi shallallahu 'alayhi wasallam !<br />
Jawab: Allah ta'ala berfirman:<br />
"Dan lakukanlah kebaikan supaya kalian beruntung" (Q.S. al Hajj : 77)<br />
Dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:<br />
"Barang siapa memulai (merintis) dalam Islam perbuatan yang baik maka (akan) memperoleh pahalanya" (H.R. Muslim)<br />
<br />
42. Apakah yang dimaksud sabda Nabi : “Idza sa-alta faas-alillah wa idzaasta’anta faasta’in billaah”.<br />
Jawab: Bahwa yang lebih baik untuk dimohon dan dimintai pertolongan adalah Allah. Hadits ini tidak bermakna: "Jangan memohon dan jangan meminta pertolongan kepada selain Allah". Hadits di atas serupa dengan hadits riwayat Ibnu Hibban:<br />
"Yang paling layak untuk diberi makanan adalah orang bertaqwa dan yang layak dijadikan kawan adalah seorang mukmin". Hadits tersebut tidak berarti haram memberi makan kepada selain orang mukmin dan haram menjadikannya sebagai teman.<br />
Allah ta'ala memuji kaum muslimin di dalam al-Qur'an dengan firman-Nya:<br />
"Dan mereka memberikan makanan karena Allah kepada orang miskin, anak yatim dan orang kafir yang ditawan" (Q.S. al-Insan: 8)<br />
Dalam shahih al-Bukhari dan shahih Muslim diceritakan mengenai tiga orang yang meminta kepada Allah dengan wasilah amal shalih mereka, sehingga Allah memudahkan kesulitan mereka.<br />
<br />
43. Sebutkan dalil dibolehkannya ziarah ke makam Rasulullah bagi laki-laki dan perempuan !<br />
Jawab: Disunnahkan berziarah ke makam Nabi dengan Ijma' (kesepakatan para ulama) sebagaimana dikutip oleh al-Qadhi 'Iyadh, an-Nawawi.<br />
Allah ta'ala berfirman:<br />
"Sesungguhnya jikalau mereka ketika menzhalimi diri mereka (berbuat maksiat kepada Allah), kemudian datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang" (Q.S. an-Nisa' : 64)<br />
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:<br />
"Barang siapa berziarah ke makamku, maka pasti ia akan memperoleh syafa'atku" (H.R. ad-Daraquthni dan dinilai kuat oleh al Hafizh as-Subki)<br />
Sedangkan hadits: “Laa tusyaddurrichaalu illa ilaa tsalaatsati masaajida.....”.<br />
maksudnya adalah barangsiapa berkeinginan melakukan perjalanan untuk tujuan shalat di suatu masjid, hendaklah ia pergi ke tiga masjid (masjid al-Haram, masjid an-Nabawi dan masjid al-Aqsha), karena shalat di tiga masjid tersebut pahalanya dilipatgandakan. Anjuran tersebut diartikan sebagai sunnah hukumnya, bukan wajib. Jadi hadits tersebut khusus menerangkan tentang melakukan perjalanan untuk tujuan shalat. Di dalamnya tidak ada keterangan bahwa tidak boleh berziarah ke makam Nabi shallallahu 'alayhi wasallam.<br />
<br />
44. Sebutkan dalil dibolehkannya tabarruk (mengambil berkah atau mencari tambahan kebaikan) !<br />
Jawab: Bertabarruk dengan Nabi dan semua peninggalannya (atsar) adalah boleh. Allah ta'ala berfirman mengenai ucapan Nabi Yusuf 'alayhissalam :<br />
"Pergilah kamu dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku nanti ia akan melihat kembali" (Q.S. Yusuf: 93)<br />
Dalam hadits disebutkan: "Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam membagi-bagikan rambutnya kepada orang-orang supaya mereka bertabarruk dengannya" (H.R. al-Bukhari dan Muslim)<br />
<br />
45. Apakah dalil dibolehkannya memakai hirz yang di dalamnya hanya tertulis al- Qur'an dan semacamnya, dan tidak ada sama sekali di dalamnya lafazh-lafazh tidak jelas yang diharamkan ?<br />
Jawab: Allah ta'ala berfirman:<br />
"Dan kami turunkan dari al-Qur'an sesuatu yang di dalamnya terdapat obat kesembuhan dan rahmat bagi orang-orang yang beriman" (Q.S. al Isra': 82)<br />
<br />
Dalam hadits disebutkan bahwa 'Abdullah ibn 'Amr berkata:<br />
"Kami dulu mengajarkan ayat-ayat al-Qur'an kepada anak-anak kami, dan kepada anak yang belum baligh kami menulisnya di atas kertas lalu menggantungkannya di atas dadanya" (H.R. at-Tirmidzi)<br />
<br />
46. Terangkan mengenai menyebut nama Allah (dzikrullah) ketika mengiringi jenazah !<br />
Jawab: Menyebut nama Allah (dzikrullah) ketika mengiringi jenazah hukumnya boleh tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat). Allah berfirman:<br />
"Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (menyebut nama Allah) dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya" (Q.S. al Ahzab: 41)<br />
Allah ta'ala juga berfirman:<br />
"(Yaitu)..... orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring" (Q.S. Ali Imran: 191)<br />
Dalam hadits diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam berdzikir (menyebut nama Allah) dalam setiap situasi dan kondisi (H.R. Muslim)<br />
<br />
47. Jelaskan tentang takwil !<br />
Jawab: Takwil adalah memahami nash (al Qur'an dan Hadits) bukan secara zhahirnya. Takwil diperbolehkan terhadap ayat-ayat dan hadits yang zhahirnya mengundang pembaca untuk memahami makna yang rusak dan tidak benar (padahal sesungguhnya makna ayat atau hadits tersebut tidak demikian), bahwa Allah memiliki tangan (yang merupakan anggota badan), muka (yang merupakan anggota badan) atau Ia duduk di atas 'Arsy, menempati suatu arah atau disifati dengan salah satu sifat makhluk. Allah berfirman:<br />
"Tidak ada yang mengetahui takwilnya (ayat-ayat mutasyabihat) kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya" (Q.S. Ali Imran: 7)<br />
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi berdoa untuk Ibn Abbas:<br />
"Ya Allah ajarilah ia hikmah dan (kemampuan untuk) mentakwil al Qur'an"<br />
(H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan al Hafizh Ibn al Jawzi)<br />
<br />
48. Sebutkan dalil yang menerangkan bahwa iman adalah syarat diterimanya amal shalih!<br />
Jawab: Allah berfirman:<br />
"Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang beriman (artinya ini adalah syarat), maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dianiaya sama sekali" (Q.S. an-Nisa: 124)<br />
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda<br />
"Perbuatan yang paling utama (secara mutlak) adalah beriman kepada Allah dan rasul-Nya" (H.R. al Bukhari)<br />
<br />
49. Apakah makna firman Allah : “Kullu syai-un illa wajhah”.<br />
Jawab: al-Imam al-Bukhari berkata : “Illa wajhah” "kecuali sulthan (tasharruf –kekuasaan-)Allah". Al-Imam Sufyan ats-Tsauri mengatakan: "…Kecuali amal shaleh yang dilakukan hanya untuk mengharap ridla Allah".<br />
<br />
50. Apakah makna firman Allah : “A-amintum man fiissamaa-I an-yakhsifa bikumul ardh” (QS. Al-Mulik : 16)<br />
Jawab: Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsir al-Bahr al-Muhith mengatakan: "Yang dimaksud “Man fiissamaa-I” dalam ayat tersebut adalah malaikat". Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit.<br />
<br />
51. Apakah makna firman Allah ta'ala : “Wassamaa-a banainaa bi-aidin wa inna lamuusi’uun”. (QS. ad-Dzariyyaat: 47)<br />
Jawab: Ibnu Abbas mengatakan: "Yang dimaksud “Bi-aidin” adalah "dengan kekuasaan", bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.<br />
<br />
<br />
<br />
Kepustakaan.<br />
<br />
Al Asfarayini, Abu al Muzhaffar, at-Tabshir fi ad-Din, Beirut: 'Alam al Kutub.<br />
Al Ashbahani, Abu Nu'aym, Hilyah al Auliya, Beirut: Dar al Kutub alArabi.<br />
Al Asqalani, Ibn Hajar, Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari, Beirut: Dar Ma'rifah.<br />
Al Baghdadi, Abu Manshur, al Farqu Bayna al Firaq, Kairo: Maktabah Shabih.<br />
Al Bantani, Muhammad Nawawi, at-Tafsir al Munir.<br />
Al Bayhaqi, al Asma wa ash-Shifat, Beirut: Dar Ihya' at-Turats al Arabi.<br />
__________, ad-Da'awat al Kabir, Kuwait: tp.<br />
Al Bayyadhi, Isyarah al Maram min Ibarat al Imam, Kairo: Musthafa al Halabi.<br />
Al Buhuti, Manshur, Kasysyaf al Qina' 'an Matn al Iqna', Beirut: 'Alam al Kutub.<br />
Al Bukhari, Shahih al Bukhari, Beirut: Dar al Jinan.<br />
Al Ghazali, Abu Hamid, Ihya' 'Ulumuddin, Beirut: Dar al Ma'rifah.<br />
Al Hakim, al Mustadrak 'ala Shahihayn, Beirut: Dar al Ma'rifah.<br />
Al Harari, Abdullah, Izhhar al 'Aqidah as-Sunniyyah bi Syarhi al'Aqidah ath-Thahawiyyah, Beirut : Dar al Masyari'.<br />
__________, al Maqalat as-Sunniyah fi Kasufi Dhalalat Ahmad ibn Taymiyah, Beirut: Dar al Masyari'.<br />
__________, Sharih al Bayan fi ar-Radd 'ala man Khalafa al Qur'an, Beirut: Dar al Masyari'.<br />
__________, al Gharah al Imaniyyah fi ar-Radd Mafasid at-Tahririyyah, Beirut: Dar al Masyari'.<br />
Al Haytami, Ibnu Hajar, al Minhaj al Qawim –bi Hamisyi al Hawasyi al Madaniyyah-, Damaskus: Maktabah al Ghazali.<br />
Al Haytsami, Majma' az-Zawa-id wa Manba' al Fawa-id, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah.<br />
Al Husni, Taqiy ad-Din, KIfayah al Akhyar, Beirut: Dar al Fikr.<br />
Ibnu 'Asakir, Tabyin Kadzib al Muftari, Beirut: Dar al Kitab al 'Arabi. Ibn al Hajj, al Madkhal, Beirut: Dar al Kitab al 'Arabi.<br />
Ibnu Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad, Beirut: Thab'ah Zuhair asy- Syawisy.<br />
Ibn al Jarud, Muntaqa al Akhbar, Beirut: Dar Ihya' Turats al 'Arabi.<br />
Ibn al Jauzi, Abd ar-Rahman, Daf'u Syubah at-Tasybih, Kairo: al<br />
Maktabah at-Taufiqiyyah.<br />
Ibn as-Sunniy, 'Amal al Yawm wa al Laylah, Beirut: Muassasah al<br />
Kutub as-Tsaqafiyah.<br />
'Illasy, Muhammad, Minah al Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, Beirut: Dar al Fikr.<br />
Al Mardawi, al Inshaf fi Ma'rifah ar-Rajih min al Khilaf, Beirut: Dar Ihya'<br />
al Turats al 'Arabi.<br />
Al Maturidi, Abu Manshur, Ta'wilat ahl as-Sunnah wa al Jama'ah, Beirut: Dar Ihya' Turats al 'Arabi.<br />
An-Naisaburi, Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya' at-Turats al<br />
'Arabi.<br />
An-Nasa-i, 'Amal al Yawm wa al-Laylah, Beirut: Mu-assasah ar-Risalah, Beirut.<br />
An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya' at-Turats al<br />
'Arabi.<br />
___________, Rawdlah at-Thalibin, Beirut: Thab'ah Zuhair as-Syawisy'. Al Qazwini, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: al maktabah al<br />
Ilmiyah.<br />
Al Qurthubi, al Jami' li Ahkam al Qur'an, Beirut: Dar al Kitab al 'Arabi.<br />
Ar-Rafi'i, Abd al Karim, Sawad al 'Aynayn fi Manaqib al Ghawts Abi al<br />
'Alamayn, Beirut: Dar al Masyari'.<br />
As-Shayyadi, Abu al Huda, Kairo: at-Thariqah ar-Rifa'iyyah, Mathba'ah as-Sa'adah.<br />
As-Sya'rani, Abd al Wahhab, al Yawaqit wa al Jawahir, Beirut: Dar al<br />
Fikr.<br />
As-Subki, Taqiy ad-Din, as-Sayf as-Shaqil fi ar-Radd 'ala Ibn Zafil, Kairo:<br />
tp.<br />
As-Suyuthi, Jalal ad-Din, al Hawi li al Fatawi, Beirut: Dar al Kutub al<br />
Ilimiyah.<br />
At-Tamimi, Abu al Fadl, I'tiqad al Imam Ahmad, Manuskrip.<br />
At-Tarmasi, Muhammad Mahfuzh, Mawhibah Dzi al Fadl 'ala Syarh Ibn<br />
Hajar 'ala Muqaddimah Bafadlal, Kairo: al Matba'ah as-Syarqiyah. At-Thabari, Ibnu Jarir, Tahdzib al Atsar, Kairo: tp.<br />
At-Thabrani, al Mu'jam al Kabir, Awqaf Baghdad, Irak.<br />
___________, al Mu'jam as-Shaghir, Beirut: Muassasah al Kutub at- Tsaqafiyah.<br />
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar al Kitab al 'Ilmiyah.<br />
Az-Zabidi, Murtadla, Ithaf Saadah al Muttaqin bi Syarh Ihya' Ulum ad- Din, Beirut: Dar al Fikr.<br />
Az-Zajjaji, Isytiqaq Asma Allah al Husna, Beirut: Muassasah ar-Risalah. Az-Zarkasyi, Bard ad-Din, Tasynif al Masami', Manuskrip. <br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/08/tanya-jawab-aswaja.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/08/tanya-jawab-aswaja.html</a></div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-80138381272147839962012-06-17T02:12:00.001-07:002012-06-22T20:13:46.883-07:00JAwaban atas pernyataan yg menyudutkan aswaja<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
JAWABAN ATAS PERNYATAAN YANG MENYUDUTKAN AHLUSSUNNAH WALJAMAAH<br />
<br />
Telah disampaikan kepada saya mengenai lembaran pernyataan yang menyudutkan ahlussunnah waljamaah, pertama kali yang muncul dalam hati saya adalah :<br />
1. Lembaran ini bermaksud memecah belah kaum muslimin, membawa fitnah untuk merisaukan masyarakat awam.<br />
2. Saya tak percaya bahwa lembaran ini ditulis oleh para ulama, karena terlalu dangkal sekali dan menunjukkan kebodohan dan awam terhadap ilmu syariah, barangkali lembaran ini hanya ditulis oleh para pemuda yang iseng belaka, namun saya akan coba jelaskan satu persatu Insya Allah.<br />
<br />
DALAM HAL SHOLAT<br />
1. Agar meninggalkan kebiasaan membaca Usholi dengan suara keras. Karena niat itu pekerjaan hati, cukup dalam hati saja.<br />
JAWAB<br />
Hal ini merupakan ijtihad Imam Syafii Rahimahullah, barangkali anda belum mengenal siapa imam syafii, Imam Syafi’i adalah Imam besar yang lahir pada th 150 H, beliau adalah murid Al-hafidh Al-Muhaddits Imam Malik rahimahullah, beliau sudah hafidh al-Qur’an sebelum usia baligh, dan ia sudah melewati derajat Al-Hafidh dimasa mudanya, yaitu telah hafal 100 ribu hadits dengan sanad dan matan, dan beliau telah pula melewati derajat Al-Hujjah dimasa dewasanya, yaitu hafal 300 ribu hadits dengan sanad dan matan. Beliau kemudian terus memperdalam Syariah dan hadits hingga diakui oleh para Muhadditsin sebagai Imam, dan salah satu murid beliau sendiri yaitu Imam Hanbali<br />
(Ahmad bin Hanbal) hafal 1 Juta hadits dengan sanad dan matan, dan murid Imam syafi’i banyak yang sudah menjadi Muhaddits dan Imam pula, ratusan para Muhaddits dan Imam yang juga bermadzhabkan syafii jauh setelah beliau wafat, diantaranya Al-hafidh Al-Muhaddits Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi, Imam Al-Hafidh Al- Muhaddits Syarafuddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi, Al-Hafidh Al-Imam Ibn Hajar Al-Atsqalaniy dan imam imam lainnya.<br />
<br />
Maka sangkalan anda batil karena anda hanya menyangkal tanpa ilmu, bukan seorang mujtahid, apalagi Muhaddits, mengenai penggunaan lafadh itu sudah muncul dalam kalangan Imam Madzhab, maka yang bermadzhabkan syafii boleh menggunakannya, dan tak satupun dalil atau ucapan para Imam dan muhadditsin yang mengharamkannya, lalu bagaimana anda mengharamkannya??<br />
<br />
2. Ba’da shalat, imam tidak perlu baca wirid, dzikir dengan suara keras, cukup dalam hati, dan imam ba’da shalat tidak perlu memimpin do’a bersama dengan jama’ah Imam dan jama’ah berdo’a sendiri- sendiri dalam hati.<br />
JAWAB<br />
Rasulullah saw bila selesai dari shalatnya berucap Astaghfirullah 3X lalu berdoa Allahumma antassalam, wa minkassalaam….dst” (Shahih muslim hadits no.591,592) Kudengar Rasulullah saw bila selesai shalat membaca : Laa ilaaha illallahu wahdahu Laa syariikalah, lahulmulku wa lahulhamdu…dst dan membaca Allahumma Laa Maani’a limaa a’thaiyt, wala mu’thiy…dst” (shahih Muslim hadits no.593)<br />
<br />
Hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.808, dan masih banyak puluhan hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasul saw berdzikir selepas shalat dengan suara keras, sahabat mendengarnya dan mengikutinya, hal ini sudah dijalankan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, lalu tabi’in dan para Imam dan Muhadditsin tak ada yang menentangnya.<br />
<br />
Mengenai doa bersama sama Demi Allah tak ada yang mengharamkannya, tidak pada Alqur’an, tidak pada hadits shahih, tidak Qaul sahabat, tidak pula pendapat Imam Madzhab.<br />
<br />
3. Jama’ah ba’da shalat, tidak perlu mencium tangan imam, cukup bersalaman saja.<br />
JAWAB<br />
Kebiasaan mencium tangan merupakan kebiasaan baik sebagai tanda penghormatan, hal ini telah dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibn Abbas ra setelah wafatnya Rasul saw beliau berguru pada Zeyd bin Tsabit ra, maka Ibn Abbas ra disuatu hari menuntun tunggangan Zeyd bin tsabit ra, maka berkata Zeyd ra : “jangan kau berbuat itu”, maka berkata Ibn Abbas ra : “beginilah kita diperintah untuk menghormati ulama-ulama kita”, maka turunlah Zeyd bin tsabit ra dari tunggangannya seraya mencium tangan Ibn Abbas ra dan berkata : “Beginilah kita diperintah memuliakan keluarga Rasulullah saw”.<br />
(Faidhul Qadir oleh Al-hafidh Al-Imam Abdurra’uf Almanaawiy Juz 2 hal 22), (Is’aful Mubtha’ oleh Al Hafidh Al Muhaddits Imam Assuyuthi ).<br />
Anda lihat kalimat : “beginilah kita diperintah..”, kiranya siapa yang memerintah mereka??, siapa yang mengajari mereka??, mereka tak punya guru selain Muhammad Rasulullah saw.<br />
<br />
Riwayat lain adalah ketika Ka’b bin malik ra gembira karena taubatnya diterima Allah swt, ia datang kepada Rasul saw dan mencium tangan dan juga kedua paha beliau saw (Fathul Baari Al-masyhur oleh Imam Al-Hafidh Al-Muhaddits Ibn Hajar Al-Atsqalaniy juz 8 hal 122)<br />
Riwayat lain : “Kami mendekat pada Nabi saw dan mencium tangan nabi saw” (Sunan<br />
Imam Al Baihaqi Alkubra hadits no.13.362)<br />
Riwayat lain : “Berkata Tamiim ra bahwa Mencium tangan adalah sunnah”. (Sunan<br />
Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13.363)<br />
Demikian Rasul saw tak melarang cium tangan, demikian para sahabat radhiyallahu’anhum melakukannya.<br />
<br />
4. Dalam shalat subuh, imam tidak perlu membaca do’a qunut, kecuali bila ada suatu bahaya terhadap kehidupan umat Islam secara keseluruhan.<br />
Do’a qunut boleh dibaca disetiap shalat, bila ada keperluan yang bersifat darurat, tidak hanya dalam shalat subuh.<br />
JAWAB<br />
Berikhtilaf para Imam Madzhab mengenai pembacaan doa qunut, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa Qunut itu diwaktu setiap subuh, dan Imam Hanbali dan Imam Malik berpendapat Qunut adalah setiap waktu shalat.<br />
<br />
Namun satu hal, tidak ada yang mengharamkan Qunut dibaca setiap subuh, bahkan para Mufassirin menjelaskan tak ada qunut kecuali saat shalat subuh, sebagaimana diriwayatkan pada tafsir Imam Attabari Juz 2 hal 566, dan ini merupakan Ijtihad para Imam yang mengeluarkan pendapat dengan beribu pertimbangan, dengan keluasan ilmu syariah yang mendalam, dan telah diakui pula oleh puluhan Imam dan ratusan Huffadhulhadits dan Muhadditsin setelah mereka, maka menyangkal dan mengharamkan hal ini adalah kesesatan yang nyata.<br />
<br />
5. Shalat Rawatib / shalat sunah qobliah / ba’diah adalah sebagai berikut : Qobla subuh, qobla dan ba’da dhuhur, shalat ashar tidak ada rawatib, ba’da magrib dan ba’da shalat isya.<br />
JAWAB<br />
Banyak riwayat lain mengenai rawatib Qabliyah asar, bahwa Rasul saw shalat Rawatib Qabliyah Asar dan tak pernah meninggalkannya (Shahih Imam Ibn Khuzaimah hadits no.1114, 1118, Shahih Ibn hibban hadits no.2452, Mustadrak ala shahihain hadits no.1173, Sunan Attirmidziy hadits no.429 dan masih terdapat belasan riwayat hadits shahih mengenai shalat Qabliyah Asar diantaranya diriwayatkan pada Shahih Ibn Hibban, Shahih Muslim dll.<br />
<br />
<br />
DALAM SHALAT JUM’AT<br />
1. Sebelum khotib naik mimbar, tidak ada adzan dan tidak ada shalat sunat qobla jum’at<br />
JAWAB<br />
Diriwayatkan bahwa ketika jamaah jumat semakin banyak di Madinah maka Khalifah Utsman bin Affan ra menambahkan adzan jumat dengan dua adzan (shahih Bukhari hadits no.870,871,874), maka menggunakan dua adzan ini merupakan sunnah hukumnya, karena Rasul saw telah bersabda : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin para pembawa petunjuk” (shahih Ibn Hibbah, Mustadrak ala shahihain).<br />
<br />
Maka tidak sepantasnya kita muslimin menghapuskan hal-hal yang telah dilakukan oleh para sahabat, karena sungguh mereka jauh lebih mengerti mana yang baik dijalankan dan mana yang tak perlu dijalankan, pengingkaran atas perbuatan sahabat berarti menganggap diri kita lebih mengetahui syariah dari mereka, dan hal ini merupakan pengingkaran atas hadits Rasul saw yang memerintahkan kita berpegang pada sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, maka pengingkaran atas hal ini merupakan kesesatan dan kebodohan yang nyata.<br />
<br />
Mengenai shalat dua rakaat sebelum jum’at hal itu adalah sunnah, sebagaimana teriwayatkan dari belasan hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasul saw melakukan shalat sunnah qabliyyah dhuhur dan ba’diyah dhuhur, dan para ulama dan muhadditsin berpendapat bahwa shalat jumat adalah pengganti dhuhur, demikian para Muhadditsin dan ulama berpendapat bahwa pendapat yang kuat adalah Qabliyah jumat merupakan sunnah. (Fathul Baari Almasyhur Juz 2 hal 426)<br />
<br />
ketika khotib duduk diantara dua khutbah, tidak ada shalawat.<br />
JAWAB<br />
Tidak pernah ada larangan shalawat diperbuat kapanpun dan dimanapun, shalawat boleh- boleh saja dibaca kapanpun dan dimanapun, silahkan munculkan ayat al-qur’an atau hadits shahih yang mengharamkan membaca shalawat dalam suatu munasabah tertentu??, lalu bagaimana terdapat pelarangan dari apa yang tidak diharamkan Allah swt??, ataukah ada syariah baru??<br />
<br />
2. Ba’da shalat jum’at, imam tidak mempunyai kewajiban untuk memimpin do’a bagi makmum dengan suara kuat, silahkan imam dan jama’ah berdzikir, wirid dan do’a masing- masing.<br />
JAWAB<br />
Selama hal itu baik tidak ada salahnya dilakukan, yang tak boleh dilakukan adalah hal-hal yang dilarang dan diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya, dan tak pernah ada hadits dan ayat yang mengharamkan hal ini, maka mengharamkannya merupakan pengingkaran atas syariah.<br />
<br />
3. Dalam shalat jum’at, tongkat yang selama ini dipakai oleh khotib, bukan merupakan sarana ibadah, hanya kebiasaan Khalifah Utsman, sekarang dapat ditinggalkan.<br />
JAWAB<br />
Perbuatan sahabat merupakan hal yang mesti kita jalankan hingga kini, termasuk diantaranya adalah penjilidan Al-qur’an, sebagaimana tak satu ayat pun atau hadits yang memerintahkan Al-qur’an untuk dibukukan dalam satu kitab, itu baru dilakukan dizaman Khalifah Abu bakar ra, dan selesai pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra, maka mereka yang merasa tak perlu mengikuti perbuatan Utsman bin Affan ra berarti mereka pun tak mengakui kitab Al-qur’an yang ada hingga kini, karena penjilidannya baru dilakukan dimasa sahabat, satu hal yang sangat menyakitkan hati adalah kalimat :<br />
“hanya kebiasaan Khalifah Utsman dan sekarang dapat ditinggalkan”, seakan-akan bagi mereka Amirulmukminin Utsman bin Affan ra itu tidak perlu dipanut, bukan seorang baginda mulia yang sangat agung disisi Allah sebagai Amirulmukminin, padahal beliau ini dimuliakan dan dicintai nabi saw.<br />
<br />
4. Sebelum khotib naik mimbar, tidak perlu pakai pangantar dan tidak perlu membaca hadits Nabi SAW tentang jangan berkata-kata ketika khotib sedang khutbah. Tetapi sampaikanlah bersamaan dengan laporan petugas masjid tentang laporan keuangan, petugas khotib dan imam, hal ini sebagai perangkat laporan administrasi masjid bukan proses ibadah dalam shalat jum’at.<br />
JAWAB<br />
Baru kali ini ada muncul ajaran yang mengatakan bahwa kabar laporan keuangan masjid jauh lebih baik dari hadits Nabi Muhammad saw<br />
<br />
<br />
DALAM SHALAT TARAWIH / WITIR / TAHAJJUD<br />
Dalam bulan ramadhan diwajibkan shaum dan dimalam hari disunnahkan shalat tarawih, witir, yang selama ini masih ada yang berbeda pendapat karena itu perlu dikeluarkan himbauan ini.<br />
1. Shalat tarawih, dilakukan Nabi SAW, sebanyak 8 rakaat dan 3 rakaat witir dapat dilakukan dengan cara 4-4-3.<br />
JAWAB<br />
Rasul saw melakukan shalat malam berjamaah dibulan ramadhan lalu meninggalkannya, dan tak memerintahkan untuk melakukannya, dari sini kita sudah mengetahui bahwa shalat sunnah tarawih adalah Bid’ah hasanah, dan baru dilakukan di masa Umar bin Khattab ra, yang mana beliau melakukannya 11 rakaat, lalu merubahnya menjadi 23 rakaat, dan tak ada satu madzhab pun yang melakukannya 11 rakaat, Masjidilharam menjalankannya 23 rakaat, dan Masjid Nabawiy Madinah hingga kini masih menjalankan madzhab Imam Malik yaitu 41 rakaat, tak ada satu madzhab pun yang melakukan 11 rakaat. (Rujuk Sunan Imam Baihaqiy Al-Kubra, Fathul Baari Almasyhur, Al-Umm Imam Syafii)<br />
<br />
2. Tidak disunahkan membaca do’a bersama-sama antara rakaat.<br />
JAWAB<br />
Namun tak ada pula hadits yang mengharamkannya, maka tak ada hak bagi muslim manapun untuk mengharamkan hal yang tak diharamkan oleh Allah, dan berdoa boleh saja dilakukan kapanpun dan dimanapun, dan melarang orang berdoa adalah kesesatan yang nyata.<br />
<br />
3. Tidak dibenarkan antar jama’ah membaca shalawat Nabi bersahut-sahutan<br />
JAWAB<br />
Allah swt memerintahkan kita bershalawat, maka melarang seseorang untuk menjalankan perintah Allah swt Kufur hukumnya.<br />
<br />
4. Sebelum ramadhan tidak perlu shalat tasbih dan shalat nisfu sya’ban dan sedekah ruwah karena hadits tentang kedua shalat tersebut ternyata dhaif, lemah dan berbau pada hadits maudhu (palsu) karena terputus parawinya dan shalat ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat.<br />
JAWAB<br />
Mengenai shalat Tasbih maka haditsnya jelas diriwayatkan pada Almustadrak ala Shahihain dan berkata Imam Hakim bahwa hadits itu shahih dengan syarat Imam Muslim, dan Ibn Abbas ra melakukannya, dan para Muhadditsin meriwayatkan keutamaannya, dan Rasul saw memerintahkannya (Rujuk Fathul Baari Almasyhur, sunan Imam Tirmidzi, sunan Abi Daud, sunan Ibn Majah, Sunan Imam Baihaqi Alkubra).<br />
<br />
Satu hal yang lucu adalah ucapan : “berbau pada hadits maudhu (palsu)”, ini baru muncul Muhaddits baru dengan ilmu hadits yang baru pula, yang mana belasan perawi hadits yang meriwayatkan hal itu namun para ulama sempalan ini mengatakan hal itu mesti dihapuskan.<br />
<br />
5. Pada shalat witir dibulan ramadhan, tidak perlu ada do’a qunut.<br />
JAWAB<br />
Qunut bukan hal yang wajib, Qunut hukumnya sunnah, Qunut pada shalat witir diriwayatkan dengan hadits shahih pada Shahih Imam Ibn Khuzaimah hadits no.1095, Sunan Imam Addaarimiy hadits no.1593, Sunan Imam Baihaqy Alkubra hadits no.4402, Sunan Imam Abu dawud hadits no.1425, dan diriwayatkan pula bahwa membaca qunut witir adalah sesudah setengah pertama ramadhan, yaitu pada setengah kedua (mulai malam 15 ramadhan) (Al Mughniy Juz 1 hal 448) tak ada madzhab manapun yang mengharamkan Qunut di subuh, di witir, bahkan hal ini merupakan sunnah dengan hujjah yang jelas, maka bila muncul pendapat yang mengharamkan Qunut maka jelas bukanlah muncul dari ucapan ulama ahlussunnah waljamaah.<br />
<br />
<br />
DALAM UPACARA TA’ZIYAH<br />
1. Keluarga yang mendapat musibah kematian, wajib bagi Umat Islam untuk ta’ziyah selam tiga hari berturut-turut.<br />
JAWAB<br />
Tidak ada satu madzhab pun yang mengatakannya wajib, hal ini sunnah muakkadah, tidak ada dalil ayat atau hadits shahih yang mengatakan takziyah 3 hari berturut turut adalah wajib.<br />
<br />
2. Kebiasaan selama ini yang masih melakukan hari ke 7, ke 40 dan hari ke 100 supaya ditinggalkan karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW dan tidak ada tuntunannya. Upacara itu berasal dari ajaran agama Hindu dan Budha, menjadi upacara dari kerajaan Hyang dari daratan Tiongkok yang dibawa oleh orang Hindu ketanah melayu tempo dulu.<br />
JAWAB<br />
Mengikuti adat kuffar selama itu membawa maslahat bagi muslimin dan tidak melanggar syariah maka itu boleh saja, sebagaimana Rasul saw pun ikut adat kaum yahudi yang berpuasa di hari 10 Muharram (asyura) karena hari itu hari selamatnya Musa as dari kejaran fir’aun, maka Rasul saw pun ikut berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa asyura (rujuk shahih Bukhari, shahih Muslim)<br />
<br />
Demikian pula kita menggunakan lampu, kipas angin, karpet, mikrofon, speaker dll untuk perlengkapan di masjid yang kesemua itu adalah buatan orang kafir dan adat istiadat orng kafir, boleh saja kita gunakan selama itu manfaat bagi muslimin dan tidak bertentangan dengan syariah, demikian pula Al-qur’an yang dicetak di percetakan, dan mesin percetakan itupun buatan orang kafir, dan mencetak buku adalah adat orang kafir, juga Bedug di masjid yang juga adat sebelum islam dan banyak lagi.<br />
Boleh boleh saja kumpul kumpul dzikir dan silaturahmi dirumah duka 7 hari, 40 hari, bahkan tiap hari pun tak apa karena tak pernah ada larangan yang mengharamkannya.<br />
<br />
3. Dalam ta’ziyah diupayakan supaya tidak ada makan-makan, cukup air putih sekedar obat dahaga.<br />
JAWAB<br />
Bukankah air putih pun merupakan hidangan??, bila anda mengharamkan hidangan bagi yang takziah, lalu dalil apa yang anda miliki hingga anda memperbolehkan air minum dihidangkan??, telah sepakat Ulama bahwa hidangan di tempat rumah duka hukumnya makruh, sebagian mengatakannya mubah.<br />
<br />
4. Acara dalam ta’ziyah baca surat Al Baqarah 152-160, kemudian adakan tabligh yang mengandung isi kesabaran dalam menerima musibah tutup dengan do’a untuk sang almahrum, tinggalkan kebiasaan membaca surat yasin bersama-sama, tahlil dan kirim fadhilah, semua itu ternyata hukumnya bid’ah.<br />
JAWAB<br />
Aturan mana yang menentukan Al-Baqarah 152 – 160 dirangkai Tabligh lalu ditutup dengan doa??, anda pun mengada ada saja tanpa Nash yang jelas dari hadits shahih.<br />
<br />
Tahlil, Yaasiin dan dzikir yang dihadiahkan pada mayyit merupakan amal-amal yang dikirimkan pada mayyit, dan itu diperbolehkan oleh Rasul saw, sebagaimana diriwayatkan bahwa seorang wanita datang pada Rasul dan bertanya : “wahai rasulullah, aku bersedekah dengan membebaskan budak dan pahalanya kukirimkan untuk ibuku yang telah wafat, bolehkah??, Rasul memperbolehkannya, lalu wanita itu berkata lagi : ibuku sudah wafat dan belum haji, bolehkah aku haji untuknya??, Rasul saw memperbolehkannya, lalu wanita itu berkata lagi : “wahai Rasulullah, ibuku wafat masih mempunyai hutang puasa ramadhan sebulan penuh, maka bolehkah aku berpuasa untuknya??, maka Rasul saw menjawab : Boleh (shahih Muslim)<br />
<br />
<br />
DALAM UPACARA PENGUBURAN<br />
1. Tinggalkan kebiasaan dalam shalat jenazah dengan mangajak jama’ah untuk mengucapkan kalimat bahwa “jenazah ini orang baik, khair-khair” Hal ini tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, dan tidak ada hadits sebagai pembimbing. <br />
JAWAB:<br />
Ketika lewat sebuah jenazah dihadapan Rasul saw maka para sahabat memujinya dengan kebaikan, maka Rasul saw berkata : “semestinya.. semestinya.. semestinya..”, lalu tak lama lewat pula jenazah lain, dan para sahabat mengutuknya, maka rasul saw berkata : “semestinya.. semestinya.. semestinya..”. maka berkatalah Umar bin Khattab ra mengapa beliau berucap seperti itu, maka Rasul saw menjawab : “Barangsiapa yang memuji jenazah dengan kebaikan maka sepantasnya baginya sorga, dan barangsiapa yang mengutuk jenazah dengan kejahatannya maka sepantasnya baginya neraka, kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi.., kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi.., Kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi..” (shahih Muslim hadits no.949, Shahih Bukhari hadits no.1301),<br />
<br />
Lalu ketika dimasa Umar bin Khattab ra menjadi khalifah pun terjadi hal yang sama yaitu lewat jenazah maka orang-orang memujinya, maka Amirulmukminin Umar bin Khattab ra berkata : “sepantasnya..”, lalu lewat jenazah lain dan orang-orang mengumpatnya, maka Amirulmukminin Umar bin Khattab ra berkata : “sepantasnya..”. maka para sahabat bertanya dan berkata Amirulmukminin Umar bin Khattab ra :<br />
“tiadalah jenazah disaksikan 4 orang bahwa dia orang baik maka ia masuk sorga”, lalu kami bertanya : Bagaimana kalau tiga saja yang bersaksi??, beliau ra menjawab :<br />
“walaupun tiga”. Lalu kami bertanya lagi : Bagaimana kalau dua orang saja..??, maka beliau ra menjawab : “dua pun demikian”. Maka kami tak bertanya lagi”. (shahih<br />
Bukhari hadits no.1302), oleh sebab itu sunnah kita mengucapkan : “khair..khair..”<br />
pada jenazah dengan Nash yang jelas dan shahih dari shahihain dll.<br />
<br />
Apapun yang dijadikan fatwa, namun fatwa-fatwa diatas adalah batil dan tidak dilandasi pemahaman yang jelas dalam syariah islamiyah, oleh sebab itu saya menilai bahwa segala fihak yang menyebarkan selebaran ini sebelum kami beri penjelasan seperti sekarang ini, maka ia turut bertanggung jawab atas kesesatan ummat yang membacanya.<br />
<br />
Wassalam.<br />
<br />
www.majelisrasulullah.org </div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-42864725452881962982012-06-17T02:06:00.001-07:002012-06-22T20:14:33.216-07:00membongkar kesesatan ajaran wahabi tentang tauhid<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
Membongkar Kesesatan Ajaran Wahabi Yang Membagi Tauhid kepada 3 Bagian; Aqidah Mereka Ini Nyata Bid’ah SesatPosted on<br />
<br />
Pendapat kaum Wahabi yang membagi tauhid kepada tiga bagian; tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât adalah bid’ah batil yan menyesatkan. Pembagian tauhid seperti ini sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, hadits, dan tidak ada seorang-pun dari para ulama Salaf atau seorang ulama saja yang kompeten dalam keilmuannya yang membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut. Pembagian tauhid kepada tiga bagian ini adalah pendapat ekstrim dari kaum Musyabbihah masa sekarang; mereka mengaku datang untuk memberantas bid’ah namun sebenarnya mereka adalah orang-orang yang membawa bid’ah.<br />
<br />
http://allahadatanpatempat.wordpress.com<br />
SEDIKIT BANTAHAN AHLUSSUNNAH TERHADAP KAUM WAHABI YANG SANGAT APRIORI TERHADAP ILMU KALAM. Klik gambar! SEDIKIT BANTAHAN AHLUSSUNNAH TERHADAP KAUM WAHABI YANG SANGAT APRIORI TERHADAP ILMU KALAM. Klik gambar! <br />
<br />
<br />
<br />
Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:<br />
<br />
أمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتىّ يَشْهَدُوْا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّيْ رَسُوْل اللهِ، فَإذَا فَعَلُوْا ذَلكَ عُصِمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وأمْوَالَهُمْ إلاّ بِحَقّ (روَاه البُخَاريّ)<br />
<br />
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah. Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).<br />
<br />
Dalam hadits ini Rasulullah tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”. Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini adalah hadits mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang sahabat yang telah medapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.<br />
<br />
Tujuan kaum Musyabbihah membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh. Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul seperti itu tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah. Demikian pula ketika mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tujuan mereka tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Bahkan mereka mengatakan: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu Billâh.<br />
<br />
Dengan hanya hadits shahih di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli bid’ah. Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh” ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi sebagai seorang muslim yang beriman. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan shalat sebelum memerintahkan kewajiban-kewajiban lainnya; sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh al-Imâm al-Bayhaqi dalam Kitâb al-I’tiqâd. Sementara kaum Musyabbihah di atas membuat ajaran baru; mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, ini sangat nyata telah menyalahi apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Mereka tidak paham bahwa ”Ulûhiyyah” itu sama saja dengan ”Rubûbiyyah”, bahwa ”Ilâh” itu sama saja artinya dengan ”Rabb”.<br />
<br />
Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”. Lalu seorang mukmin ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”. Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang mukmin dikuburnya kelak. Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid Rubûbiyyah”.<br />
Dalam kitab Mishbâh al-Anâm, pada pasal ke dua, karya al-Imâm Alawi ibn Ahmad al-Haddad, tertulis sebagai berikut:<br />
<br />
”Tauhid Ulûhiyyah masuk dalam pengertian tauhid Rubûbiyyah dengan dalil bahwa Allah telah mengambil janji (al-Mîtsâq) dari seluruh manusia anak cucu Adam dengan firman-Nya ”Alastu Bi Rabbikum?”. Ayat ini tidak kemudian diikutkan dengan ”Alastu Bi Ilâhikum?”. Artinya; Allah mencukupkannya dengan tauhid Rubûbiyyah, karena sesungguhya sudah secara otomatis bahwa seorang yang mengakui ”Rubûbiyyah” bagi Allah maka berarti ia juga mengakui ”Ulûhiyyah” bagi-Nya. Karena makna ”Rabb” itu sama dengan makna ”Ilâh”. Dan karena itu pula dalam hadits diriwayatkan bahwa dua Malaikat di kubur kelak akan bertanya dengan mengatakan ”Man Rabbuka?”, tidak kemudian ditambahkan dengan ”Man Ilâhuka?”. Dengan demikian sangat jelas bahwa makna tauhid Rubûbiyyah tercakup dalam makna tauhid Ulûhiyyah.<br />
Di antara yang sangat mengherankan dan sangat aneh adalah perkataan sebagian pendusta besar terhadap seorang ahli tauhid; yang bersaksi ”Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasulullah”, dan seorang mukmin muslim ahli kiblat, namun pendusta tersebut berkata kepadanya: ”Kamu tidak mengenal tahuid. Tauhid itu terbagi dua; tauhid Rubûbiyyah dan tauhid Ulûhiyyah. Tauhid Rubûbiyyah adalah tauhid yang telah diakui oleh oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik. Sementara tauhid Ulûhiyyah adalah adalah tauhid murni yang diakui oleh orang-orang Islam. Tauhid Ulûhiyyah inilah yang menjadikan dirimu masuk di dalam agama Islam. Adapun tauhid Rubûbiyyah saja tidak cukup”. Ini adalah perkataan orang sesat yang sangat aneh. Bagaimana ia mengatakan bahwa orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sebagai ahli tauhid?! Jika benar mereka sebagai ahli tauhid tentunya mereka akan dikeluarkan dari neraka kelak, tidak akan menetap di sana selamanya, karena tidak ada seorangpun ahli tauhid yang akan menetap di daam neraka tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Adakah kalian pernah mendengar di dalam hadits atau dalam riwayat perjalanan hidup Rasulullah bahwa apa bila datang kepada beliau orang-orang kafir Arab yang hendak masuk Islam lalu Rasulullah merinci dan menjelaskan kepada mereka pembagian tauhid kepada tauhid Ulûhiyyah dan tauhid Rubûbiyyah?! Dari mana mereka mendatangkan dusta dan bohong besar terhadap Allah dan Rasul-Nya ini?! Padalah sesungguhnya seorang yang telah mentauhidkan ”Rabb” maka berarti ia telah mentauhidkan ”Ilâh”, dan seorang yang telah memusyrikan ”Rabb” maka ia juga berarti telah memusyrikan ”Ilâh”. Bagi seluruh orang Islam tidak ada yang berhak disembah oleh mereka kecuali ”Rabb” yang juga ”Ilâh” mereka. Maka ketika mereka berkata ”Lâ Ilâha Illallâh”; bahwa hanya Allah Rabb mereka yang berhak disembah; artinya mereka menafikan Ulûhiyyah dari selain Rabb mereka, sebagaimana mereka menafikan Rubûbiyyah dari selain Ilâh mereka. Mereka menetapkan ke-Esa-an bagi Rabb yang juga Ilâh mereka pada Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan pada segala perbuatan-Nya; artinya tidak ada keserupaan bagi-Nya secara mutlak dari berbagai segi”.<br />
<br />
(Masalah): Para ahli bid’ah dari kaum Musyabbihah biasanya berkata: ”Sesungguhnya para Rasul diutus oleh Allah adalah untuk berdakwah kepada umatnya terhadap tauhid Ulûhiyyah; yaitu agar mereka mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Adapun tauhid Rubûbiyyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam ini, dan bahwa Allah adalah yang mengurus segala peristiwa yang terjadi pada alam ini, maka tauhid ini tidak disalahi oleh seorang-pun dari seluruh manusia, baik orang-orang musyrik maupun orang-orang kafir, dengan dalil firman Allah dalam QS. Luqman:<br />
<br />
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ (لقمان: 25)<br />
<br />
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)<br />
<br />
(Jawab): Perkataan mereka ini murni sebagai kebatilan belaka. Bagaimana mereka berkata bahwa seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sama dengan orang-orang mukmin dalam tauhid Rubûbiyyah?! Adapun pengertian ayat di atas bahwa orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan artinya bahwa mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah dan mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Terbukti bahwa mereka menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah kepada selain Allah. Mana logikanya jika orang-orang musyrik disebut sebagai ahli tauhid?! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa di dalam Islam terdapat dua tauhid; Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang hendak masuk Islam bahwa tidak cukup baginya untuk menjadi seorang muslim hanya bertauhid Rubûbiyyah saja, tapi juga harus bertauhid Ulûhiyyah! Oleh karena itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan Nabi Yusuf saat mengajak dua orang di dalam penjara untuk mentauhidkan Allah:<br />
<br />
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرّقُوْنَ خَيْرٌ أمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهّار (يوسف: 39<br />
<br />
”Adakah rabb-rabb yang bermacam-macam tersebut lebih baik ataukah Allah (yang lebih baik) yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan yang maha menguasai?!” (QS. Yusuf: 39).<br />
<br />
Dalam ayat ini Nabi Yusuf menetapkan kepada mereka bahwa hanya Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.<br />
Perkataan kaum Musyabbihah dalam membagi tauhid kepada dua bagian, dan bahwa tauhid Ulûhiyyah (Ilâh) adalah pengakuan hanya Allah saja yang berhak disembah adalah pembagian batil yang menyesatkan, karena tauhid Rubûbiyyah adalah juga pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas. Dengan demikian Allah adalah Rabb yang berhak disembah, dan juga Allah adalah Ilâh yang berhak disembah. Kata “Rabb” dan kata “Ilâh” adalah kata yang memiliki kandungan makna yang sama sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Imâm Abdullah ibn Alawi al-Haddad di atas.<br />
<br />
Dalam majalah Nur al-Islâm, majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh para Masyâyikh al-Azhar asy-Syarif Cairo Mesir, terbitan tahun 1352 H, terdapat tulisan yang sangat baik dengan judul “Kritik atas pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah” yang telah ditulis oleh asy-Syaikh al-Azhar al-‘Allamâh Yusuf ad-Dajwi al-Azhari (w 1365 H), sebagai berikut:<br />
<br />
[[“Sesungguhnya pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah adalah pembagian yang tidak pernah dikenal oleh siapapun sebelum Ibn Taimiyah. Artinya, ini adalah bid’ah sesat yang telah ia munculkannya. Di samping perkara bid’ah, pembagian ini juga sangat tidak masuk akal; sebagaimana engkau akan lihat dalam tulisan ini. Dahulu, bila ada seseorang yang hendak masuk Islam, Rasulullah tidak mengatakan kepadanya bahwa tauhid ada dua macam. Rasulullah tidak pernah mengatakan bahwa engkau tidak menjadi muslim hingga bertauhid dengan tauhid Ulûhiyyah (selain Rubûbiyyah), bahkan memberikan isyarat tentang pembagian tauhid ini, walau dengan hanya satu kata saja, sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Demikian pula hal ini tidak pernah didengar dari pernyataan ulama Salaf; yang padahal kaum Musyabbihah sekarang yang membagi-bagi tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah tersebut mengaku-aku sebagai pengikut ulama Salaf. Sama sekali pembagian tauhid ini tidak memiliki arti. Adapun firman Allah:<br />
<br />
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ (لقمان: 25)<br />
<br />
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi? Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)<br />
Ayat ini menceritakan perkataan orang-orang kafir yang mereka katakan hanya di dalam mulut saja, tidak keluar dari hati mereka. Mereka berkata demikian itu karena terdesak tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan argumen-argumen yang sangat nyata (bahwa hanya Allah yang berhak disembah). Bahkan, apa yang mereka katakan tersebut (pengakuan ketuhanan Allah) ”secuil”-pun tidak ada di dalam hati mereka, dengan bukti bahwa pada saat yang sama mereka berkata dengan ucapan-ucapan yang menunjukan kedustaan mereka sendiri. Lihat, bukankah mereka menetapkan bahwa penciptaan manfaat dan bahaya bukan dari Allah?! Benar, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dari mulai perkara-perkara sepele hingga peristiwa-peristiwa besar mereka yakini bukan dari Allah, bagaimana mungkin mereka mentauhidkan-Nya?! Lihat misalkan firman Allah tentang orang-orang kafir yang berkata kepada Nabi Hud:<br />
<br />
إِن نَّقُولُ إِلاَّ اعْتَرَاكَ بَعْضُ ءَالِهَتِنَا بِسُوءٍ (هود: 54)<br />
<br />
”Kami katakan bahwa tidak lain engkau telah diberi keburukan atau dicelakakan oleh sebagian tuhan kami” (QS. Hud: 54).<br />
<br />
Sementara Ibn Taimiyah berkata bahwa dalam keyakinan orang-orang musyrik tentang sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak memberikan manfaat dan bahaya sedikit-pun. Dari mana Ibn Taimiyah berkata semacam ini?! Bukankah ini berarti ia membangkang kepada apa yang telah difirmankah Allah?! Anda lihat lagi ayat lainnya dari firman Allah tentang perkataan-perkataan orang kafir tersebut:<br />
<br />
وَجَعَلُوا للهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا للهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَآئِنَا فَمَاكَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ فَلاَيَصِلُ إِلَى اللهِ وَمَاكَانَ للهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَآئِهِمْ (الأنعام: 136)<br />
<br />
”Lalu mereka berkata sesuai dengan prasangka mereka: ”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sajian-sajian yang diperuntukan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukan bagi Allah maka sajian-sajian tersebut sampai kepada berhala mereka” (QS. al-An’am: 136).<br />
Lihat, dalam ayat ini orang-orang musyrik tersebut mendahulukan sesembahan-sesembahan mereka atas Allah dalam perkara-perkara sepele.<br />
<br />
Kemudian lihat lagi ayat lainnya tentang keyakinan orang-orang musyrik, Allah berkata kepada mereka:<br />
<br />
و َمَانَرَى مَعَكُمْ شُفَعَآءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاؤُا (الأنعام: 94)<br />
<br />
”Dan Kami tidak melihat bersama kalian para pemberi syafa’at bagi kalian (sesembahan/berhala) yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu tuhan di antara kamu”(QS. al-An’am: 94).<br />
Dalam ayat ini dengan sangat nyata bahwa orang-orang kafir tersebut berkeyakinan bahwa sesembahan-sesembahan mereka memberikan mafa’at kepada mereka. Itulah sebabnya mengapa mereka mengagung-agungkan berhala-berhala tersebut.<br />
<br />
Lihat, apa yang dikatakan Abu Sufyan; ”dedengkot” orang-orang musyrik di saat perang Uhud, ia berteriak: ”U’lu Hubal” (maha agung Hubal), (Hubal adalah salah satu berhala terbesar mereka). Lalu Rasulullah menjawab teriakan Abu Sufyan: ”Allâh A’lâ Wa Ajall” (Allah lebih tinggi derajat-Nya dan lebih Maha Agung).<br />
<br />
Anda pahami teks-teks ini semua maka anda akan paham sejauh mana kesesatan mereka yang membagi tauhid kepada dua bagian tersebut!! Dan anda akan paham siapa sesungguhnya Ibn Taimiyah yang telah menyamakan antara orang-orang Islam ahli tauhid dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala tersebut, yang menurutnya mereka semua sama dalam tauhid Rubûbiyyah!”]].<br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/08/membongkar-kesesatan-ajaran-wahabi.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/08/membongkar-kesesatan-ajaran-wahabi.html</a></div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-63506408739944576192012-06-17T02:03:00.001-07:002012-06-22T20:15:27.650-07:00Memakai Celana Di Bawah Lutut<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br />
Memakai Celana di Bawah Lutut</span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> 02/11/2009</span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> KH Arwanie Faishal</span><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU <br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/08/memakai-celana-di-bawah-lutut.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/08/memakai-celana-di-bawah-lutut.html</a></span></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-7855818004239965682012-06-17T02:00:00.003-07:002012-06-22T20:16:00.600-07:00Kesimpulan tentang salafi dan wahabi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
BAB 10 : KESIMPULAN TENTANG SALAFI & WAHABI <br />
<br />
Dari pembahasan yang sudah penulis ketengahkan, dapatlah kita mengambil beberapa kesimpulan tentang kaum Salafi & Wahabi dan fatwa-fatwa mereka dalam menuduh amalan-amalan bid'ah. Kesimpulan-kesimpulan berikut ini mencakup aspek aqidah yang mereka yakini dan sikap-sikap ekstrim mereka yang dilatarbelakangi oleh fatwa-fatwa yang tidak berdasar. <br />
<br />
1. Serampangan dalam berdalil. Kaum Salafi & Wahabi hanya mengandalkan segelintir dalil umum tentang bid'ah yang mereka paksakan pengertiannya untuk mengharamkan atau menganggap sesat amalan-amalan khusus dan terperinci. Berdalil dengan cara seperti ini adalah bathil (tidak benar) dan tidak dikenal di kalangan para ulama. Hal itu disebabkan oleh cara mereka memahami dalil bid'ah yang sangat tekstual (harfiyah) dan kasuistik tanpa memenggunakan metodologi para ulama ushul.Oleh karenanya, fatwa-fatwa mereka yang membid'ahkan acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur para wali, tawassul dengan orang yang sudah meninggal, dan lain sebagainya adalah merupakan pemerkosaan terhadap dalil dan penipuan terhadap umat, sebab perkara-perkara tersebut tidak pernah disebutkan larangannya baik di dalam al-Qur'an maupun di dalam hadis Rasulullah Saw. Adakah kebohongan yang lebih buruk dari kebohongan dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw., saat mereka merincikan perkara bid'ah yang tidak pernah beliau sebutkan dalam hadis beliau, lalu mereka berkata Maulid atau tahlilan adalah bid'ah & sesat berdasarkan hadis "Setiap bid'ah adalah kesesatan"? Harusnya mereka sadar, bahwa sampai wafatnya, Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkan rincian hadis "setiap bid'ah adalah kesesatan" bahwa maksudnya adalah Maulid atau tahlilan. <br />
<br />
Bahkan mereka tidak segan-segan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang orang kafir atau musyrik penyembah berhala sebagai dalil untuk menganggap sesat kaum muslimin yang melakukan peringatan Maulid, tahlilan, tawassul, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin mereka dengan tega menyamakan saudaranya yang muslim dan beriman dengan para penyembah berhala, sedang Allah saja jelas-jelas membedakannya? <br />
<br />
2. Terkesan Mendikte Allah . Kaum Salafi & Wahabi telah memposisikan Allah seperti yang mereka inginkan. Ini terbersit ketika mereka berkata, bahwa orang yang melakukan tahlilan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. telah melakukan hal yang sia-sia dan tidak ada pahalanya, padahal pada acara tersebut orang jelas-jelas melakukan amal shaleh berupa silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur'an, membaca shalawat, menuntut ilmu, mendengarkan nasihat, berbagi makanan, berdo'a, mengenang Nabi Saw. dengan membaca riwayat hidup beliau, dan memuliakan Nabi Saw. serta memupuk kecintaan kepada beliau, yang masing-masing itu jelas-jelas diperintahkan oleh Allah secara langsung maupun tidak langsung dan dijamin mendapat pahala. Ini merupakan kejanggalan besar di dalam aqidah, sebab Allah Maha Pemurah, tidak pelit seperti mereka. Allah Maha Berkehendak untuk memberi pahala kepada siapa yang Ia kehendaki, dengan begitu Ia tidak bisa diatur oleh makhluk-Nya. <br />
<br />
3. Berpandangan Sekuler , yaitu dengan membagi pengertian bid'ah menjadi dua: Bid'ah yang terlarang yaitu bid'ah agama (bid'ah diiniyyah) dan bid'ah yang menyangkut urusan dunia (bid'ah duniawiyyah) yang mereka anggap wajar atau boleh-boleh saja menurut kebutuhan. Bukankah semua urusan di dunia ini memiliki dampak dan resiko di akhirat nanti? Berarti, agama dan dunia tidak bisa dipisahkan, di mana tidak mungkin menjalankan agama tanpa fasilitas dunia, sebagaimana tidak mungkin selamat bila orang menjalani hidup di dunia tanpa tuntunan agama. Dalam hal ini, sebenarnya mereka sudah melakukan bid'ah yang sangat fatal (yang melanggar fatwa mereka sendiri), yaitu membagi defininisi bid'ah dengan pembagian yang tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. dan para Sahabat beliau. <br />
<br />
4. Menanamkan Kesombongan & Kebencian , yaitu dengan mendoktrin para pengikutnya untuk menganggap sesat amalan orang lain dan menjauhi amalan tersebut, serta menganggap bahwa kebenaran hanya yang sejalan dengan mereka. Pada kenyataannya di lapangan, Wahabi & Salafi bukan saja telah mendoktrin untuk menjauhi suatu amalan, tetapi sekaligus menjauhi para pelakunya, dan ini berbuntut pada rusaknya hubungan silaturrahmi. Lebih parahnya lagi, sebagian mereka juga menanamkan kebencian terhadap para ulama yang menulis kitab-kitab agama dengan ikhlas hanya karena tidak sejalan dengan paham Salafi & Wahabi. <br />
<br />
5. Berpandangan Materialisme , yaitu dengan hanya mengakui manfaat zhahir yang terlihat dari sebuah perbuatan, dan mengingkari manfaat batin yang justeru lebih berharga dari manfaat zhahir. Terbukti, mereka lebih memilih memberi makan atau santunan kepada fakir-miskin atau anak yatim dalam rangkaian aksi sosial yang mereka yakini berpahala, daripada memberi peluang mendapat rahmat, ampunan, dan hidayah dalam acara tahlilan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang mereka yakini sia-sia. Padahal di dalam acara tahlilan atau Maulid, orang bukan cuma diberi peluang mendapat rahmat, ampunan, dan hidayah, tetapi juga diberi makan! Memang, menurut Wahabi & Salafi, mengenyangkan perut orang lapar berarti menyelamatkannya dari jurang kekafiran. Sayangnya, setelah selamat dari jurang kekafiran, orang itu dijerumuskan ke jurang kesombongan, dan kesombongan adalah jalan lain menuju kekafiran. <br />
<br />
6. Menyalahkan & Mendiskreditkan Orang Lain , yaitu dengan menuduh amalan orang lain sebagai amalan syirik atau sesat tanpa upaya mencari tahu alasan-alasan mengapa amalan itu dilakukan. Sebenarnya, Wahabi & Salafi yang tidak kreatif ini sudah kehabisan tempat di hati masyarakat, sehingga tidak ada cara yang lebih bagus untuk merebutnya kecuali dengan menjelek-jelekkan atau menebarkan keragu-raguan di hati orang-orang yang sudah biasa mengikuti ajaran para ulama. Maklumlah, tidak ada cara yang lebih jitu bagi seorang pedagang yang culas untuk melariskan dagangannya selain dengan mencela-cela dagangan orang lain di hadapan para pelanggan!<br />
<br />
7. Memberikan Tuduhan Palsu . Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., ratiban, dan tahlilan hanyalah merupakan tradisi atau kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sejak masa dahulu yang diyakini mengandung kebaikan. Masyarakat pun tahu bahwa tradisi itu boleh-boleh saja diadakan atau tidak diadakan menurut kondisi. Namun kaum Wahabi & Salafi menilai hal tersebut dari sudut pandang mereka sendiri, dengan mengatakan bahwa masyarakat itu telah menjadikan acara tersebut sebagai bagian dari pokok ajaran agama atau syari'at yang diada-adakan tanpa dasar. Lebih buruk lagi, tidak jarang mereka mengambil dalil dari ayat-ayat al-Qur'an yang konteks sebenarnya ditujukan untuk orang kafir atau musyrik penyembah berhala, mereka arahkan tudingan ayat itu untuk pelaku Maulid atau tahlilan yang sudah jelas tidak menyembah berhala. Aneh memang, mereka yang menuduh, mereka sendiri yang menyalahkan, dan ini adalah fitnah besar! Ibaratnya, nasi kuning hanyalah makanan biasa. Kalau tidak doyan, tidak perlu menuduhnya sebagai peninggalan hindu yang biasa dibuat dalam rangka mengagungkan dan memberi persembahan pada dewa-dewa! Sungguh terlalu! <br />
<br />
8. Mudah Mengharamkan Sesuatu yang Tidak Dijelaskan Keharamannya di dalam al-Qur'an atau Hadis . Misalnya, tahlilan, tawassul, dan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw itu mereka anggap haram, karena termasuk bid'ah sesat. Padahal Rasulullah Saw. sampai wafatnya tidak pernah menyebutkan bahwa yang beliau maksud "..setiap bid'ah itu kesesatan…" adalah tahlilan, tawassul, dan peringatan Maulid. Di sini tampak keculasan mereka; untuk menyalahkan orang lain mereka gunakan dalil umum (tidak terperinci), sedangkan untuk membenarkan amalan ibadah mereka, mereka gunakan dalil khusus (kasuistik/berdasarkan kasus-perkasus yang ada di dalam riwayat hadis). Akibatnya mereka sering berkata, "Tidak ada dalil yang membenarkan peringatan Maulid". Semestinya mereka juga berpikir, "Tidak ada dalill yang melarang peringatan Maulid", karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkannya! Yang dilarang itu bid'ah, bukan Maulid, bung! <br />
<br />
9. Membatasi Kemampuan & Kemurahan Allah . Saat mereka menganggap pahala amal orang hidup tidak bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal padahal orang tersebut telah berdo'a kepada Allah untuk menyampaikannya, seolah mereka menganggap Allah lemah dan tidak mampu menyampaikan pahala itu kepadanya, dan menganggap Allah pelit sehingga tidak mau memenuhi permintaan hamba-Nya untuk menyampaikan pahala itu. Padahal, Allah sudah menjamin dalam firman-Nya, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagimu …" (QS. Al-Mu'min: 60) dan "Aku tergantung sangkaan hamba-Ku, maka hendaklah ia menyangka kepada-Ku sekehendaknya" (Hadits Qudsi riwayat Imam Ahmad), diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Ra. ia berkata: “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidaklah seorang hamba berprasangka baik kepada Allah melainkan Allah akan memberikan apa yang ia sangkakan. Hal itu karena kebaikan (semuanya) ada pada Allah” (HR. Thabrani). <br />
<br />
10. Menipu dan Membodohi Umat . Nyata betul bahwa mereka telah banyak berfatwa dan menuduh berbagai amalan berbau agama sebagai bid'ah sesat dengan fatwa-fatwa yang tidak berdasar pada dalil, lalu mereka ungkapkan fatwa-fatwa itu atas nama Rasulullah Saw., padahal beliau tidak pernah menyebutkannya. Keculasan itu semakin bertambah buruk, dengan upaya mereka membatasi pola pikir umat dengan belenggu Sunnah & Bid'ah, serta menutup akses pengikutnya dari mendapatkan penjelasan agama dari selain kaum Salafi & Wahabi. Akibatnya, para pengikutnya menjadi orang-orang sombong yang merasa benar sendiri, dan menutup diri dari sumber-sumber informasi agama yang tidak sejalan dengan paham Salafi & Wahabi. <br />
<br />
11. Memecah Belah Ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana telah dibahas di dalam buku ini, bahwa di antara fatwa-fatwa Kaum Salafi & Wahabi terdapat fatwa yang mengharuskan pengikutnya untuk menjauhi orang yang mereka tuduh melakukan bid'ah, tidak mencintainya, tidak mengucapkan salam kepadanya, bahkan tidak menjenguknya. Fatwa seperti ini bisa dibenarkan, bila pengertian bid'ah yang dimaksud adalah seperti yang dijelaskan oleh para ulama, yaitu apa saja yang bertentangan dengan prinsip ajaran al-Qur'an dan Sunnah. Tetapi sayangnya, karena pengertian bid'ah yang dilansir kaum Salafi & Wahabi tidak jelas, mencakup segala sesuatu yang baru berbau agama tanpa terkecuali meski sejalan dengan prinsip agama sekalipun, maka keharusan bersikap antipati terhadap ahli bid'ah itu jadi tidak jelas sasarannya. Dengan begitu mereka merasa benar ketika harus membenci dan menjauhi saudaranya yang muslim yang tidak benar-benar melakukan kesalahan atau bid'ah.<br />
<br />
Pada kasus ini, penulis telah menerima laporan-laporan masyarakat di mana ada jama'ah Mushalla yang sejak terpengaruh ajaran Salafi & Wahabi, mulai senang mengisolir diri dan tidak mau memberi salam atau bersamalan dengan jama'ah yang lain, padahal sebelumnya orang tersebut biasa duduk bersama saat pengajian di Mushalla. Orang-orang seperti ini tetap datang ke masjid atau mushalla, sebab menurut ajaran mereka, shalat berjama'ah wajib hukumnya. Sayangnya, dalam melaksanakan yang wajib, ada perkara wajib yang lain yang mereka tinggalkan, yaitu menjaga hubungan silaturrahmi dan tidak membenci saudaranya sesama muslim. Jadi bagaimana hukumnya, mengerjakan shalat berjama'ah sambil melakukan dosa besar, apakah dibenarkan sikap seperti itu di dalam agama??! Jawabnya, tentu tidak! <br />
<br />
12. Menarik Umat Kepada Kemunduran Berpikir. Ada banyak masalah yang perlu dipikirkan menyangkut kemaslahatan dan kemajuan bagi umat Islam di berbagai bidang, sebagaimana juga perlu dipikirkan bagaimana caranya orang-orang Islam yang kurang taat dan senang bermaksiat, mau bertobat dan kembali kepada ketaatan. Di samping itu, masih banyak orang-orang kafir yang perlu didakwahi agar mau memeluk agama Islam. Masalah-masalah itu dan juga banyak lagi yang lainnya, hampir terbengkalai hanya karena disibukkan oleh perdebatan lama tentang bid'ah yang sebenarnya sudah selesai dibahas oleh para ulama sejak berabad-abad silam. Kaum Salafi & Wahabi menyajikan pembahasan tentang bid'ah itu seolah ia merupakan kebenaran yang baru ditemukan, dan mereka membuat perhatian kepada ibadah yang sesuai sunnah serta menjauhi bid'ah seolah lebih penting dari perkara apapun menyangkut agama. Tidak sadarkah mereka, bahwa sebenarnya mereka telah menyeret umat untuk berpikir mundur beberapa abad ke belakang, dan melalaikan hal-hal penting di masa sekarang. <br />
<br />
13. Berbeda dari Mayoritas Ulama. Berbeda pendapat itu biasa, tetapi menganggap sesat setiap orang yang berpendapat beda adalah perkara yang luar biasa. Terlebih lagi jika berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, lalu menganggap sesat para ulama tersebut hanya karena tidak sependapat. Kaum Salafi & Wahabi ini bukan saja banyak berbeda paham dalam hal bid'ah dengan mayoritas ulama, tetapi mereka juga berbeda metodologi dalam memahami dalil-dalil. Dan jika kaum Salafi & Wahabi yang minoritas ini merasa benar dengan pendapatnya, maka perasaan benar itu akan mendorong mereka mengacuhkan para ulama mayoritas yang berbeda dari mereka. Ini adalah ancaman besar, yaitu bila paham Salafi & Wahabi ini menyebar luas di kalangan umat Islam, maka akan terjadi kepunahan referensi agama secara halus, di mana banyak ulama akan dilupakan orang dan banyak kitab-kitab karya mereka yang tidak dipedulikan. <br />
<br />
14. Bukan Pengikut Salaf atau Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Kaum Salafi & Wahabi tidak pantas disebut sebagai pengikut ulama salaf, karena mereka tidak benar-benar mengikuti seluruh pandangan ulama salaf, melainkan hanya memilih-milih pendapat ulama salaf yang sejalan dengan paham mereka. Mereka juga tidak pantas disebut sebagai pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah, karena banyak fatwanya yang bertolak belakang dengan ijma' ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah, seperti dalam masalah ziarah kubur, tawassul dengan Rasulullah Saw. setelah wafatnya, masalah qadha' shalat, dan lain sebagainya. Sebenarnya, paham Salafi & Wahabi ini adalah paham baru yang belum pernah ada di masa para ulama salaf dan setelahnya. Diduga cikal bakal paham ini baru ada di masa Ibnu Taimiyah (sekitar abad ke-8 H.). Jadi, amat tidak pantas kalau para ulama salaf atau para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah mereka klaim sebagai pelopor paham mereka yang kemudian dikenal sebagai Salafi & Wahabi, sedangkan munculnya paham ini saja jauh masanya setelah masa para ulama tersebut. <br />
<br />
Tidak Memiliki Format Ajaran yang Jelas. Akibat tidak menggunakan metodologi ulama ushul (ulama yang ahli mengenai pembahasan dasar-dasar ajaran agama) di dalam membahas dalil-dalil tentang bid'ah, maka kaum Salafi & Wahabi terjebak di dalam pembahasan dan fatwa yang tidak seragam. Apalagi mereka hanya merujuk pendapat ulama salaf tanpa melalui mata-rantai penjelasannya dari para ulama setelah mereka, maka keseragaman paham itu menjadi hal yang kemungkinannya sangat kecil. Oleh karena itu, antara mereka saja banyak terjadi perbedaan pendapat. Hal ini terjadi karena masing-masing mereka selalu berupaya merujuk langsung suatu permasalahan kepada al-Qur'an, hadis, dan pendapat ulama salaf. Tentunya, kapasitas keilmuan dan kemampuan yang berbeda dalam memahami dalil, akan memunculkan perbedaan pandangan dalam menyimpulkan dalil tersebut. Asal tahu saja, proses seperti inilah yang banyak memunculkan aliran-aliran sesat dan nabi-nabi palsu di Indonesia, di mana setiap pelopornya merasa berhak mengkaji dalil secara langsung dan memahaminya menurut kemampuannya sendiri. <br />
Sungguh berbeda dari ajaran mayoritas ulama yang mentradisikan proses ijazah (pernyataan pemberian ilmu atau wewenang dari seorang guru kepada murid), serta pembacaan dan pengajaran kitab-kitab para ulama secara berantai dan turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga apa yang dipahami oleh seorang guru yang hidup di masa lampau akan sama persis dengan yang dipahami oleh seorang murid yang hidup belakangan, berapapun jarak antara masa hidup keduanya. Maka kita dapat melihat perbedaan yang nyata antara pengikut paham Salafi & Wahabi dengan para pengikut ulama mayoritas dalam ungkapan-ungkapan penyampaian mereka. <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi akan banyak berkata, "Berdasarkan firman Allah …" atau "Berdasarkan sunnah/hadis Rasulullah Saw. …". Sedangkan para pengikut ulama mayoritas akan banyak berkata, "Menurut Imam Nawawi di dalam kitab beliau …, menurut Imam Ghazali di dalam kitab beliau …, telah disebutkan oleh Imam as-Subki di dalam kitab beliau …, Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami di dalam kitab beliau berkata …," dan lain sebagainya. <br />
<br />
Bila ditanyakan, bukankah lebih tinggi al-Qur'an dan hadis daripada pendapat para ulama? Benar, tetapi masalahnya bukan pada al-Qur'an atau hadisnya, melainkan pada pemahamannya. Dengan begitu seharusnya mereka juga bertanya, mana yang lebih bagus dan lebih selamat, menyampaikan ayat al-Qur'an dan hadis dengan pemahaman sendiri, atau menyampaikan pemahaman para ulama tentang ayat al-Qur'an atau hadis? Terbukti, ternyata kaum Salafi & Wahabi banyak keliru menempatkan dalil karena mereka memahami dalil tersebut secara harfiyah (tekstual).<br />
<br />
Penulis memandang, bahwa fatwa-fatwa kaum Salafi & Wahabi sebagaimana telah dibahas di dalam buku ini, sangat berbahaya bagi persatuan dan kebersamaan umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan Cuma itu, bahkan paham ini penulis anggap sebagai paham yang mengandung penyimpangan di dalam aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang diyakini oleh mayoritas ulama dari zaman ke zaman. <br />
<br />
Bila paham Salafi & Wahabi ini dipegang seseorang secara pasif (untuk pribadi) dan bijaksana (dalam menyikapi perbedaan), maka bahaya tadi dapat dihindari dengan sendirinya. Tetapi bila paham ini diyakini sebagai "yang benar" dan yang tidak sejalan dengannya adalah "sesat", maka paham ini berarti mengandung ekslusivisme (merasa istimewa sendiri) yang akan memunculkan sifat sombong pada diri pengikutnya. Dan bila paham ini dipegang secara aktif (dipromosikan dan didakwahkan), maka akan terbuka peluang-peluang terjadinya bahaya seperti disebutkan di atas. </div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-62193988921907626382012-06-17T01:59:00.001-07:002012-06-22T20:16:34.937-07:00Panduan praktis menghadapi kaum wahabi dan salafi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
BAB 11 : PANDUAN PRAKTIS MENGHADAPI PROPAGANDA KAUM WAHABI & SALAFI<br />
<br />
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa sebagian kalangan yang berpaham Wahabi & Salafi memiliki mulut usil karena sering mempermasalahkan kebiasaan masyarakat Islam di mana saja, menyangkut: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., ziarah kubur, qunut shubuh, tahlilan, ratiban, menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal, do'a berjama'ah, zikir keras berjama'ah, bersalaman sesudah shalat, tawassul, dan lain sebagainya. Hal itu mereka lakukan dalam rangka menyebarkan pengaruh dan paham di masyarakat yang mereka sering anggap "tersesat" atau "musyrik" dengan sebab melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut. <br />
<br />
Dalam hal ini, mereka bersikap seperti seorang da'i yang ingin mengembalikan masyarakat yang tersesat kepada jalan agama yang benar (menurut mereka), walaupun anehnya, yang sering mereka dakwahi adalah orang-orang awam yang tidak mengerti. Padahal, mereka seharusnya memprioritaskan kalangan orang alim yang lebih patut "dikasihani" dan didakwahi karena sudah terjerumus sangat jauh dalam "keyakinan sesat". Ternyata, itu tidak berani mereka lakukan, tentunya karena mempengaruhi orang awam jauh lebih mudah daripada orang alim. Berarti dakwah mereka tidak bisa disebut "mengembalikan orang sesat kepada jalan yang benar", tetapi lebih tepat disebut "merekrut pengikut dengan memanfaatkan keawaman dan ketidakmengertian orang." <br />
<br />
Ya, Serigala hanya menyerang kambing gembala yang terpisah dari rombongan! Ia tidak akan mendekati kambing-kambing yang sedang diawasi oleh penggembalanya, apalagi menyerang penggembala yang sedang memegang senapan. Karena itu, bila keusilan ini terjadi, maka lakukanlah langkah-langkah berikut ini secara berurutan:<br />
<br />
1. Hindari Pembahasan Agama Dengan Orang Wahabi & Salafi <br />
<br />
Langkah ini ditujukan untuk menghindari perdebatan yang dapat memancing emosi yang bisa berakibat percekcokan dan rusaknya silaturrahmi. Sebab, tidak jarang mereka yang usil ini masih memiliki hubungan keluarga, nasab, atau kekerabatan dengan anda. Menjaga hubungan baik jauh lebih utama dari pada mendengarkan penjelasan atau dakwah yang berpotensi merusak hubungan baik itu. <br />
<br />
Misalnya, ketika ia mulai berkata, "Dalam beragama, kita harus sesuai dengan al-Qur'an dan hadis-hadis yang shahih", atau "Tahlilan dan Maulid tidak diperintahkan di dalam agama dan tidak ada dasar atau dalilnya", atau "Semua amalan di dalam agama harus ada dasar/dalilnya dari al-Qur'an atau hadis", atau "Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah-tambah", atau "Kalau ada waktu, saya harap anda hadir di pengajian rutin di tempat saya", dan lain sebagainya. <br />
<br />
Maka jawablah dengan kalimat penghindaran atau pengalihan topik pembicaraan seperti: <br />
<br />
"Maaf, saya tidak begitu tahu soal dalil atau dasar. Saya Cuma mengikuti apa yang diajarkan oleh para orang tua, para guru, dan para ulama. Dan saya yakin mereka punya alasan atau dalil yang kuat." <br />
"Maaf, saya sedang tidak ingin membahas masalah agama. Jadi kita bahas masalah lain saja." <br />
"Sudahlah, tentang pengamalan agama, masing-masing kita punya alasan. Lebih baik kita bicarakan peluang bisnis apa yang bisa kita garap." <br />
"Sayang sekali, saya tidak bisa menyempatkan diri untuk hadir di pengajian anda. Lagipula, pengajian kan bukan di tempat anda saja." <br />
"Maaf, saya sudah punya jadwal pengajian sendiri." <br />
"Maaf, saya harus pergi karena ada urusan." (ini apabila dia terus memaksa anda untuk membahas agama). <br />
2.Pinjamkan Buku-Buku yang Ditulis Ulama yang Membahas Persoalan Tersebut<br />
<br />
Biasanya, sikap seseorang membenci suatu perkara adalah akibat dari ketidaktahuannya tentang alasan-alasan yang ada di balik perkara tersebut. Jadi, bila mereka tidak berhenti mengajak anda untuk membahas masalah Maulid, tahlilan, atau yang lainnya, maka pinjamkanlah kepadanya buku-buku yang anda punya yang membahas tentang hal-hal tersebut secara detail (tentunya anda harus punya, dan pernah membacanya). Suruhlah ia membacanya dengan pikiran terbuka, bukan dengan pandangan sinis. Dengan begitu anda telah memberinya jawaban tanpa harus berdebat dengannya. (Di antara buku yang sangat gamblang membahas hal-hal tersebut yang harus anda miliki adalah "I'tiqad Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah"dan "40 Masalah Agama" yang ditulis oleh KH. Siradjuddin Abbas, juga buku "Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan" yang ditulis oleh Syekh Ali Jum'ah seorang Mufti di Mesir). Dan ingat, jangan baca buku-buku Wahabi & Salafi tanpa didampingi oleh orang alim. <br />
<br />
3. Ajak Orang Wahabi & Salafi Itu Kepada Guru, Ustadz, Kiyai, atau Habib<br />
<br />
Bila keusilan itu berlanjut di berbagai kesempatan atau pertemuan di kemudian hari, dan orang usil itu terus-menerus berupaya mempengaruhi atau membuka peluang perdebatan tentang urusan agama, maka ajaklah dia untuk membahasnya bersama guru atau ustadz anda, atau orang alim yang anda kenal. Dan jangan biarkan dia yang membawa anda kepada gurunya, sebab dengan begitu anda dikhawatirkan terkena pengaruh buruknya. <br />
<br />
Misalnya, dalam kesempatan-kesempatan lain orang usil ini mengajak anda untuk kembali membahas urusan agama, maka katakanlah: <br />
<br />
"Untuk lebih jelas, mari kita bahas masalah ini bersama guru/ustadz saya." <br />
"Sebaiknya kita bahas masalah itu di rumah atau di majlis pengajian guru saya." <br />
"Ustadz saya lebih mengerti tentang itu, kalau anda mau, saya antar anda untuk menemuinya." <br />
Dalil sikap ini adalah firman Allah dalam surat An-Nahl : 43:<br />
<br />
"… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."<br />
<br />
4. Tunjukkan Penolakan yang Tegas<br />
<br />
Bila ternyata, langkah 1-3 tidak berhasil, maka tunjukkan penolakan yang tegas kepada orang usil itu dengan mengatakan: <br />
<br />
"Kalau anda ingin hubungan kita tetap baik, tolong berhenti membahas agama dengan saya." <br />
"Saya tidak suka anda membahas keyakinan saya. Cukuplah sampai di sini, jangan anda lanjutkan." <br />
"Saya berhak melakukan apa yang saya yakini, tolong jangan permasalahkan lagi." <br />
"Bila anda tidak berhenti membahas, berarti anda sudah tidak menghargai saya. Dan saya tidak perlu mendengarkan anda lagi." <br />
5. Ancaman Perlawanan Secara Kasar<br />
<br />
Bila langkah tersebut juga belum berhasil, maka tunjukkan ancaman perlawanan terlebih dahulu, mengingat orang usil ini sudah sampai pada tingkat memaksakan kehendak, dan itu melanggar undang-undang agama sekaligus undang-undang negara. Maka nyatakan perlawanan anda dengan agak keras, dengan mengatakan: <br />
<br />
"Diam, atau anda akan saya laporkan kepada yang berwajib!" <br />
"Cukup, atau anda akan saya tindak tegas!" <br />
"Kesabaran saya sudah habis, lebih baik anda pergi sebelum emosi saya tidak terkendali!" <br />
"Jangan paksa saya, atau saya akan perangi anda!" <br />
Dalil sikap ini adalah Sabda Rasulullah Saw.: <br />
<br />
"Akan keluar suatu kaum di akhir zaman, orang-orang muda usia, pendek akal, mereka berkata-kata dengan sebaik-baik perkataan manusia (al-Qur'an. atau hadis, atau perkataan baik yang bertolak belakang pengertiannya) yang tidak melampaui kerongkongan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka). Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya. Maka, di mana saja kamu menjumpai mereka, perangilah, karena di dalam memerangi mereka terdapat pahala di hari Kiamat bagi yang melakukannya." (HR. Bukhari)<br />
<br />
Ulama menafsirkan, "orang-orang muda usia yang pendek akal" itu adalah kaum Khawarij, yaitu golongan orang-orang yang sakit hati kepada Ali bin Abi Thalib Ra. dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan Ra. beserta para pendukung keduanya. Ciri mereka kemudian dikenal dengan sikap bermudah-mudah menganggap sesat orang lain. Dan seorang ulama besar bernama Syekh Ibnu Abidin menyatakan, bahwa Khawarij di zaman kita ini adalah golongan Wahabi (lihat al-Maqaalaat as-Sunniyyah, hal. 51). <br />
<br />
Penulis berharap, semoga langkah terakhir ini tidak perlu terlaksana, apalagi implementasinya, dan semoga mereka mengerti dengan langkah yang pertama saja sehingga tidak melanjutkan keusilan mereka terhadap orang-orang yang gemar Maulid, qunut shubuh, ziarah ke makam wali, atau tahlilan. </div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-1725618607341708002012-06-17T01:57:00.001-07:002012-06-22T20:18:58.693-07:00Fitnah-fitnah keji kaum wahabi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
BAB 7 : FITNAH-FITNAH KEJI KAUM SALAFI & WAHABI<br />
<br />
Pembahasan-pembahasan sebelum ini sebenarnya telah memberi gambaran yang cukup memadai tentang adanya fitnah-fitnah keji yang dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi di dalam fatwa-fatwa mereka terhadap amalan-amalan kaum muslimin yang sering mereka tuduh sebagai bid'ah. Namun begitu, perlu kiranya kami menyebutkannya lebih khusus agar setiap orang bisa mengetahui keburukan ajaran mereka dengan jelas, lalu terhindar dari dakwah sesat mereka.<br />
<br />
Secara umum fitnah-fitnah mereka hanya berkisar antara tuduhan bid'ah, sesat, syirik, atau kufur. Tuduhan "menambah-nambahi agama", "membuat-buat syari'at", "mengkultuskan Rasulullah Saw. atau para wali", "amalan sia-sia dan tidak ada pahalanya", "mengikuti tradisi dan menolak kebenaran", adalah contoh fitnah yang sering mereka lontarkan di dalam buku-buku mereka.<br />
<br />
Di antara fitnah-fitnah yang mereka lontarkan di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah (kumpulan fatwa-fatwa para ulama Salafi & Wahabi), adalah sebagai berikut:<br />
<br />
1. Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Lebih dari itu, pada umumnya, di sebagian negara, acara-acara peringatan maulid ini –selain bid'ah- tak lepas dari kemunkaran-kemunkaran. Misalnya, ikhtilath (campur-baur) antara pria dan wanita, pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan dan membuat tidak sadar, serta kemunkaran lainnya. Kadangkala terjadi juga hal yang lebih besar daripada itu, yaitu perbuatan syirik akbar karena ghuluw (sikap berlebihan) terhadap Rasulullah Saw. atau para wali, berdo'a atau beristighatsah kepada beliau, meminta pertolongannya, mempercayai bahwa beliau mengetahui hal-hal yang ghaib, dan bermacam-macam kekufuran lainnya yang biasa dilakukan orang banyak dalam acara peringatan maulid Nabi Saw. atau selain beliau yang mereka sebut sebagai wali." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 11).<br />
<br />
Di dalam buku kecil yang dibagi-bagikan kepada jamaah haji setiap tahun, Hirasatu at-Tauhid atau terjemahnya Menjaga Tauhid, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, disebutkan: "…kemunkaran-kemunkaran, seperti bercampurnya lelaki dan perempuan (bukan mahram), pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan, ganja, dan lain sebagainya …" (Menjaga Tauhid/ Hirasatu at-Tauhid, 2004, hal. 12)<br />
<br />
2. Ia juga berkata: "Semua ini tidak lain karena ia merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan pensyari'atan sesuatu yang tidak diizinkan Allah, serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan-red) dengan musuh-musuh Allah dari golongan Yahudi dan Nasrani yang menambah-nambahi agama mereka dan mengada-ada apa yang tidak diizinkan Allah." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 8).<br />
<br />
3. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata: "Sesungguhnya seorang mubtadi' (pelaku amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah-red) meyakini bahwa Islam itu kurang, dan bahwa bid'ahnya itu sebagai penyempurna agama ini." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 41).<br />
<br />
4. Ia juga berkata: " Sebagian kaum sufi ada yang terjerumus dalam bid'ah yang keji, di antaranya adalah mereka membawa anak-anak lelaki tampan yang masih kecil (belum baligh), dan mereka melakukan sodomi, kemunkaran dan kekejian terhadap mereka, dan setelah itu mereka mengklaim taat beragama, dan istiqamah, padahal perbuatan dan akhlak mereka seperti itu!" (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 144).<br />
<br />
5. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: "Dalam hadis ini (latattabi'unna sunana man kaana qablakum-red) dijelaskan bahwa tasyabbuh dengan orang kafir adalah suatu hal yang mendorong kaum Bani Israil dan sebagian umat Nabi Muhammad Saw. untuk meminta permintaan buruk, yaitu menuntut Nabi Musa untuk membuatkan bagi mereka tuhan-tuhan berhala yang dapat mereka sembah dan mencari berkah darinya. Dan ini pulalah yang terjadi sekarang ini, di mana sebagian kaum muslimin senang meniru-niru kaum kuffar dalam praktek bid'ah dan kesyirikan, seperti perayaan hari kelahiran dan maulid, menjadikan hari-hari atau minggu-minggu tertentu untuk suatu kegiatan ritual khusus, menyelenggarakan pertemuan dan perayaan keagamaan, perayaan hari-hari peringatan, mendirikan patung-patung dan bermacam berhala kenangan, serta menyelenggarakan pesta makan dan berbagai bid'ah jenazah serta membangun kuburan, dan lain-lainnya." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 85).<br />
<br />
6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: "…maka ketahuilah bahwa siapa pun yang berbuat suatu bid'ah (perkara baru yang mereka tuduh bid'ah-red) di dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan kesesatan juga sebagai suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Alah Swt., yang artinya, "Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu …" Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab ada amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah, belum terdapat di dalamnya." (Ensikopedia Bid'ah, hal. 23).<br />
<br />
Tuduhan-tuduhan di atas lebih pantas disebut sebagai fitnah, karena di samping tidak didukung oleh data yang jelas dan akurat, juga tidak berdasar pada kenyataan yang sebenarnya. Kaum Salafi & Wahabi seperti mereka ini selalu memandang amalan orang dari sudut pandang sendiri, sehingga apa yang mereka pahami sungguh jauh berbeda dari pemahaman pelaku amalan itu sendiri. Pantas saja kalau orang yang berdo'a menghadap kuburan bisa mereka cap musyrik (melakukan syirik/menyekutukan Allah), sebab mereka menganggap orang itu meminta kepada kuburan atau kepada orang yang ada di dalam kubur tersebut, dan penilaian seperti ini bisa muncul semata-mata karena zhahirnya orang itu berdo'a menghadap kuburan. Tapi kenapa para malaikat yang jelas-jelas bersujud kepada Nabi Adam As. tidak mereka hukumi musyrik, padahal secara zhahir mereka bisa saja dianggap menyembah Nabi Adam As.? Sungguh bila kaum Salafi & Wahabi bisa memahami kasus malaikat & Nabi Adam As itu dengan baik, niscaya mereka akan mampu memandang secara jernih untuk kasus-kasus yang lain, seperti: Mengusap kuburan, mengusap Ka'bah, berdo'a menghadap kuburan, memanggil nama orang yang sudah meninggal, dan lain sebagainya, yang secara zhahir bisa saja dianggap syirik.<br />
<br />
Syirik itu letaknya di dalam hati dan erat kaitannya dengan keyakinan. Apa yang ada di dalam hati tidak mungkin diketahui kecuali bila diungkapkan dengan pernyataan-pernyataan lisan. Adapun perbuatan, meski juga dapat merupakan ungkapan hati, namun tidak selalu bisa dihukumi dengan hanya melihat zhahirnya perbuatan tersebut, kecuali bila maksud perbuatan itu dijelaskan dengan lisan. Mencium tangan orang 'alim, orang shaleh, atau orang yang lebih tua usianya saat bersalaman dengan mereka, tidak mungkin bisa langsung dianggap syirik sebelum diketahui bahwa maksudnya adalah menuhankan (mengkultuskan) orang tersebut.<br />
<br />
Ternyata, sikap mencium tangan itu dilakukan bukan dalam rangka mengkultuskan seseorang, melainkan hanyalah sebuah ungkapan penghormatan atau pemuliaan yang sudah lazim dilakukan banyak orang sebagai adat di masyarakat. Sama halnya dengan perbuatan Rasulullah Saw. mencium hajar aswad yang tidak mungkin dihukumi syirik semata-mata karena zhahir perbuatannya, sebagaimana juga orang yang shalat dan bersujud di depan Ka'bah tidak dapat serta-merta dianggap menyembah Ka'bah hanya karena ia menghadap kepadanya saat bersujud di dalam shalatnya.<br />
<br />
Tentang fitnah-fitnah di atas, kita perlu mengajukan kepada kaum Salafi & Wahabi beberapa pertanyaan tentangnya, agar mereka dapat memahami dan memikirkan ulang kenapa mereka tega mengungkapkan pernyataan-pernyataan berbau fitnah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:<br />
<br />
1. Di manakah dan siapakah di antara pelaku peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang menghisap ganja atau menghidangkan minuman yang memabukkan pada acara tersebut?<br />
<br />
2. Benarkah latar belakang diadakannya peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. adalah untuk meniru Yahudi dan Nasrani, kitab tarikh (sejarah) mana yang menyebutkannya? Pantaskah dianggap sama, umat Islam memperingati kelahiran seorang Nabi dan Rasul, sementara Nasrani merayakan kelahiran "anak tuhan"? Bukankah puasa 'Asyura (10 Muharram) dilakukan oleh Rasulullah Saw. karena meniru perbuatan orang-orang Yahudi di Madinah?<br />
<br />
3. Apakah ikhtilath (berbaur) antara laki-laki dan perempuan di acara Maulid itu sama buruk dengan ikhtilath yang terjadi saat acara konser musik atau dangdutan? Bukankah di Masjidil Haram khususnya di areal thawaf juga terjadi ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, dan itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw.? Apakah dengan begitu ibadah thawaf jadi buruk dan terlarang?<br />
<br />
4. Manakah dari amalan-amalan berikut ini yang dikategorikan sebagai kemunkaran dan kekufuran di dalam acara Maulid: Membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an, berzikir, bershalawat, bersilaturrahmi, menuntul ilmu, mendengar nasihat, mendengarkan pembacaan riwayat kelahiran Nabi Muhammad Saw., memuliakan dan menyanjung beliau, berkumpul dengan orang-orang shaleh, berdo'a, dan berbagi rezeki?<br />
<br />
5. Siapakah yang menganggap atau meyakini bahwa agama itu masih kurang dan belum sempurna? Dan siapakah yang berniat menyempurnakannya dengan melakukan amalan yang dituduh bid'ah seperti Maulid atau tahlilan?<br />
<br />
6. Sufi manakah yang mereka tuduh telah tega melakukan sodomi terhadap anak laki-laki yang tampan, apakah Syaikh Abu Yazid al-Busthomi, Syaikh Jalaluddin Rumi, Syaikh Ahmad at-Tijani, Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Abul-Hasan asy-Syadzili, ataukah hanya segelintir orang fasik yang berpura-pura menjadi sufi? Pantaskah tindakan bodoh segelintir orang fasik yang menamakan diri mereka sebagai sufi dijadikan dasar untuk menganggap sesat ilmu tasawuf dan seluruh kalangan sufi terutama mereka yang telah disebutkan di atas?<br />
<br />
7. Siapakah yang berniat menghujat agama dengan melakukan kegiatan Maulid, tahlilan, atau lainnya?<br />
<br />
Kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat mereka jawab dengan dalil terperinci dan dengan mengajukan data yang akurat tentang tokoh atau pelaku yang mereka tuduhkan itu. Sebab kalau tidak, tuduhan-tuduhan mereka bukan cuma fitnah keji, tetapi juga penipuan besar! Dan anehnya, pernyataan-pernyataan jahat seputar acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. seperti di atas, masih terus disebarluaskan, dan buku yang memuatnya dicetak berulang-ulang dan dibagikan secara cuma-cuma, terutama kepada jama'ah haji setiap tahunnya. Lebih aneh lagi, kok masih ada saja yang percaya, setuju, lalu mengikuti ajarannya.<br />
<br />
Yang mungkin membuat mereka berpendapat sedemikian, adalah sikap mereka dalam memahami amalan orang lain yang selalu dinilai dari sudut pandang sendiri, ditambah lagi objek penilaian mereka seringkali adalah kalangan awam yang tidak mengerti dalil, atau bahkan "oknum" fasik yang menikmati maksiat kegemarannya di balik topeng tasawuf atau amalan Maulid. Ketahuilah, kekeliruan amalan orang awam karena kebodohannya, atau keburukan suatu amalan karena kefasikan pelakunya, sama sekali tidak dapat dijadikan dasar atau alasan untuk menggenarilisir (memukul rata) setiap amalan sejenis sebagai amalan yang buruk dan sesat. Jika kita pernah diberi obat yang keliru oleh seorang dokter sehingga penyakit kita bertambah parah karenanya, pantaskah pengalaman itu membuat kita menganggap bahwa seluruh dokter sama buruknya dengan "oknum" dokter tersebut? Atau jika ada berita tentang seorang "oknum" tukang bakso yang menggunakan daging tikus dalam membuat baksonya, pantaskah jika kemudian kita berfatwa bahwa makan bakso yang mana saja haram hukumnya tanpa terkecuali karena menganggap semua tukang bakso sama-sama menggunakan daging tikus? Jawabnya, tentu tidak.<br />
<br />
Mungkin, peribahasa yang paling pantas untuk menggambarkan cara pandang kaum Salafi & Wahabi dalam menilai amalan orang lain, adalah: "Kambing di seberang laut dikira macan, serigala di pelupuk mata dikira domba".<br />
<br />
Akhirnya, setiap orang (termasuk kaum Salafi & Wahabi) hendaknya bertanya, kebaikan apakah yang terdapat di dalam sebuah ajaran agama seperti Salafi & Wahabi yang banyak mendasari ajarannya dengan tuduhan dan fitnah? Pantaskah ajaran seperti itu diikuti atau bahkan dianggap sebagai yang terbaik, paling lurus, dan paling sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau? Hanya orang berakal sehatlah yang dapat menjawabnya dengan benar!<br />
<br />
FITNAH TERHADAP ASY'ARIYYAH DAN MISTERI AHLUSSUNNAH WAL-JAMA'AH<br />
<br />
Asy'ariyyah adalah sebutan bagi sebuah faham atau ajaran aqidah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul-Hasan Ali al-Asy'ari (Lahir dan wafat di Basrah tahun 260 H- 324 H.). Para pengikutnya sering disebut dengan Asy'ariyyuun atau Asyaa'irah (pengikut mazhab al-Asy'ari). Abul-Hasan Ali Al-Asy'ari, yang kemudian dikenal sebagai pelopor aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, memiliki garis keturunan (garis ke-10) dari seorang Sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal keindahan suaranya dalam membaca al-Qur'an, yaitu Abu Musa al-Asy'ari. Beliau lahir 55 tahun setelah wafatnya al-Imam Syafi'I, dan Abul-Hasan al-Asy'ari adalah pengikut Mazhab Syafi'i.<br />
<br />
Pada mulanya, beliau beraqidah Mu'tazilah karena berguru kepada seorang ulama Mu'tazilah yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba'i (Wafat 295H.). Setelah menjadi pengikut Mu'tazilah selama + 40 tahun, beliau bertobat lalu mencetuskan semangat beraqidah berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta para ulama salaf (seperti Imam Malik, Imam Syafi'I, Imam Ahmad, dan lain-lainnya).<br />
<br />
Dalam mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini, terdapat pula seorang ulama yang sejalan dengan al-Asy'ari, yaitu Syaikh Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand Asia Tengah pada tahun 333 H). Meskipun paham atau ajaran yang mereka sampaikan itu sama atau hampir sama, namun al-Asy'ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak pengikutnya, sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah lebih sering disebut dengan al-Asyaa'irah (pengikut al-Asy'ari) atau al-Asy'ariyyun.<br />
<br />
Ahlus-Sunnah wal-jama'ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu'tazilah yang cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur'an atau Hadis. Banyak keyakinan Mu'tazilah yang dianggap oleh al-Asy'ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika Mu'tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah al-Ma'mun, al-Mu'tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu'tazilah itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal.<br />
<br />
Ajaran al-Asy'ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah) ini kemudian berhasil meruntuhkan paham Mu'tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka dengan al-Qur'an dan Hadis serta dalil-dalil 'aqly (akal) sebagaimana dicontohkan oleh para salafush-shaleh.<br />
<br />
Pada masa berikutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ini dianut dan disebarluaskan oleh ulama-ulama besar seperti Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403 H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.), 'Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227 H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat 1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.<br />
<br />
Karya-karya tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam, sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah itu menjadi paham para ulama dan umat Islam mayoritas di berbagai negeri seperti: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon, Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar daerah Sovyet, dan Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat "I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).<br />
<br />
Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Ajaran aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra' Mi'raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur'an dan Hadis serta Atsar para Sahabat Rasulullah Saw.<br />
<br />
Belakangan, Asy'ariyyah sering dipisahkan penyebutannya dari Ahlussunnah Wal-jama'ah, hal seperti ini telah dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di dalam pembahasan fatwa-fatwanya yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya, yaitu kaum Salafi & Wahabi. Akan tetapi, antara pandangan Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi di masa belakangan tentang Asy'ariyyah terdapat perbedaan. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah aqidah para ulama salaf (yaitu para Shahabat Rasulullah Saw. dan para ulama yang hidup di 3 generasi pertama masa Islam + 300 H.), bukan monopoli sebuah kelompok saja seperti Asy'ariyyah. Artinya, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa para Shahabat Rasulullah Saw., para tabi'in, ulama madzhab yang empat, dan siapa saja yang berpedoman kepada al-Qur'an, as-Sunnah, serta ijma' ulama salaf, adalah Ahlussunnah Wal-jama'ah (lihat Majmu' Fatawa Ibni Taimiyah, Dar 'Alam al-Kutub, juz 3, hal. 157).<br />
<br />
Secara tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui Asy'ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama'ah terutama pada pendapat-pendapat yang ia anggap sejalan dengan prinsip al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijma' ulama salaf. Sedangkan kaum Salafi & Wahabi belakangan lebih cenderung menganggap Asy'ariyyah sebagai aliran sesat yang bukan termasuk Ahlussunnah Wal-jama'ah.<br />
<br />
Pembahasan-pembahasan Kaum Salafi & Wahabi ini kemudian mengarahkan umat untuk menganggap bahwa Asy'ariyyah hanyalah kelompok aliran ilmu kalam (ilmu pembicaraan) yang tidak ada hubungannya dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Ilmu kalam mereka anggap sebagai hasil pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan logika yang didasari oleh pemikiran filsafat, dan dengan keadaan seperti itu ia banyak dikecam oleh para ulama salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap kelompok-kelompok ahli kalam diarahkan kepada Asy'ariyyah sedangkan para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy'ariyyah yang baru muncul setelah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka sebenarnya yang mereka kecam adalah aliran-aliran aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan sudah berkembang di saat itu, seperti: Qadariyyah, Jabbariyyah, Khawarij, Syi'ah, dan Mu'tazilah.<br />
<br />
Pendek kata, Asy'ariyyah menurut kaum Salafi & Wahabi adalah bukan Ahlussunnah Wal-Jama'ah, melainkan aliran bid'ah yang harus dijauhi. Perhatikanlah fatwa-fatwa ulama Salafi & Wahabi berikut ini:<br />
<br />
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata:<br />
<br />
"Kemudian muncul juga kelompok yang lain, dan mereka menyebut dirinya Asy'ariyah. Mereka mengingkari sebagian sifat Allah dan menetapkan sebagian yang lain. Mereka menetapkan sifat-sifat tersebut berdasar kepada akal. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan bid'ah dan perkara baru dalam agama Islam" (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 140).<br />
<br />
Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr berkata:<br />
<br />
"Tetapi, apakah Asya'irah dan Maturidiyah itu Ahlussunnah, ataukah mereka termasuk Ahli Kalam? Hakikatnya, mereka ini termasuk Ahli Kalam. Mereka bukan termasuk Ahlussunnah, walaupun mereka ahlul-millah, ahli qiblah (umat Islam). Dikarenakan al-Asya'irah dan Maturidiyah itu menyelisihi Ahlussunnah Wal-Jama'ah" ( lihat Majalah As-Sunnah, edisi 01/tahun XII, April 208, hal. 35).<br />
<br />
Ungkapan di atas adalah sebuah fitnah dan penipuan besar terhadap Asy'ariyyah, sebab tidak seorang pun dari ulama yang menyatakan hal seperti itu kecuali kaum Salafi & Wahabi.<br />
<br />
Aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah memang bukan hanya milik Asy'ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang berpegang kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat beliau adalah termasuk Ahlussunnah Wal-Jama'ah, baik sebelum Asy'ariyyah muncul atau sesudahnya. Akan tetapi, aqidah (keyakinan) Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti itu belumlah tersusun secara rapi dan masih terpencar-pencar di masa ulama salaf, mengingat pada masa itu para ulama menghadapi cobaan berat dari penguasa yang beraqidah Mu'tazilah (lihat I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah, KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, hal. 16).<br />
<br />
Barulah pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy'ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di kalangan umat sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu'tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul Hasan al-Asy'ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama'ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya'irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:<br />
<br />
"Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya'irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi" (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6. Lihat I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17).<br />
<br />
"Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy'ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya'irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari)" (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).<br />
<br />
"Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)<br />
<br />
"Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya'irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Hasyiyah Al-'Adwi, Ali Ash-Sha'idi Al-'Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).<br />
<br />
"Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu 'anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)" (Hasyiyah At-Thahthawi 'ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).<br />
<br />
Pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap Asy'ariyyah adalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan) Asy'ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah Wal-Jama'ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang sebenarnya.<br />
<br />
Boleh dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy'ariyyah, malah hubungan ini seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy'ari sudah lebih dulu menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama salaf.<br />
<br />
Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama'ah bagi Asy'ariyyah dan "pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama'ah" bagi Abul Hasan al-Asy'ari, hanyalah sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah serta perjuangan beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu'tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy'ariyyah atau Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy'ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama salaf yang bersumber kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.<br />
<br />
Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah merasa berbahagia dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Asy'ariyyah, kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama'ah yang tidak ada hubungannya dengan Asy'ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah dengan hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan keadaan ini berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.<br />
<br />
Sebagai contoh, kaum Salafi & Wahabi boleh saja mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang tidak ada hubungan sejarah dengan Asy'ariyyah, tetapi asal tahu saja, ternyata tidak seorang pun ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang berfatwa atau berpendapat seperti mereka bahwa memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bertawassul dengan beliau setelah wafatnya, dan bertawassul dengan para wali atau orang shaleh yang sudah meninggal adalah sebuah sarana kemusyrikan. Jadi, siapakah yang lebih pantas disebut Ahlussunnah Wal-Jama'ah, kaum Salafi & Wahabi yang memahami aqidah para ulama salaf dengan caranya sendiri sehingga berbeda kesimpulan dengan para ulama salaf itu, ataukah para pengikut Asy'ariyyah yang menerima ajaran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui para guru dan kitab-kitab mereka? <br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/fitnah-fitnah-keji-kaum-wahabi.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/fitnah-fitnah-keji-kaum-wahabi.html</a></div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-6020782077345798142012-06-17T01:51:00.001-07:002012-06-22T20:19:34.217-07:00tipu daya wahabi dan salafi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
BAB 6 : TIPU DAYA KAUM SALAFI & WAHABI <br />
<br />
Pada poin ini, kita akan membahas tentang ungkapan-ungkapan kaum Salafi & Wahabi yang mengandung tipu daya dan telah banyak meyakinkan orang-orang awam agar mengikuti ajaran mereka. Ungkapan-ungkapan itu memang bukan ayat al-Qur'an maupun hadis, tetapi secara logika semata, ungkapan tersebut tidak bisa ditolak begitu saja, padahal bila dikaitkan dengan pembahasan-pembahasan sebelum ini maka semuanya akan tertolak mentah-mentah. Di antara ungkapan-ungkapan itu adalah: <br />
<br />
1. "Seandainya apa yang diada-adakan sepeninggal mereka (Rasulullah Saw. dan para shahabatnya) itu baik, tentu mereka yang lebih dahulu mengerjakannya" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 73).<br />
<br />
Ungkapan ini sama sekali tidak bisa dianggap benar, karena hanya mengandai-andai. Pada kenyataannya, perkara-perkara baru seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang sepertinya memang mengandung banyak kebaikan, dan hal itu ditakdirkan Allah baru ada setelah ratusan tahun Rasulullah Saw. wafat. <br />
<br />
Untuk menjawab ungkapan berandai-andai di atas, kita juga bisa berkata seperti mereka, "Seandainya acara Maulid atau tahlilan itu buruk, tentu Rasulullah Saw. telah menyebutkan larangan melakukannya dengan jelas" . Ternyata Rasulullah Saw. hanya melarang bid'ah, bukan Maulid atau tahlilan. Beliau juga tidak menyebutkannya sebagai amalan-amalan yang merupakan dosa besar seperti syirik, zina, durhaka kepada orang tua, lari dari medan perang, dan lain sebagainya. Apa yang menghalangi beliau untuk menyebutkannya bila memang beliau tahu hal itu buruk atau sesat, atau merupakan dosa besar? Pantaskah beliau menyembunyikannya? <br />
<br />
2. "Tak layak bagi orang yang berakal untuk tertipu dengan banyaknya orang yang mengerjakan perbuatan tersebut (Maulid-red) di seluruh penjuru dunia. Sebab, al-haq (kebenaran) tidak diketahui dari banyaknya yang mengerjakannya" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 10). <br />
<br />
Dengan pernyataan ini, sepertinya mereka lupa, bahwa yang banyak melakukannya (Maulid) di seluruh penjuru dunia bukan cuma masyarakat Islam yang awam. Kenyataan itu juga menunjukkan bahwa di seluruh penjuru dunia ada banyak pula para ulama Islam yang menerima acara Maulid sebagai suatu kegiatan positif dalam pandangan agama, dan merekalah yang mengajak umat untuk mengamalkan dan melestarikannya. Para ulama itu bahkan banyak yang menulis kitab khusus berkenaan dengan acara Maulid. <br />
<br />
Berarti, mayoritas ulama dan umat Islam menganggap acara Maulid itu positif, kecuali segelintir ulama Salafi & Wahabi beserta sejumlah kecil para pengikutnya. Jadi, lebih baik mana, pendapat mayoritas ulama atau pendapat segelintir ulama? Bukankah hadis mutawatir (yang diriwayatkan banyak orang) lebih kuat status keotentikan dan kebenarannya di bandingkan dengan hadis aahaad (yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang saja)? <br />
<br />
Al-Haq (kebenaran) tentang suatu amalan memang tidak didasarkan pada banyak atau sedikitnya orang yang melakukan, tetapi pendapat mayoritas ulama tentang kebaikan amalan itu adalah jalan yang lebih selamat dan paling logis untuk mencapai kebenaran tersebut. Sementara sikap atau pandangan segelintir orang yang berbeda dari mayoritas umat Islam, lebih pantas dibilang sebagai suatu keganjilan atau kelainan. Karena yang biasa terjadi adalah, mayoritas siswa di suatu sekolah berhasil lulus ujian kecuali segelintir siswa saja. Sungguh sangat aneh bila yang terjadi, mayoritas siswa di sekolah itu tidak lulus ujian kecuali segelintir siswa saja. <br />
<br />
Bila mereka katakan, "yang banyak belum tentu benar", maka karena kebenaran hakiki hanya Allah yang tahu, kita katakan kepada mereka, "bila yang banyak belum tentu benar, maka yang sedikit lebih jauh lagi kemungkinannya untuk benar. Tetapi yang banyak lebih aman dan lebih selamat daripada yang sedikit". <br />
<br />
3. "Jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambah dan tidak boleh dikurangi" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 20). "Mengada-adakan hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid, berarti beranggapan bahwa Allah Swt. belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 8). <br />
<br />
Islam memang sudah sempurna, siapapun orang Islamnya pasti meyakini itu. Bila orang melakukan suatu amalan yang mengandung kebaikan (seperti Maulid atau yang lainnya) dianggap menambah agama atau beranggapan bahwa Allah belum menyempurnakan agama-Nya, maka itu hanyalah fitnah dan tuduhan yang diada-adakan oleh kaum Salafi & Wahabi. Karena, baik yang merintis maupun yang melakukan amalan tersebut tidak pernah berpikir begitu, mereka hanya fokus pada pelaksanaan suatu amalan kebajikan atau amal shaleh yang bermanfaat bagi banyak orang. Sungguh aneh memang, mereka yang menuduh, lalu mereka pula yang menyalahkan! <br />
<br />
4. "Melakukan amalan seperti peringatan Isra' & Mi'raj atau yang lainnya adalah sia-sia dan tidak ada pahalanya, karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyuruh atau tidak pernah mengerjakannya" (Ceramah agama di Radio Roja' AM 726 Mhz.). <br />
<br />
Ungkapan yang ini lebih aneh lagi, karena: 1. Allah Swt. dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakan bahwa melakukan amalan seperti peringatan Maulid atau Isra' & Mi'raj itu sia-sia dan tidak ada pahalanya 2. Pahala itu milik Allah dan hanya Dia yang berwenang untuk memberikannya atau tidak memberikannya, bukan milik kaum Salafi & Wahabi. 3. Setiap amalan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak lantas berarti terlarang, kecuali bila beliau jelas-jelas menyebutkan larangannya secara khusus, dan ini merupakan ijma' (kesepakatan) ulama (lebih jelasnya, lihat pembahasan tentang Dalil Perintah dan Larangan pada buku ini). <br />
<br />
Jadi, bila mereka menyatakan acara Maulid, Isra & Mi'raj, tahlilan, dan lain sebagainya itu sia-sia dan tidak ada pahalanya, maka mereka harus mendatangkan dalil yang menyebutkannya dengan jelas. Bila tidak ada dalilnya, atau hanya dalil umum (sebagaimana kebiasaan mereka) yang mereka ajukan, maka berarti mereka telah melakukan bid'ah sesat, karena telah berfatwa bahwa orang yang hadir di acara tersebut di mana mereka melakukan silaturrahmi, membaca dan mendengarkan al-Qur'an, berzikir, bershalawat, mendengarkan nasihat ulama, memuliakan dan mengenang Rasulullah Saw., berdo'a, dan berbagi rezeki, sama sekali tidak mendapat pahala! <br />
<br />
Rupanya, sifat bakhil kaum Salafi & Wahabi ini sudah keterlaluan. Pelit terhadap milik sendiri adalah sikap tercela, dan lebih tercela lagi pelit terhadap milik orang lain. Dan amat sangat lebih tercela lagi bila pelit terhadap milik Allah. Apakah Allah harus minta persetujuan mereka untuk memberi pahala kepada hamba-Nya??! <br />
<br />
Tentang amalan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw., maka para ulama kaum muslimin dari masa dulu mupun belakangan, di Timur maupun di Barat, telah sepakat bahwa "hal meninggalkan" itu bukanlah suatu prinsip atau konsep untuk menyimpulkan hukum secara tersendiri. Tentang ini, Syaikh al-'Allamah as-Sayyid Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari telah menulis sebuah risalah yang ia beri judul "Husnu at-Tafahhum wa ad-Daraki li Mas'alati at-Tarki" (Pemahaman & Pengetahuan yang baik untuk masalah "Meninggalkan"). Beliau memulainya dengan beberapa bait puisi yang indah, yang berbunyi: <br />
<br />
Meninggalkan suatu amalan bukan hujjah dalam syari'at kita<br />
<br />
Dan ia tidak bermakna pelarangan ataupun kewajiban<br />
<br />
Siapa yang melarang suatu perbuatan dengan alasan Nabi meninggalkannya<br />
<br />
Kemudian berpendapat itulah hukum yang benar dan tepat<br />
<br />
Sungguh dia telah menyimpang dari seluruh dalil-dalil <br />
<br />
Bahkan keliru dalam memutuskan hukum yang shahih, dan dia telah gagal<br />
<br />
Tidak ada pelarangan kecuali pelarangan yang diiringi <br />
<br />
Dengan ancaman siksa bagi pelanggarnya<br />
<br />
Atau kecaman terhadap suatu perbuatan, dan disertai bentuk sanksi yang pasti<br />
<br />
Atau lafaz mengharamkan untuk perkara tercela.<br />
<br />
(Lihat Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan, Syaikh Ali Jum'ah –Mufti Mesir--, Duha Khazanah, Cikarang, 2007, hal 235-236) <br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/tipu-daya-wahabi-dan-salafi.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/tipu-daya-wahabi-dan-salafi.html</a></div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-12241951108419384342012-06-17T01:49:00.001-07:002012-06-22T20:20:04.543-07:00wahabi berdalil serampangan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><br />
BAB 5 : BERDALIL SECARA SERAMPANGAN<br />
<br />
Dalil tentang tuduhan "menambah-nambahi agama" yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid'ah.<br />
Dalil tentang tuduhan "membuat-buat syari'at".<br />
Dalil tentang tuduhan "Beragama Tradisi" atau "Fanatik Terhadap Tokoh Bid'ah"<br />
Dalil tentang tuduhan "Mendahului Allah dan Rasul-Nya"<br />
Dalil tentang tuduhan "Berlebihan Dalam Urusan Agama".<br />
<br />
<br />
Setelah membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi menyangkut tuduhan mereka tentang bid'ah, kita dapat mengetahui bahwa keberadaan dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan pemahaman anti bid'ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa dalil-dalil tersebut semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah tertentu, sedangkan fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah seperti memberikan rincian yang tidak pernah disebutkan oleh dalil. Para ulama saja tidak berani melakukan hal itu sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci, sehingga mereka hanya berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk membolehkan suatu perkara atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat digunakan untuk segala macam perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia.<br />
<br />
Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun tidak dapat dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya secara harfiyah (tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya lagi dengan dalil-dalil lain yang mungkin mengarahkan maknanya. Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan sangat gegabah, karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori memahami dan meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau pada akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.<br />
<br />
Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi & Wahabi juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka tentang tuduhan bid'ah. Sepertinya, hal itu mereka lakukan agar kesan "salah" pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan bid'ah tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan. Namun lagi-lagi dengan cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah kegagalan memahami dalil-dalil pokok bid'ah. Dengan kata lain, maksud hati ingin memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa daya pemahaman yang keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan mereka. Mengapa begitu?<br />
<br />
Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung itu bukan pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka memahami dalil yang serba harfiyah (tekstual). Mau tahu buktinya? Mari kita ambil beberapa contoh.<br />
<br />
1. Dalil tentang tuduhan "menambah-nambahi agama" yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid'ah.<br />
<br />
" …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ..." (QS. Al-Maidah: 3)<br />
<br />
Agama Islam memang sudah sempurna, siapa pun orang Islamnya tahu itu. Melakukan amal kebajikan adalah perkara yang diperintahkan di dalam agama, meski bentuk kebajikannya tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip kebajikan menurut agama.<br />
<br />
Bagi kaum Salafi & Wahabi, umat Islam yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya dituduh telah "menganggap agama Islam ini masih kurang" alias belum sempurna sehingga mereka tega "menambah-nambahi agama", bahkan dengan begitu mereka dituduh telah menganggap Rasulullah Saw. berkhianat dalam menyampaikan agama. Sungguh keji tuduhan ini!<br />
<br />
Sesungguhnya, tidak seorang pun dari para ulama dan umat pelaku Maulid atau tahlilan itu berniat menambah-nambahi agama, apalagi sampai menuduh Rasulullah Saw. berkhianat. Sungguh hal itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak mereka, yang ada hanyalah pikiran-pikiran tentang mengupayakan peluang amal kebajikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dengan begitu diharapkan setiap orang yang ikut serta dalam acara-acara tersebut mendapatkan pahala, ampunan, rahmat, dan pengkabulan do'a dari Allah Swt.<br />
<br />
Format acara yang memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau hanyalah suatu wadah yang dibuat secara kreatif untuk melaksanakan amalan-amalan yang sesungguhnya diperintahkan oleh Rasulullah Saw. sendiri, seperti: Bersilaturrahmi, berzikir, bershalawat, mendo'akan orang meninggal, bersedekah, mendengar nasihat atau ilmu, memupuk kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah Saw., berdo'a, berbagi rezeki, dan memelihara keimanan serta ketakwaan. Bisa dibayangkan, tanpa acara-acara kreatif seperti itu, apa jadinya keadaan umat Islam di zaman belakangan ini yang nota bene perhatiannya kepada akhirat sangat rendah; cintanya kepada dunia sudah menguasai pikirannya; ditambah lagi acara-acara dunia dan maksiat sudah dikemas jauh lebih kreatif dan menarik.<br />
<br />
Kreasi kebajikan yang digagas oleh para ulama itu pun tidak pernah diklaim sebagai "tambahan atas kekurangan agama", melainkan hanya sebagai kegiatan keagamaan yang ditradisikan sebagai adat atau budaya yang dilaksanakan dalam rangka syi'ar agama. Jadi tuduhan kaum Salafi & Wahabi adalah tuduhan berlebihan yang diada-adakan dan tidak ada kenyataannya, sedangkan ayat di atas hanyalah pernyataan dari Allah tentang kesempurnaan Islam, bukan berisi tuduhan menambah-nambahi agama!<br />
<br />
2. Dalil tentang tuduhan "membuat-buat syari'at".<br />
<br />
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? …" (QS. Asy-Syuuraa: 21).<br />
<br />
Senada dengan tuduhan "menambah-nambahi agama", ayat ini digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh pelaku Maulid, tahlilan, zikir berjama'ah, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain-lainnya sebagai "pembuat syari'at" yang "tidak diizinkan Allah".<br />
<br />
Ada tiga hal yang semestinya mereka sadari tentang tuduhan tersebut:<br />
<br />
a. Para ulama tidak pernah menganggap bahwa amalan-amalan tersebut sebagai bagian dari ibadah mahdhah atau syari'at kecuali bila benar-benar ada dalil yang menunjukkannya, melainkan hanya sebagai adat atau kebiasaan baik yang mengandung maslahat. Di sinilah pangkalnya kenapa kaum Salafi & Wahabi menuduh demikian, karena mereka selalu menganggap amalan "berbau agama" sebagai "ibadah", di mana ibadah tidak boleh dilakukan kecuali bila ada dalil yang memerintahkannya.<br />
<br />
b. Ayat di atas jelas-jelas menyebut "sembahan-sembahan selain Allah" yang menunjukkan adanya indikasi "syirik", dan memang ayat ini ditujukan oleh Allah untuk orang-orang musyrik Jahiliyah penyembah berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.<br />
<br />
Adalah sangat keterlaluan bila para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan seperti Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya dituduh mempunyai "sembahan-sembahan selain Allah" yang telah mensyari'atkan kepada mereka amalan-amalan tersebut. Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi ini bisa dengan seenaknya menuduh saudaranya yang muslim sebagai orang-orang musyrik yang tidak mau menerima syari'at Allah lalu malah mengambil syari'at tuhan selain Allah, padahal mereka jelas-jelas mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji?<br />
<br />
c. Kaum Salafi & Wahabi juga menuduh amalan-amalan tersebut sebagai amalan "yang tidak diizinkan Allah". Pertanyaannya, dari mana mereka tahu bahwa amalan tersebut tidak diizinkan Allah, padahal ayat itu tidak menyebut perincian jenis atau macamnya? Tidak cukupkah mereka menipu umat dengan mengatasnamakan tuduhan mereka dengan firman Allah? Sungguh terlalu! Lagipula, para ulama tafsir sudah menjelaskan, bahwa "yang tidak diizinkan Allah" itu maksudnya adalah syirik (menyembah berhala atau menyembah selain Allah), mengingkari pembangkitan di hari Kiamat, atau keyakinan-keyakinan Jahiliyah lainnya.<br />
<br />
3. Dalil tentang tuduhan "Beragama Tradisi" atau "Fanatik Terhadap Tokoh Bid'ah"<br />
<br />
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170).<br />
<br />
Ayat ini termasuk dalil pamungkas yang digunakan kaum Salafi & Wahabi untuk menyudutkan orang-orang yang mereka tuduh sebagai pelaku bid'ah. Di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah hal. 84 disebutkan begini, "Bila mereka diajak untuk mengikuti Kitab al-Qur'an dan Sunnah, dan diajakmeninggalkan apa yang mereka kerjakan yang bertentangan dengan keduanya (al-Qur'an dan as-Sunnah) mereka berdalil (berargumen) dengan madzhab-madzhab mereka dan dengan pendapat guru-guru, orang tua dan nenek moyang mereka."<br />
<br />
Orang awam akan terhenyak mendengar ayat ini, lalu mereka akan membenarkan penjelasan kaum Salafi & Wahabi, kemudian mengikuti pendapat mereka. Padahal lagi-lagi mereka telah melakukan penipuan yang sangat fatal, yaitu:<br />
<br />
a. Ayat tersebut di atas berbicara tentang orang-orang kafir atau musyrikin penyembah berhala yang tidak mau diajak untuk hanya menyembah kepada Allah dengan alasan mengikuti keyakinan para leluhur dan nenek moyang mereka dalam menyembah berhala. Keterangan seperti ini bisa didapat di dalam kitab tafsir yang mana saja, dan itu berarti para ulama tafsir tidak ada yang berbeda pendapat tentang maksud ayat ini. Hanya kaum Salafi & Wahabi yang mengarahkan maksud ayat itu kepada umat Islam yang mereka tuduh sebagai ahli bid'ah, padahal penafsiran mereka yang semacam inilah yang lebih pantas disebut bid'ah.<br />
<br />
b. Kaum Salafi & Wahabi, dengan penafsiran ayat di atas, bukan hanya memfitnah orang-orang muslim yang dituduh melakukan bid'ah saja, tetapi juga sekaligus memfitnah guru-guru dan pendahulu mereka atau nenek moyang mereka yang muslim lagi shaleh yang mengajarkan amalan-amalan kebaikan seperti Maulid, tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya berdasarkan prinsip ajaran Islam. Para guru dan pendahulu yang alim dan shaleh itu mereka anggap sebagai orang-orang yang "tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk", padahal ratusan bahkan ribuan jilid "kitab kuning" dalam berbagai cabang ilmu agama telah mereka hasilkan dan telah menjadi hantaran petunjuk bagi banyak orang dari zaman ke zaman.<br />
<br />
Salahkah bila seorang muslim ditanya, "Kenapa kamu mengadakan tahlilan atau Maulid?" lalu ia menjawab, "Karena kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh guru-guru kami dan orang-orang tua kami sejak dahulu", sedangkan yang mengikuti dan yang diikuti sama-sama muslim dan sama-sama memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah kebaikan yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam? Sungguh, hanya orang berpikiran picik saja yang menganggap sama antara orang muslim yang mengikuti jejak pendahulunya yang muslim dengan orang kafir atau musyrik yang mengikuti pendahulunya yang kafir atau musyrik juga.<br />
<br />
c. Dengan mengajukan ayat di atas sebagai dalil, kaum Salafi & Wahabi seolah mendeklarasikan diri sebagai orang-orang yang mengikuti " apa yang telah diturunkan Allah", sedang selain mereka tidak. Seharusnya mereka bertanya, apakah Allah menurunkan perintah untuk menyamakan orang muslim dengan orang kafir atau musyrik? Mereka juga seharusnya bertanya, apakah mereka benar-benar tidak mengikuti guru-guru dan pendahulu mereka dalam keterlaluan sikap mereka itu??!<br />
<br />
Bila ternyata Allah tidak menurunkan perintah-Nya untuk menyamakan muslim dengan kafir atau musyrik, dan bila sikap yang keterlaluan itu tidak pernah dicontohkan oleh para guru dan pendahulu mereka, maka ajaran siapakah yang mereka ikuti sehingga mereka merasa paling benar dan selain mereka dianggap salah atau sesat? Selama ini, sebagaimana sudah diketahui secara umum, tidak ada yang mengajarkan arogansi seperti itu dalam hal apapun selain iblis, saat ia berkata "Aku lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. Shaad: 76).<br />
<br />
4. Dalil tentang tuduhan "Mendahului Allah dan Rasul-Nya"<br />
<br />
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Hujuraat: 1)<br />
<br />
Ayat ini sering dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah para wali, dan lain sebagainya telah "mendahului Allah dan Rasulullah Saw." dalam menetapkan suatu amalan di dalam agama. Dalam bahasa lain, telah berbuat lancang, karena mengadakan sesuatu amalan yang belum diperintahkan oleh Allah atau Rasulullah Saw.<br />
<br />
Penggunaan dalil tersebut sepertinya tepat, padahal secara logika sangat tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, mana mungkin disebut mendahului sedangkan yang didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi sampai hari Kiamat (wahyu al-Qur'an sudah tidak turun, dan Rasulullah Saw. sudah wafat)? Bisa disebut mendahului apabila ada suatu masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah Saw., lalu ada orang yang berani angkat suara untuk menjawabnya di saat beliau belum menjawabnya; atau Rasulullah Saw. membuat suatu keputusan atau pilihan, lalu ada orang yang mengusulkan agar keputusan atau pilihan itu diganti; atau ada orang yang melakukan suatu amalan sebelum waktunya padahal waktu pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Allah atau Rasulullah Saw seperti: Menyembelih hewan kurban sebelum shalat 'Ied, shalat fardhu sebelum waktunya, dan lain-lain. Intinya, disebut mendahului, bila proses pensyari'atan masih berlangsung di mana wahyu masih turun dan Rasulullah Saw. masih hidup, atau bila ketentuan amalan syari'at yang telah ditetapkan waktunya dilakukan sebelum waktunya tiba.<br />
<br />
Lebih fatal lagi kalau tuduhan "mendahului Allah dan Rasul-Nya" ini diartikan bahwa orang-orang yang melakukan peringatan Maulid atau tahlilan sudah melakukan kegiatan tersebut padahal Allah atau Rasulullah Saw. belum menetapkan perintah atau hukumnya. Itu berarti ada pemahaman seolah-olah wahyu masih diharap akan turun dan Rasulullah Saw. masih akan bersabda, hanya saja didahului oleh orang-orang itu. Bukankah proses pensyari'atan sudah selesai, dan bukankah Islam sudah disempurnakan sehingga tidak akan mungkin lagi turun syari'at baru dari Allah atau dari Rasulullah Saw. dalam hal menyuruh atau melarang? Jadi tuduhan "mendahului" ini ngawur, tidak pada tempatnya, terlalu dipaksakan, dan sangat mengada-ngada.<br />
<br />
5. Dalil tentang tuduhan "Berlebihan Dalam Urusan Agama".<br />
<br />
Rasulullah Saw. bersabda: "Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama" (HR. Ahmad).<br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya sebagai pelaku "ghuluw" (berlebihan) dalam beragama. Sisi "berlebihan" yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara "amalan bernuansa agama" dengan "amalan di dalam agama".<br />
<br />
Para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan-amalan tersebut sesungguhnya tidak pernah menganggapnya bagian dari agama atau syari'at, melainkan hanya sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata "berlebihan", sebab rumusnya di dalam agama, "Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah: 120). Jadi, "semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan". Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan "berlebihan di dalam agama", sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.<br />
<br />
Para ulama hadis menafsirkan kata "ghuluw" (berlebihan) pada hadis di atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya –sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam hadis tersebut dengan ungkapan "telah binasa orang-orang sebelum kalian".<br />
<br />
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-'Aqabah di Mina, saat Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu melontar, yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, "Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama."<br />
<br />
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang "berlebihan di dalam agama", apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi & Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!<br />
<br />
Perhatikanlah vonis-vonis "berlebihan" yang sering dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: "Tidak ada pahalanya!", "sesat!", "sia-sia", "musyrik!", "kafir!", "masuk neraka!", "tidak ada dalilnya!", "menambah-nambahi agama!", "mengada-ngada!", "haram!", "jangan bergaul dengan ahli bid'ah!", dan lain sebagainya.<br />
<br />
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan "Quburiyyun", bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan "Abdun-Nabi" (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur'an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).<br />
<br />
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan kalimat-kalimat tersebut?<br />
<br />
***********<br />
<br />
Pembahasan di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak keserampangan di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa tentang bid'ah. Sikap serampangan itu bukan hanya menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka anggap sebagai bid'ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara mereka yang muslim.<br />
<br />
Lihatlah satu contoh lagi dalil yang sering mereka gunakan untuk menghukumi orang-orang yang biasa berziarah kubur para shalihin dan para wali yang sering mereka juluki dengan Quburiyyun, atau orang-orang yang bertawassul kepada Allah melalui para wali atau dengan jaah (kemuliaan) mereka, yang dengan itu mereka anggap orang-orang itu telah mengambil "perantara" dalam berdo'a atau beribadah kepada Allah sebagaimana para penyembah berhala (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 212), seperti yang difirmankan Allah sebagai berikut:<br />
<br />
"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya" . Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar." (QS. Az-Zumar: 3).<br />
<br />
Benarlah sebagian ulama (seperti Syaikh Ibnu 'Abidin al-Hanafi dan yang lainnya) yang menganggap kaum Salafi & Wahabi ini sebagai bagian dari kelompok "Khawarij" yang dianggap sesat oleh seluruh ulama, di mana salah satu cirinya adalah seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari:<br />
<br />
Bab Membunuh kelompok Khawarij dan Mulhidin (kafir/menyimpang) setelah menegakkan hujjah (argumen) atas mereka. Dan firman Allah ta'ala: "Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi" (QS. At-Taubah: 115). Dan adalah Ibnu Umar Ra. memandang mereka sebagai seburuk-buruknya makhluk Allah, dan ia berkata, "Sesungguhnya mereka menelusuri ayat-ayat yang turun mengenai orang-orang kafir, lalu mereka jadikan (terapkan) ayat-ayat itu atas orang-orang beriman." (lihat Shahih al-Bukhari, Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah Beirut, juz 6, hal. 2539). <br />
<br />
Sumber</span>: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/wahabi-berdalil-serampangan.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/wahabi-berdalil-serampangan.html</a></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-31071639122387836412012-06-17T01:36:00.002-07:002012-06-22T20:20:46.888-07:00Dalil2 khusus kaum salafi-wahabi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
BAB 4 : DALIL-DALIL KHUSUS KAUM SALAFI DAN WAHABI<br />
<br />
Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi<br />
<br />
DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA'AH<br />
DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW<br />
DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW<br />
DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN<br />
<br />
<br />
Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadis-hadis Rasulullah Saw., ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.<br />
<br />
Contohnya, hadis-hadis Rasulullah Saw. yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung beliau seperti yang dilakukan kaum nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan beliau dengan sebutan sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw., larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid. Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadis, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.<br />
<br />
Syaikh Ali Jum'ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya beliau yang berjudul al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba'dhi al-Mafahim, atau dalam edisi terjemah berjudul Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.<br />
<br />
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid'ah atau sesat suatu amalan dengan serampangan, semata-mata karena melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna haram.<br />
<br />
1. DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA'AH<br />
<br />
Salah satu dalil khusus yang paling jelas menyebutkan larangan berzikir berjamaah atau menghitung bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih, adalah perkataan Abdullah bin Mas'ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi. Dalil ini tampaknya sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk mengharamkan kegiatan tahlilan dan zikir berjama'ah serta melabelkan padanya tuduhan bid'ah.<br />
<br />
Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut:<br />
<br />
Dari 'Amr bin Yahya, dia berkata, "Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata, 'Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa al-Asy'ari Ra. Dan berkata, 'Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas'ud) telah keluar pada kalian?' Kami menjawab, 'Belum.' Lalu dia pun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas'ud keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy'ari berkata, 'Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, 'Apa itu?' Abu Musa menjawab, ' Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri.' Abu Musa lalu berkata, 'Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, 'Bacalah takbir 100 kali,' mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, 'Bacalah tahlil 100 kali', mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, 'Bacalah tasbih 100 kali', mereka pun bertasbih 100 kali.<br />
<br />
Abdullah bin Mas'ud bertanya, 'Apa yang kamu katakan pada mereka?' Abu Musa menjawab, 'Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!' Abdullah bin Mas'ud menjawab, 'Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?' Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata, 'Apa yang kalian sedang kerjakan?' Mereka menjawab, 'Wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi Saw., masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan.'<br />
<br />
Mereka menjawab, 'Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur'an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.' Kemudian dia pergi. Amr bin Salamah berkata, 'Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij." (Hadis ini diriwayatkan oleh ad-Darimi).<br />
<br />
Riwayat tersebut sepertinya dianggap mewakili dalil khusus yang jelas-jelas melarang zikir berjama'ah, atau melarang menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih. Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan tersebut atau untuk memvonis bid'ah amalan berzikir berjama'ah atau menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:<br />
<br />
1. Bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw., "Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red)." (Hadis Shahih riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain). Abdullah bin Mas'ud Ra. Tidak mungkin tidak mengetahui hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini.<br />
<br />
2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw. juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti: Bacaan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, yang masing-masing dibaca 33 kali, atau tentang keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa 'ala kulli syai'in Qadiir sebanyak 100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari 100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah bacaan zikir.<br />
<br />
3. Rasulullah Saw. tidak pernah melarang shahabat untuk menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti Abu Darda' Ra. dan Abu Hurairah Ra. memiliki sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk berzikir (lihat az-Zuhd, Abu 'Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya', juz 1 hal. 383, dan lain-lain).<br />
<br />
4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas'ud Ra. di atas memiliki kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat 'Amr bin Yahya bin 'Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh Yahya bin Ma'in dan Ibnu 'Adi.<br />
<br />
5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan/sabda Rasulullah Saw., melainkan perkataan pribadi Abdullah bin Mas'ud Ra. (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat). Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi tidak termasuk hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan hukum kecuali bila sejalan dengan hadis Rasulullah Saw., karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy'ari pertama kali pada riwayat di atas saat ia berkata, "alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan" . Bagaimana mungkin Abdullah bin Mas'ud tidak dapat melihat kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy'ari tentang halaqah zikir di masjid itu, sementara pada riwayat lain Abdullah bin Mas'ud pernah berkata: "… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka dia adalah baik menurut Allah" (Riwayat Ahmad).Sungguh ini merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak bertentangan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw., maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan dalil melarang zikir berjama'ah atau menghitung jumlah zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan.<br />
<br />
6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas'ud Ra. sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan zikir berjamaahnya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu umat Islam. Buktinya, Abdullah bin Mas'ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan peringatan Rasulullah Saw. tentang akan munculnya " sekelompok orang yang membaca al-Qur'an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja " , yang disinyalir oleh para ulama sebagai kelompok khawarij. Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama 'Amr bin Salamah, 'Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij."<br />
<br />
2. DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW.<br />
<br />
Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:<br />
<br />
"… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, 'Aku menziarahi kubur Nabi Saw.' sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw. yang di dalamnya terdapat lafaz 'menziarahi kuburnya', niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau –demi bapak dan ibuku ."<br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw. dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, "Aku malu kepada Allah ta'ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)" (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H., Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180). Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Saw. seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw.? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.<br />
<br />
Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan "aku menziarahi kubur Nabi saw." adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari'atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma' para ulama.<br />
<br />
Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan "aku menziarahi Rasulullah Saw." dari pada ungkapan "aku menziarahi kubur Rasulullah Saw." berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw. di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka Rasulullah Saw. yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.<br />
<br />
Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut. Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat 'illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata "masjid". Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.<br />
<br />
3. DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW.<br />
<br />
Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan untuk memuji atau menyanjung Rasulullah Saw., dan ini dijadikan dasar untuk menganggap bid'ah atau sesat sya'ir-sya'ir qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw. tentang hal itu bunyinya begini:<br />
<br />
"Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah 'hamba Allah dan Rasul-Nya" (HR. Bukhari)<br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah memahami hadis ini sebagai larangan mutlak memuji-muji atau menyanjung Rasulullah Saw. secara berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus sebagai Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai upaya "pengkultusan" yang dapat dikategorikan sebagai syirik. Padahal, memuji atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan "mengkultuskan".<br />
<br />
Habib Muhammad bin 'Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. kemudian menyuruh umatnya untuk selalu "menyadari" bahwa beliau hanyalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.<br />
<br />
Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah "mengkultuskan" Rasulullah Saw. dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau memuji beliau, menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga patut diikuti.<br />
<br />
Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk memuji atau menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu' (rendah hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk Islam. Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap "memuliakan" itu sangat berbeda dari sikap "mengkultuskan", dan dalam rangka memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri beliau.<br />
<br />
Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan sikap pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al-Qur'an, sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :<br />
<br />
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung."<br />
<br />
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw. itu sebagai ciri orang yang beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya:<br />
<br />
"… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raaf: 157).<br />
<br />
Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap sya'ir-sya'ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang shaleh sebagai bid'ah sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap "berlebihan" dalam memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan "batasan Pas'nya" dan "batasan lebihnya" dengan dalil yang jelas, sambil bertanya, "kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau Nasrani kah?"<br />
<br />
Bila Rasulullah Saw. sudah dianggap tidak lebih dari manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai seseorang bernama "Muhammad" yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Bagaimana mungkin kita mengingkari awan yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak dan susu Halimatus-Sa'diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya; atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut keistimewaan beliau itu dalam sya'ir-sya'ir pujian?<br />
<br />
Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw. seperti kehabisan kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:<br />
<br />
Al-Bara' bin 'Azib Ra. berkata, "Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau" (HR. Bukhari).<br />
<br />
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, "… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau" (HR. Tirmidzi).<br />
<br />
Anas bin Malik Ra. berkata, "Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw." (HR. Ahmad).<br />
<br />
'Aisyah Ra. ummul-Mu'miniin berkata, "Adalah akhlak beliau itu al-Qur'an" (HR. Ahmad).<br />
<br />
Delegasi Bani 'Amir berkata kepada Rasulullah Saw., "Engkau adalah tuan kami." Rasulullah Saw. menjawab, "Tuan itu adalah Allah tabaraka wata'ala." Delegasi itu malah terus berkata lagi, "Dan engkau adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami." Rasulullah Saw. berkata, "Katakanlah dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya (untuk menyesatkan dengan kata-kata)" (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau, tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji atau disanjung karena sifat tawadhu' (rendah hati), bukan karena haram melakukannya.<br />
<br />
Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan keyakinan di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan beliau.<br />
<br />
Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya'ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw. sebagai: Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya (nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap "menuhankan" (mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt., sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan "sebab" tercapainya hal-hal tersebut melalui dakwah, teladan, syafa'at, dan do'a-do'a beliau.<br />
<br />
Para ulama yang menulis sya'ir-sya'ir pujian itu pasti sangat mengerti batasan tentang "porsi" Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan "porsi" makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.<br />
<br />
Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya adalah sah menurut al-Qur'an dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz 'aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:<br />
<br />
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal" (QS. Al-Anfaal: 2).<br />
<br />
"Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban" (QS. Al-Muzzammil: 17).<br />
<br />
Pada ayat pertama diatas, Allah menyebutkan seolah "ayat-ayatNya" dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah "hari" lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah ketika dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., maka maksudnya adalah majaz aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah "sebab" tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah bagaimana Allah sendiri menyebutkan:<br />
<br />
"… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (QS. Asy-Syuuraa: 52).<br />
<br />
Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid (tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:<br />
<br />
" Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa'at, serta orang pertama yang diberi syafa'at" (HR. Muslim)<br />
<br />
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi lain sangat "menghindarkan diri" dari memuliakan dan menyanjung pribadi beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang. Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau pemuliaan dari orang yang mengenalnya.<br />
<br />
Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.<br />
<br />
Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal "bekal" kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul? Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw. dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah beliau? Anda ingin tahu jawabannya?<br />
<br />
Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw., lalu kekaguman terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti, setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bahkan dengan hanya menyebut nama beliau saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan Sufyan bin 'Uyainah berkata:<br />
<br />
"Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat" (Lihat Hilyatul-Awliya', al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).<br />
<br />
Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja'far bin Hamdan, "Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?" Abu Ja'far menjawab, "Benar". Abu Utsman berkata, " Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh" (Siyar A'laam an-Nubala', adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)<br />
<br />
Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi yang terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah Saw., maka sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw., karena mereka menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:<br />
<br />
1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al-Qur'an dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.<br />
<br />
2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.<br />
<br />
Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw., sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala. Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; mengarahkan umat untuk kagum kepada "rahmat bagi sekalian alam" (yaitu Rasulullah Saw.) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau; serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.<br />
<br />
Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya. Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip kesombongan dan kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang lebih utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw. telah bersabda:<br />
<br />
"Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah" (HR. Muslim).<br />
<br />
Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid'ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:<br />
<br />
Sesungguhnya ada seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta'ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), "Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?" Allah menjawab, "Neraka!" Orang itupun berkata, "Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?" Allah menjawab, "Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!" (lihat al-Jami', Ma'mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu'abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21)<br />
<br />
Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi & Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah Saw. sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat beliau, lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti "ikut-ikutan" dalam hal itu sehingga tega melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha "membunuh karakter" Rasulullah Saw. dari hati para pengikutnya??!<br />
<br />
4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN<br />
<br />
Di antara dalil khusus yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.<br />
<br />
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanantermasuk daripada meratap" (HR. Ibnu Majah).<br />
<br />
Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggapberkumpul di keluarga mayit dan membuat makanansetelah penguburannya termasuk daripada meratap" (HR. Ahmad).<br />
<br />
Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut "niyahah" adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, "Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama'/punya sifat rahmat)" (HR. Bukhari). Rasulullah Saw. juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).<br />
<br />
Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.<br />
<br />
Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.<br />
<br />
Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada 'illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali. Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan "oncom" sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.<br />
<br />
Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi'I atau ulama lain saat mengatakan "akrahu" (saya membenci), "makruh" (dibenci), "yukrahu" (dibenci), "bid'ah munkarah" (bid'ah munkar), "bid'ah ghairu mustahabbah" (bid'ah yang tidak dianjurkan), dan "bid'ah mustaqbahah" (bid'ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum "makruh" untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta'ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo'akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.<br />
<br />
Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I'aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo'a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I'anatuth-Thalibiin.<br />
<br />
Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku "Membongkar Kesesatan Tahlilan" (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku "Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali" (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:<br />
<br />
"Dan di antara bid'ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya" (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).<br />
<br />
"Di antara bid'ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram" (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).<br />
<br />
Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu :<br />
<br />
"Dan di antara bid'ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya." (I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).<br />
<br />
Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan "pengharaman" agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:<br />
<br />
"… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: 'Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram."<br />
<br />
Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis "bodoh", "kufur", dan "syirik" yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.<br />
<br />
Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi "makruh") sebagaimana termaktub di dalam kitab I'aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:<br />
<br />
(Sayid Bakri Syatha' ad-Dimyathi, penulis I'aanatuth-Thalibiin) berkata:<br />
<br />
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah "apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta'ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta'ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta'ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: 'Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far', apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?" (lihat I'aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).<br />
<br />
Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta'ziyah itu dalam hal mana"merekamenunggu makanan" di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid'ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum "haram" kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.<br />
<br />
Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta'ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta'ziyah yang datang.<br />
<br />
Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang "keberatan" dan "beban" keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikitpun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu. Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap "makruh" dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang "makruh" tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.<br />
<br />
Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo'akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo'akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!<br />
<br />
Jika alasan "berkumpulnya orang akan menambah kesedihan" membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah "kebaikan" bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?<br />
<br />
Sungguh, hukum "makruh" yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi "menambah kesedihan atau beban kerepotan" meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo'akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.<br />
<br />
Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.<br />
<br />
********<br />
<br />
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid'ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan. Akibatnya, "larangan" yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa "larangan" tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw. tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw. sendiri saat beliau minum sambil berdiri. <br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/dalil2-khusus-kaum-salafi-wahabi.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/dalil2-khusus-kaum-salafi-wahabi.html</a></div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-12937259520489100282012-06-17T01:29:00.001-07:002012-06-22T20:21:32.369-07:00Nasirudin al-Bani<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><div style="text-align: center;"><img alt="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqFrjIK-D1-nBA397jLoTFbT49OxzGdPj8xVI8qpx-qWIp7womcpyAidxiVkvKO5Rl53Jj_CEJXnZYlWtjTBQqbuUUGBiSqlro5MKcxrDNr8wwm_7EOhTo9qhbxvuDMZfYRseXUPs1WRa/s1600/aswaja.jpg" /></div><br />
<br />
HADITS DHA'IF & SYAIKH NASHIRUDDIN AL-ALBANI <br />
<br />
Bagi kaum Salafi & Wahabi, Syaikh Nashiruddin al-Albani adalah ulama besar dan ahli hadis yang utama. Karya-karyanya dalam bidang hadis sangat banyak dan sering dijadikan rujukan utama oleh kaum Salafi & Wahabi dalam menghukumi riwayat hadis. Yang sedemikian karena al-Albani sangat gemar meneliti dan mengomentari hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab para ulama. Pada puncaknya, al-Albani menyusun kitab-kitab khusus mengenai hadis-hadis shahih, dha'if (lemah), dan maudhu' (palsu), baik yang berkenaan dengan hadis-hadis yang ada di dalam kitab-kitab para ulama, maupun yang ia susun sendiri dengan tajuk silsilah. <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi menganggap sepertinya al-Albani adalah ahli hadis yang sangat menguasai bidangnya, sehingga bagi sebagian mereka seperti ada kepuasan hati ketika sudah mengetahui pendapat al-Albani tentang hadis yang mereka bahas, dan seolah mereka sudah mencapai hasil penilaian final saat menyebutkan "hadis ini dishahihkan al-Albani" atau "al-Albani mendha'ifkan hadis ini".<br />
<br />
Ada dua hal yang penting dalam pembahasan poin ini yang penulis anggap perlu diketahui oleh para pembaca, yaitu: 1. Status hadis dha'if. 2. Kedudukan Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis.<br />
<br />
1. Status Hadis Dha'if (Lemah)<br />
<br />
Di kalangan masyarakat awam, penulis melihat adanya kecenderungan menganggap bahwa hadis dha'if (lemah) sebagai hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam melakukan suatu amalan. Hal ini diakibatkan oleh penyebutannya yang seringkali terkesan negatif dan terpisah-pisah (yaitu hanya menyebut kelemahan suatu riwayat hadis tanpa mengkonfirmasikannya dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, yang mungkin dapat mengangkat statusnya dari kelemahan). Padahal, kelemahan suatu riwayat bisa sangat relatif sifatnya, bisa sedikit dan bisa juga banyak. Dan apa yang mungkin tidak diketahui oleh seorang periwayat hadis secara pasti, sangat mungkin diketahui oleh periwayat yang lain, sebagaimana sisi kekuatan suatu riwayat hadis yang diketahui oleh seorang ahli hadis, sangat mungkin tidak diketahui oleh ahli hadis yang lain. Imam Ibnu Katsir menyebutkan: <br />
<br />
وقد نبه الشيخ أبو عمرو ههنا على أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعير الحكم بضعفه في نفسه، إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يروى إلا من هذا الوجه . (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، بيروت، ص. 85) <br />
<br />
"Dan Syaikh Abu 'Amr telah memperingati di sini bahwasanya tidak lazim menghukumi kedha'ifan sanad (jalur riyawat) suatu hadis yang dianggap cacat semata-mata dari hukum dha'ifnya sanad hadis tersebut, dikarenakan ter kadang hadis itu memiliki pensanadan (jalur periwayatan) lain, kecuali bila ada seorang Imam hadis yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali hanya melalui jalur ini. " (Lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85). <br />
<br />
Pada kitab dan halaman yang sama, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan ungkapan itu dengan penjelasan berikut: <br />
<br />
من وجد حديثا بإسناد ضعيف، فلأحوط أن يقول: "إنه ضعيف بهذا الإسناد"، ولا يحكم بضعف المتن –مطلقا من غير تقييد- بمجرد ضعف ذلك الإسناد، فقد يكون الحديث واردا بإسناد آخر صحيح، إلا أن يجد الحكم بضعف المتن منقولا عن إمام من الحفاظ والمطلعين على الطرق. <br />
<br />
"Siapa yang mendapati sebuah hadis dengan pensanadan (jalur periwayatan) yang dha'if, maka yang lebih aman hendaknya ia berkata, 'sesungguhnya hadis ini dha'if dengan jalur periwayatan ini', dan matan (redaksi/lafaz) hadis tersebut tidak dihukumi dha'if –secara umum tanpa ikatan— semata-mata karena lemahnya jalur periwayatan tersebut, maka terkadang hadis tersebut datang (diriwayatkan) dengan jalur periwayatan lain yang shahih, kecuali bila ditemukan hukum kedha'ifan matan (redaksi/lafaz)nya yang dinukil dari seorang Imam dari kalangan Huffazh (penghafal hadis) yang meneliti jalan-jalannya (jalur-jalur periwayatan hadis). <br />
<br />
Penjelasan di atas adalah kelaziman yang harus dilakukan seorang penerima hadis pada saat ia mendapatkan informasi bahwa suatu hadis itu dha'if (lemah), di mana ia tidak serta merta langsung menyatakan hukum dha'if secara mutlak, apalagi menyatakan bahwa hadis dha'if tersebut tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah atau dalil. <br />
<br />
Hadis dha'if berbeda dari hadis maudhu' (palsu). Hadis dha'if tetap harus diakui sebagai hadis, dan menjadikannya sebagai dalil atau dasar untuk melakukan suatu amalan kebaikan yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) adalah sah menurut kesepakan para ulama hadis. Perhatikan isyarat-isyarat para ulama berikut ini: <br />
<br />
مع أنهم أجمعوا على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال (شرح سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 98) <br />
<br />
"… sementara mereka (para ahli hadis) telah berijma' (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan hadis dha'if (lemah) di dalam fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) " (lihat Syarh Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98). <br />
<br />
باب التشدد في أحاديث الأحكام والتجوز في فضائل الأعمال. قد ورد واحد من السلف انه لا يجوز حمل الأحاديث المتعلقة بالتحليل والتحريم الا عمن كان بريئا من التهمة بعيدا من الظنة واما أحاديث الترغيب والمواعظ ونحو ذلك فإنه يجوز كتبها عن سائر المشايخ (الكفاية في علم الرواية، الخطيب البغدادي، ج. 1، ص. 133) <br />
<br />
"Bab bersikap ketat pada hadis-hadis hukum, dan bersikap longgar pada fadha'il al-a'mal. Telah datang satu pendapat dari seorang ulama salaf bahwasanya tidak boleh membawa hadis-hadis yang berkaitan dengan penghalalan dan pengharaman kecuali dari orang (periwayat) yang terbebas dari tuduhan, jauh dari dugaan. Adapun hadis-hadis targhib (stimulus/anjuran) dan mawa'izh (nasehat) dan yang sepertinya, maka boleh menulisnya (meriwayatkannya) dari seluruh masyayikh (para periwayat hadis)" (lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85). <br />
<br />
قال: ويجوز رواية ما عدا الموضوع في باب الترغيب والترهيب، والقصص والمواعظ، ونحو ذلك، إلا في صفات الله عز وجل، وفي باب الحلال والحرام. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، ص. 85) <br />
<br />
"(Ibnu Katsir) berkata: 'Dan boleh meriwayatkan selain hadis maudhu' (palsu) pada bab targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram" (lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).<br />
<br />
Dan banyak lagi pernyataan-pernyataan ulama hadis tentang hal tersebut yang tidak mungkin disebutkan keseluruhannya di sini. <br />
<br />
Kaitannya dengan pembahasan bid'ah adalah bahwa kaum Salafi & Wahabi terkesan mudah mengkategorikan suatu amalan sebagai bid'ah, atau minimal sebagai amalan yang harus dihindari hanya karena hadis yang dijadikan dalil untuk itu mereka anggap dha'if. Padahal, amalan-amalan yang didasari oleh hadis-hadis dha'if tersebut tergolong fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) atau furu' (perkara cabang) yang bukan pokok di dalam penentuan hukum agama. Contohnya, hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk menghadiahkan pahala bacaan al-Qur'an kepada mayit. Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan:<br />
<br />
واستدلوا على الوصول، وبالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق، فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة، وبالأحاديث الآتي ذكرها، وهي وإن كانت ضعيفة، فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا، وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر، يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير، فكان ذلك إجماعا. ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور، الحافظ جلال الدين السيوطي، دار الفكر، بيروت، ص. 269)<br />
<br />
"Dan mereka (jumhur ulama) mengambil dalil atas sampainya (hadiah pahala kepada mayit), dan dengan qiyas kepada apa yang telah disebutkan daripada do'a, sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak, maka sesungguhnya tidak ada beda dalam hal memindahkan pahala antara entahkah amalan itu haji, sedekah, wakaf, do'a, atau bacaan al-Qur'an. Dan dengan hadis-hadis yang akan disebutkan, meskipun dha'if, maka semuanya menunjukkan bahwa hal tersebut (menghadiahkan pahala kepada mayit) memiliki asal (landasan di dalam agama), dan bahwa kaum muslimin di setiap masa masih terus berkumpul dan membacakan al-Qur'an untuk mayit-mayit mereka tanpa ada yang mengingkarinya, maka menjadilah hal itu sebagai ijma'. Semua itu telah disebutkan oleh al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali di dalam sebuah juz yang ia tulis tentang masalah tersebut." (Lihat Syarh al-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur, al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, Dar el-Fikr, Beirut, hal. 269). <br />
<br />
Demikianlah contoh kearifan para ulama hadis dalam menilai dan menyikapi dalil-dalil yang secara zhahir dianggap dha'if. Sayangnya sikap seperti ini tidak ditiru oleh orang-orang yang gemar sekali menuduh bid'ah setiap perkara baru berbau agama. Terkadang bermodalkan sedikit pengetahuan tentang tahqiq al-hadits (penelitian hadis) mereka dengan mudahnya mencampakkan suatu amalan ke dalam keranjang bid'ah sesat hanya karena mereka nilai dalilnya dha'if (lemah). <br />
<br />
Ini adalah sebuah masalah yang kerapkali muncul di kalangan para pelajar ilmu hadis, terutama bagi mereka yang baru merasa bisa meneliti hadis sendiri. Yang kemudian menambah masalah tersebut semakin tidak karuan adalah ketika dalam menyebutkan kedha'ifan hadis tersebut, orang-orang tersebut sering mendasarinya dengan penilaian hadis menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani yang kredibilitasnya tidak diakui oleh para ulama hadis, sebagaimana akan dibahas setelah ini. <br />
<br />
2. Kedudukan Syaikh Nashiruddin al-Albani Dalam Menilai Hadis <br />
<br />
Syaikh Nashiruddin al-AlBani adalah nama yang tidak asing di kalangan para pelajar ilmu hadis belakangan ini. Namanya banyak dicantumkan oleh para penulis buku-buku Islam (terutama yang berpaham Salafi & Wahabi) saat mengomentari suatu hadis. Karya-karyanya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para pengagumnya, sehingga namanya kini juga banyak didapati di toko-toko buku dan stan-stan pameran buku, berhubung penerbit-penerbit buku atau majalah berhaluan Salafi & Wahabi belakangan sudah semakin menjamur. <br />
<br />
Akan tetapi, tahukah anda, bahwa sesungguhnya kepiawaian Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis diragukan oleh para ulama hadis, bahkan cenderung tidak diakui, menimbang bahwa beliau tidak memiliki jalur keilmuan yang jelas dalam bidang tersebut. Lebih jelasnya, penulis akan menyebutkan sekelumit gambaran tentang pribadi Syaikh al-Albani ini sebagaimana ditulis oleh Tim Bahtsul Masa'il PCNU Jember di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 245-247 sebagai berikut: <br />
<br />
Dewasa ini tidak sedikit di antara pelajar Ahlussunnah Waljama'ah yang tertipu dengan karya-karya al-Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya al-Albani itu. Pada mulanya, al-Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu al-Albani tidak memiliki sanad hadits yang mu'tabar (diakui-red). Kemudian ia mengaku sebagai pengikut salaf, padahal memiliki akidah yang berbeda dengan mereka, yaitu aqidah Wahhabi dan tajsim (menafsirkan ayat-ayat tentang fisik Allah apa adanya-red).<br />
<br />
Oleh karena akidah al-Albani yang berbeda denga akidah ulama ahli hadits dan kaum Muslimin, maka hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang al-Albani menilai dha'if dan maudhu' terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafizh, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitabnya al-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu (cet. 3, hal. 128), al-Albani mendha'ifkan hadits Aisyah Ra. yang diwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa'id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendir telah menilai Sa'id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan (baik) dan jayyid (bagus) haditsnya yaitu dalam kitabnya Irwa' al-Ghalil (5/338). <br />
<br />
Di antara Ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari buku-buku al-Albani dan bantahannya ada pada perpustakaan kami [Tim PCNU Jember-red]). <br />
<br />
Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan. <br />
<br />
Kenyataan tersebut di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut: <br />
<br />
Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha'if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath'I (pasti-red) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya-red) dalam kitab lain. (Lihat Halal dan Haram , DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).<br />
<br />
Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang "plin-plan", sehingga hasil penelitiannya terhadap hadis sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu. <br />
<br />
Di antara fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial itu sebagaimana disebut di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 241-245 adalah : <br />
<br />
1. Mengharamkan memakai cincin, gelang, dan kalung emas bagi kaum wanita <br />
<br />
2. Mengharamkan berwudhu dengan air yang lebih dari satu mud (sekitar setengah liter) dan mengharamkan mandi dengan air yang lebih dari lima mud (sekitar tiga liter). <br />
<br />
3. Mengharamkan shalat malam melebihi 11 raka'at. <br />
<br />
4. Mengharamkan memakai tasbih (penghitung) untuk berdzikir. <br />
<br />
5. Melarang shalat tarawih melebihi 11 raka'at.<br />
<br />
Ada pula fatwa-fatwanya yang nyeleneh, seperti: Menganggap adzan kedua di hari Jum'at sebagai bid'ah yang tidak boleh dilakukan (lihat al-Ajwibah al-Nafi'ah), menganggap bid'ah berkunjung kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya, mengharuskan warga Muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan menganggap yang masih bertahan di Palestina adalah kafir (lihat Fatawa al-Albani, dikumpulkan oleh 'Ukasyah Abdul Mannan, hal. 18), mengajak kaum Muslimin untuk membongka al-Qubbah al-Khadhra' (kubah hijau yang menaungi makan Rasulullah Saw.) dan mengajak mengeluarkan makan Rasulullah Saw. dan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar ke lokasi luar Masjid Nabawi (lihat Tahdzir al-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid, hal. 68), dan bahkan al-Albani berani menyatakan secara bahwa sikap Imam Bukhari dalam menta'wil sebuah ayat di dalam kitab Shahih Bukhari adalah sikap yang tidak pantas dilakukan seorang Muslim yang beriman (artinya secara tidak langsung ia telah menuduh al-Bukhari kafir dengan sebab ta'wilnya tersebut) (lihat Fatawa al-Albani, hal. 523). <br />
<br />
Jadi, setelah mengetahui kenyataan yang sedemikian buruknya tentang kredibilitas al-Albani dalam kegemarannya mengomentari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang terdapat di berbagai kitab para ulama, maka orang-orang berakal sehat tidak akan lagi memandang "pantas" untuk menjadikan karya-karya al-Albani sebagai rujukan ilmiah, apalagi dalam rangka memvonis suatu amalan sebagai bid'ah hanya karena dalilnya didha'ifkan oleh al-Albani. Kejanggalan al-Albani itu bahkan juga dirasakan oleh ulama Wahabi seperti al-'Utsaimin dan yang lainnya, sehingga para pengikut Salafi & Wahabi (terutama yang ada di Indonesia) tidak sepantasnya mengunggulkan karya-karya al-Albani, apalagi menerbitkan dan menyebarluaskannya. <br />
<br />
Sumber: http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/nasirudin-al-bani.html</div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-5062091107959193342012-06-17T01:26:00.000-07:002012-06-21T18:19:19.972-07:00Kejanggalan kaum wahabi dalam berdalil<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">BAB 2 : KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL <br />
<br />
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)<br />
-Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin <br />
-Pengertian As-Sunnah pada Hadits yang Umum <br />
2. DALIL PERINTAH DAN LARANGAN <br />
3. Dalil Sesatnya setiap "bid'ah" <br />
<br />
<br />
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur'an 2. Sunnah 3. Ijma' 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur'an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma' (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur'an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur'an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21). <br />
<br />
Digunakannya ijma' dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur'an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur'an atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan? <br />
<br />
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur'an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur'an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia. <br />
<br />
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur'an atau Sunnah, Allah telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. <br />
<br />
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad atau ta'wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma' dan qiyas tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur'an) maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai "pendapat manusia" yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi'I atau Imam Nawawi saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil dibandingkan diri mereka. <br />
<br />
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka "kasuistik", artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur'an atau hadis secara khusus tentang suatu perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk "tidak membolehkan" perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil, tapi ternyata tidak demikian. <br />
<br />
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu secara khusus atau langsung, dan ini disebut "dalil khusus". <br />
<br />
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis terlarang karena dianggap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan), mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid'ah secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir "dalil umum".<br />
<br />
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil, secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal. 244). Contohnya, kata kullu bid'atin dhalalah (setiap bid'ah/perkara baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang secara bahasa mencakup keseluruhan "perkara baru", sehingga tidak sah bila kata bid'ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan. <br />
<br />
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah, tentunya karena pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur'an atau hadis. <br />
<br />
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku "Ensiklopedia Bid'ah" karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.<br />
<br />
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul /pokok) dan yang tidak prinsip (furu'/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari'at atau menetapkan syari'at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam. <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta'wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari'at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur'an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur'an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan. <br />
<br />
Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafi & Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah masalah furu' (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan "berbau agama" dipandang oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.<br />
<br />
Padahal, untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau kufur, mereka harus mendatangkan dalil-dalil yang pasti dan secara jelas menyebut demikian. Nyatanya, mereka malah menggunakan dalil-dalil umum. Dalil-dalil larangan bid'ah yang sangat diandalkan oleh kaum Salafi & Wahabi itulah yang akan kita bahas secara tuntas dalam buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat menilainya secara obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil tersebut dapat kita kategorikan menjadi: <br />
<br />
Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur Rasyidin) <br />
<br />
Dalil perintah & larangan <br />
Dalil sesatnya setiap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan di dalam agama) <br />
1. Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur Rasyidin) <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi sering mengajukan dalil tentang perintah mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau dalam rangka mengharamkan bid'ah yang mereka tuduhkan. Dalil yang paling jelas adalah hadis Rasulullah Saw. berikut ini: <br />
<br />
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً شَدِيْدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه) <br />
<br />
"Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) meskipun ia seorang budak hitam. Dan kalian akan melihat perselisihan yang sangat setelah aku (tiada nanti), maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa' rasyidin mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham (berpegang teguhlah padanya), dan jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal baru dalam agama), sesungguhnya setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Ibnu Majah. Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad). <br />
<br />
Di dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan: <br />
<br />
... وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه الترمذي) <br />
<br />
"… dan akan terpecah umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Mereka (shahabat) bertanya, "siapakah itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu yang aku dan para shahabatku berada di atasnya" (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red) (HR. Tirmidzi). <br />
<br />
Perintah mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para Khulafa'ur-Rasyidin itu tidak disangsikan kebenaran dan keutamaannya. Hanya dengan cara itulah kita dapat menjalani kehidupan dengan selamat di dunia dan di akhirat. Hal itu bukan saja karena Rasulullah Saw. dan para shahabat merupakan figur-figur teladan di dalam ketaatan terhadap agama, tetapi juga karena Allah sendiri telah memberikan mereka keutamaan secara khusus di dalam al-Qur'an. <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi lantas menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai batasan bagi definisi bid'ah, sekaligus sebagai pembatasan sumber rujukan umat dalam memahami agama. Artinya, apa yang tidak pernah dikerjakan atau dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat dalam urusan agama, baik prinsip maupun formatnya, langsung mereka golongkan ke dalam kategori bukan "sunnah/jalan Rasulullah Saw. dan para shahabatnya" alias bid'ah dan kesesatan. Ini tampak jelas dalam definisibid'ah yang mereka buat dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau. <br />
<br />
Pada perkembangannya, mereka memberikan ruang lebih luas bagi umat Islam untuk mengikuti juga orang-orang yang hidup di masa setelah shahabat, yaitu para tabi'in yang kemudian disebut dengan generasi salaf. Hal ini disimpulkan dari sabda Rasulullah Saw: <br />
<br />
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري) <br />
<br />
"Sebaik-baik umatku adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang sesudah mereka, kemudian masa orang-orang sesudah mereka" (HR. Bukhari) <br />
<br />
Pada hadis di atas disebutkan 3 masa terbaik (sejak masa Rasulullah sampai + masa 300 H. atau masa tabi'in) dari kehidupan umat Rasulullah Saw. yang kemudian disebut dengan generasi salaf (terdahulu), dan kaum Salafi & Wahabi menjadikan generasi salaf tersebut sebagai sumber rujukan yang mutlak dalam beragama. Itulah mengapa mereka merasa lebih utama dari selain golongan mereka dan dengan bangga menamakan diri dengan "Salafi" (pengikut generasi salaf). <br />
<br />
Tidak ada yang salah dengan tekad mereka mengikuti generasi salaf, sepanjang mereka tidak menganggap bahwa setelah masa generasi salaf itu tidak ada lagi kebaikan yang pantas dijadikan teladan atau rujukan bagi umat dalam urusan agama. Permasalahannya bermula saat kaum Salafi & Wahabi seperti membatasi kebenaran dan kebaikan hanya ada pada generasi salaf tersebut (generasi umat Islam yang hidup antara masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in) dan tidak ada lagi setelahnya, lalu mengobarkan semangat kembali kepada ajaran salaf bulat-bulat tanpa melihat mata rantai ulama pewaris mereka yang juga telah menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk umat. <br />
<br />
Mari kita kembali kepada permasalahan dalil. Pada dalil-dalil tersebut di atas, terdapat isyarat-isyarat yang sepertinya tidak dipahami dengan jelas oleh kaum Salafi & Wahabi, dan hal ini sekaligus menunjukkan kekeliruan-kekeliruan mereka dalam mengambil kesimpulan, yaitu: <br />
<br />
1. Khulafa'ur-Rasyidin al-Mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk) sering dimengertikan sebatas 4 khalifah setelah Rasulullah Saw., yaitu: Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khattab Ra., Utsman bin 'Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra. padahal Rasulullah Saw. tidak menyebutkan demikian kecuali hanya isyarat-isyarat saja. Di dalam riwayat Abu Dawud, Sufyan ats-Tsauri (ulama salaf) menambahkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam lingkup khulafa' tersebut sehingga jumlahnya menjadi 5. Ini menunjukkan bahwa pengertian Khulafa'ur-Rasyidin memang tidak ada kepastiannya kecuali hanya merupakan ijtihad dari para ulama karena melihat isyarat dari dalil-dalil yang ada serta karena memperhatikan keutamaan-keutamaan yang ada pada pribadi mereka. Dan itu tidak menutup kemungkinan adanya pengertian lain tentangnya. <br />
<br />
Salah satunya adalah seperti yang disebutkan oleh as-Sindi ketika menjelaskan hadis tersebut di dalam Sunan Ibnu Majah, <br />
<br />
قيل هم الأربعة وقيل بل هم ومن سار سيرتهم من أئمة الإسلام المجتهدين في الأحكام فإنهم خلفاء الرسول عليه الصلاة والسلام في إعلاء الحق وإحياء الدين وإرشاد الخلق إلى الصراط المستقيم<br />
<br />
"Dikatakan mereka itu (khulafa'ur-Rasyidin) adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali), dan dikatakan bahkan mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja yang menempuh jejak mereka dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad (mujtahidin) dalam hal hukum, maka sesungguhnya mereka itu adalah khulafa'ur-Rasul (pengganti Rasulullah Saw.) yang meninggikan kebenaran, menghidupkan agama, dan membimbing umat kepada jalan yang lurus."<br />
<br />
Secara obyektif, kita memang tidak melihat pembatasan makna khulafaur-Rasyidin pada dalil-dalil yang ada, dan bahwa kata khalifah (jamak: khulafa') tidak selalu diartikan sebagai pemimpin atau penguasa, tetapi ia secara mendasar dapat diartikan "pengganti" bila dilihat dari asal katanya. Maka, khulafa'ur-Rasyidin al-Mahdiyyin itu tidak hanya 4 khalifah tersebut atau tidak terbatas hanya di tingkat shahabat saja, melainkan dapat berlaku bagi generasi selanjutnya sampai hari kiamat bagi siapa yang memenuhi kriteria rasyidin (lurus) dan mahdiyyin (mendapat petunjuk) sehingga pantas disebut sebagai khalifah (pengganti/penerus) bagi panutan yang sebelumnya. <br />
<br />
2. Pengertian kata Sunnah pada hadis-hadis di atas sangat umum , artinya bukan saja menyangkut format/bentuk tertentu dari perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang dikaitkan kepada Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, tetapi juga termasukisyarat, prinsip dasar baik-buruk yang mereka pertimbangkan, dan cara memandang atau menyelesaikan masalah, yang semua itu dapat terus digunakan rumusannya sebagai acuan untuk menetapkan hukum pada perkara-perkara masa depan yang tidak ada format/bentuknya di masa para shahabat tersebut. <br />
<br />
Di sinilah terdapat hikmah pada penyebutan sunnatil-khulafa' ar-Rasyidin (sunnah/jalannya para khalifah yang lurus). Sebagaimana disebut di dalam Tuhfatul-Ahwadzi bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi, Imam asy-Syaukani menjelaskan: <br />
<br />
إذا كان ما عملوا فيه بالرأي هو من سنته لم يبق لقوله "وسنة الخلفاء الراشدين" ثمرة. <br />
<br />
Jika apa yang mereka (Khulafa'ur-Rasyidin/para shahabat) lakukan dengan pendapat akalnya (dianggap) itu termasuk sunnah Rasulullah Saw., maka tidak akan tersisa tsamrah (buah/faidah) pada ucapan beliau "sunnah khulafa'ur-Rasyidin" . <br />
<br />
Ya, jika para shahabat itu hanya mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Saw., cukuplah itu disebut juga sebagai sunnah Rasulullah Saw. Tentunya penyebutan sunnahkhulafa'ur-Rasyidin secara khusus menunjukkan kondisi mandiri di saat para shahabat tidak menemukan contoh atau dalil dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw., maka mereka berijtihad untuk menentukan hukum sendiri dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar atau isyarat dari al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Saw. tersebut. Hasil ijtihad inilah yang secara mandiri disebut sebagai sunnah khulafa'ur-Rasyidin atau sunnah shahabat, dan cara berijtihad yang mereka jalani itu sah dan dapat ditiru oleh orang-orang setelah mereka di saat tidak menemukan contoh atau dalil dari sunnah (hasil ijtihad) para shahabat tersebut. <br />
<br />
Otoritas terciptanya sunnah (hasil ijtihad) semacam itu ditunjukkan oleh riwayat hadis Rasulullah Saw. saat melepas kepergian Mu'adz bin Jabal Ra. ke Yaman, di mana beliau bertanya, "Dengan apa engkau menetapkan hukum?" Mu'adz menjawab, "Dengan Kitab Allah (al-Qur'an)." Rasulullah Saw. bertanya, "Bila tidak engkau temukan (di Kitab Allah)?" Mu'adz menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah." Rasulullah Saw. bertanya, "Jika tidak engkau temukan (di Sunnah Rasulullah)?" Mu'adz menjawab, "Aku berijtihad dengan pendapatku." Maka Rasulullah Saw. berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul-Nya."<br />
<br />
Penyebutan suatu amalan atau ketetapan sebagai suatu sunnah juga ditunjukkan oleh hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi "Man sanna fil-Islam sunnatan hasanatan…"(siapa yang menetapkan di dalam Islam suatu sunnah/ketetapan/kebiasaan yang baik …), dan penyebutan sunnah ini tidak terbatas hanya pada amalan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau saja. Terbukti bahwa hadis tersebut juga menyebut adanya sunnah sayyi'ah (sunnah/ketetapan/kebiasaan yang buruk) yang tidak mungkin dialamatkan kepada Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau. Lengkapnya hadis Rasulullah Saw. tersebut berbunyi: <br />
<br />
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم) <br />
<br />
"Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah sayyi'ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun" (HR. Muslim) <br />
<br />
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ِلأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ (رواه مسلم) <br />
<br />
"Tidaklah dibunuh satu orang secara zhalim, melainkan anak Adam yang pertama (Qabil) mendapat dosa dari (penumpahan) darah orang itu, karena ia adalah orang yang pertama mensunnahkan (membuat/menetapkan) pembunuhan" (HR. Muslim) <br />
<br />
Bila kaum Salafi & Wahabi menafsirkan kata "sanna sunnatan hasanatan" di atas dengan makna "menghidupkan sunnah yang baik" dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. yang telah ditinggalkan orang karena melihat asbab wurud (latar belakang dikeluarkannya hadis tersebut) yaitu berkenaan dengan sedekah, maka tafsiran itu sungguh keliru dan sangat menyimpang. Sebab kata "sanna" artinya "membuat, meletakkan, menetapkan", dan untuk makna "menghidupkan" ada kata "ahyaa" yang jelas disebut di dalam riwayat hadis lain. <br />
<br />
Kejanggalan tafsiran mereka akan lebih terlihat lagi bila dihubungkan dengan ungkapan "sanna sunnatan sayyi'atan" pada lanjutan hadis tersebut, yang bila diartikan menurut pemahaman mereka "menghidupkan sunnah yang buruk" dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. Dengan begitu kita akan bertanya, apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau mengajarkan keburukan yang juga harus ditiru oleh umatnya??! <br />
<br />
3. Bila lingkup rujukan agama hanya dibatasi pada generasi salaf saja (dari masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in + 300 H.), lalu para ulama setelah mereka dianggap tidak memiliki otoritas untuk menjelaskan agama atau untuk mengijtihadkan hukum, terutama tentang perkara-perkara yang tidak ada di masa salaf tersebut, maka hal ini berarti pengingkaran dan pendustaan terhadap hadis Rasulullah Saw. tentang akan datangnya ulama mujaddid (pembaharu) yang akan diutus oleh Allah pada setiap akhir masa satu abad (100 tahun). Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. berikut ini: <br />
<br />
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني) <br />
<br />
"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani). <br />
<br />
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu: <br />
<br />
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ <br />
<br />
"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka.<br />
<br />
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa yang diakui keluasan ilmunya. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui pemahaman dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi'in. Dan kita yakin, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan. <br />
<br />
Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi dalam berijtihad (di antaranya ijtihad tentang pembagian bid'ah menjadi dua: Hasanah & sayyi'ah) legalitasnya tidak hanya ditunjukkan oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah Saw. secara umum menyebut mereka sebagai "Pewaris Para Nabi" sebagaimana sabdanya: <br />
<br />
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجه وأحمد وغيرهم) <br />
<br />
"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (mengupayakan)nya, berarti ia telah mengambil bagian yang sangat banyak" (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain). <br />
<br />
Bila ditanyakan, ulama yang manakah yang termasuk kategori mujaddid atau yang pantas mendapat label "pewaris para nabi" itu? Nama-nama para mujaddid dan para ulama yang terkenal seperti berikut ini dapat dikategorikan ke dalam golongan "pewaris para nabi" sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar bin Abdul Aziz (mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'I (mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abul Hasan Asy'ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi'I, Imam abul-'Abbas bin Suraij (Mujaddid abad ke-III), Imam Sahl ash-Sha'luki (mujaddid abad ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat. <br />
<br />
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa mengikuti Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau secara umum tidak terbatas pada format/bentuk amalan yang mereka lakukan di masa itu saja (kecuali ibadah mahdhah seperti: shalat, puasa, zakat, atau lainnya), tetapi juga pada cara-cara mereka berijtihad, berinovasi, dan berkreasi untuk menetapkan atau menciptakan "sunnah hasanah" (ketetapan/kebiasaan yang baik) yang secara jelas telah diketahui kebaikan dan maslahatnya di dalam pandangan agama. <br />
<br />
Berinovasi dan berkreasi dalam kebaikan adalah suatu kebutuhan, terlebih lagi di zaman-zaman belakangan di mana umat Islam sudah semakin rendah kualitas keberagamaannya dan kurang perhatian terhadap ajaran agama. Tentu landasannya bukan karena ingin membikin-bikin syari'at baru, bukan pula untuk menambah-nambah agama, karena batasan-batasan antara perkara pokok atau ibadah di dalam agama dengan amalan kebajikan yang universal adalah jelas, tidak mungkin hal itu diabaikan oleh para ulama. Lagi pula, dalam hal ini mereka tetap mendasarinya dengan dalil-dalil yang secara implisit atau eksplisit mengisyaratkan kebolehannya, bukan dengan dorongan hawa nafsu sebagaimana dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi. Keprihatinan mereka terhadap keadaan umat lah yang membuat mereka perlu melakukan inovasi itu. <br />
<br />
Fenomena menganggap baik dan mengamalkan bahkan menganjurkan kegiatan-kegiatan berbau agama seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjamaah, tahlilan, ziarah kubur orang shalih, dan lain sebagainya adalah gambaran jelas dari upaya para ulama dalam memelihara kebaikan hidup umat Islam, sekaligus dalam rangka membuka peluang-peluang mendapat rahmat dan hidayah untuk mereka. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, entah sengaja atau tidak sengaja, umat terhitung melakukan kebaikan berupa: Zikir kepada Allah, bershalawat kepada Rasulullah Saw., silaturrahmi, mendengarkan nasihat dari ulama, dan berbagi rezeki antar sesama, dan kebaikan-kebaikan ini jelas ada dalilnya di dalam agama. <br />
<br />
Luar biasanya, para ulama yang tawadhu' itu hanya menyebut kegiatan-kegiatan tersebut sebagai bid'ah hasanah, padahal Rasulullah Saw. jelas-jelas menyebut kebiasaan baik yang semacam itu sebagai sunnah hasanah. Mengapa demikian? Kemungkinan alasannya adalah agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam pengertian sunnah; satu sisi (sebagaimana telah ditetapkan definisi khususnya oleh para ulama hadis) sunnah sebagai peninggalan Rasulullah Saw. berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat; sisi lain (sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama Fiqh) sunnah sebagai hukum amalan ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa; satu sisi lagi (sebagaimana pengertian hadis di atas) sunnah sebagai ketetapan atau jalan yang menjadi contoh atau kebiasaan yang ditiru orang lain. <br />
<br />
Jadi, apa saja yang oleh para ulama dikategorikan sebagai bid'ah hasanah sebenarnya adalah sunnah hasanah. Menolak adanya kategori bid'ah hasanah berarti juga secara tidak langsung menolak adanya kategori sunnah hasanah. Pada poin ini, kaum salafi & wahabi (dengan pandangan mereka membatasi kebaikan & kebenaran agama hanya ada pada generasi ulama salaf, dan dengan sikap penolakan mereka terhadap adanya bid'ah hasanah) bisa dianggap telah mencampakkan dua hadis Rasulullah Saw. (entah karena tidak mengerti atau karena tidak sengaja), yaitu: Hadis mengenai akan datangnya ulama mujaddid pada akhir setiap masa seratus tahun, dan hadis tentang adanya sunnah hasanah yang tidak terbatas pada Rasulullah Saw. dan para shahabat saja. <br />
<br />
<br />
KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL <br />
<br />
2. DALIL PERINTAH & LARANGAN<br />
<br />
Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua kategori, yaitu: <br />
<br />
1. Yang diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur'an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. <br />
<br />
2. Yang dilarang , yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw. <br />
<br />
Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah: <br />
<br />
"… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr: 7)<br />
<br />
Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang fai' (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah "apa yang diberikan Rasul (dari harta fai') kepadamu maka terimalah dia" (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan "apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia" dengan makna "apa yang diperintahkan Rasul …" berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung makna tersebut. <br />
<br />
Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus. <br />
<br />
Dalil lain yang mereka ajukan adalah: <br />
<br />
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري) <br />
<br />
Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian" (HR. Bukhari). <br />
<br />
Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau yang diperintahkan secara pasti. <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah mengikuti sunnah & larangan melakukan bid'ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula --terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid'ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan. <br />
<br />
Kategori Ketiga<br />
<br />
Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu "yang tidak diperintah juga tidak dilarang" sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian". Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah "Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu."<br />
<br />
Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah", ada seorang yang bertanya, "apakah setiap tahun ya Rasulullah?". Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, "Bila aku jawab ' ya' maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu". Kemudian beliau bersabda ,"Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian". <br />
<br />
Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada "yang diperintah" atau kepada "yang dilarang" tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya. <br />
<br />
Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu "yang dilarang". Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil: <br />
<br />
"… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. " (QS. An-Nuur: 63) <br />
<br />
Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat "menyalahi" atau menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah "melakukan apa yang tidak diperintahkan". <br />
<br />
Bila melakukan "yang tidak diperintahkan" adalah terlarang semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw. <br />
<br />
Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.: <br />
<br />
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري) <br />
<br />
"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak" (HR. Bukhari). <br />
<br />
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami atasnya". Kata "amr" memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata "amara - ya'muru" yang berarti "memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf "'alaa" (atas), maka artinya adalah "menguasai". Jadi, bila kalimat "amara 'alaa" berarti "menguasai", maka kalimat "amarnaa 'alaihi" berarti "kami menguasainya", maka kalimat "amrunaa 'alaihi" atau "'alaihi amrunaa" amat janggal bila diartikan "perintah kami atasnya". Karena untuk arti "perintah", kata "amara" lebih tepat diiringi huruf "bi" (dengan), seperti firman Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil). <br />
<br />
Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid'ah, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau ketertolakannya. <br />
<br />
Kata amr pada "amrunaa" di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama) kami". Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya pun kata "amrunaa" diartikan sebagai "perintah kami" dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu "amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami", bukan " yang tidak ada perintah kami atasnya ". Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi: <br />
<br />
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم) <br />
<br />
"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)<br />
<br />
"Tidak sesuai perintah" mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan. Sedangkan "tidak tidak ada perintah kami atasnya " mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala". Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid'ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?<br />
<br />
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai "amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus. <br />
<br />
Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara "yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang) , sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian" sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai "rahmat" dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: <br />
<br />
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره) <br />
<br />
"Sesungguhnya Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya). <br />
<br />
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan "Ia telah mendiamkan beberapa hal" tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan", "menetapkan batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala ”mendiamkan beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan". Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.<br />
<br />
Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai "rahmat" ??! <br />
<br />
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari'atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang "rahmat" sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum "boleh" atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut. <br />
<br />
Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap dianggap "rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara "perkara baru di dalam ajaran agama" dan "perkara baru yang berbau agama". <br />
<br />
Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama "perkara baru di dalam ajaran agama" dengan "perkara baru yang berbau agama", dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid'ah sesat dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana "rahmat" yang ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta dan pemuliaan terhadap beliau. <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap "rahmat" yang Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk, tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak ada dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabatnya". <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut: <br />
<br />
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا <br />
<br />
"Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan" (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).<br />
<br />
Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:<br />
<br />
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ <br />
<br />
"Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)"<br />
<br />
atau dalam kaidah lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada <br />
<br />
dalil yang menyuruhnya."<br />
<br />
Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do'a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin. <br />
<br />
Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya? <br />
<br />
Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid'ah yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan. <br />
<br />
Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah, rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in. <br />
<br />
Hasilnya, syi'ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara keimanannya dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di mana mereka dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka. <br />
<br />
3. Dalil sesatnya setiap bid'ah <br />
<br />
Menyangkut bid'ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu: <br />
<br />
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم) <br />
<br />
"Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim). <br />
<br />
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي) <br />
<br />
"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka" (HR. Nasa'i)<br />
<br />
Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid'ah. <br />
<br />
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. Sedangkan bid'ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid'ah dengan ungkapan: <br />
<br />
كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ <br />
<br />
"Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya"<br />
<br />
Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid'ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.: <br />
<br />
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم) <br />
<br />
"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)<br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid'ah di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal "berbau agama" atau "berbau ibadah" yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berarti bid'ah. Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin' Donut membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid'ah.<br />
<br />
Yang demikian karena mereka mendefinisikan bid'ah dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau. <br />
<br />
Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika menyebutkan "setiap bid'ah adalah kesesatan", Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya. Benarkah begitu? <br />
<br />
Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu: <br />
<br />
1. Hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut bersifat umum , artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru "berbau agama" yang tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain sebagainya. <br />
<br />
Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu menyatakan, "inilah agama. Apa saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak". Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya: <br />
<br />
... لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ ...(رواه البخاري ) <br />
<br />
"Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …" (HR. Bukhari) <br />
<br />
2. Hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebutbukanlah hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud "sesatnya" muhdatsat dan bid'ah yang sesungguhnya. <br />
<br />
Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do'a I'tidal dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat tentang cara membaca al-Qur'an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan 'Ammar dengan mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur'an dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid'ah shalat tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama. <br />
<br />
Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid'ah tersebut, tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid'ah yang sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid'ah sebagai kesesatan tanpa kecuali. <br />
<br />
Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi bid'ah menjadi dua, bid'ah dhalalah/sayyi'ah (bid'ah yang sesat/buruk) dan bid'ah hasanah/mahmudah (bid'ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang mengkategorikan bid'ah secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah, makruhah, mubahah, muharramah). <br />
<br />
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid'ah menjadi dua, yaitu: bid'ah diniyyah/syar'iyyah (bid'ah agama/syari'at) dan bid'ah duniawiyah (bid'ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid'ah diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid'ah I'tiqadiyah (bid'ah aqidah) dan bid'ah 'amaliyah (bid'ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid'ah mukaffirah (bid'ah yang menyebabkan kafir) dan bid'ah ghairu mukaffirah (bid'ah yang tidak menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid'ah mukaffirah, bid'ah muharramah, bid'ah makruhah tahrim, dan bid'ah makruhah tanzih (lihat Ensiklopedia Bid'ah, Hammud Abdullah al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid'ah-bid'ah yang Dianggap Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4). <br />
<br />
3. Perkara baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali format ibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu baik. <br />
<br />
Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun'ah fii tahqiq ma'na al-Bid'ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi'I berkata: <br />
<br />
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به <br />
<br />
"Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara' maka bukan termasuk bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-red) " (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).<br />
<br />
4. Definisi bid'ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Sebab, Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid'ah seperti yang mereka buat, yaitu: "”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal". Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi, "Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau." Mereka juga mengklasifikasi bid'ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid'ah, tapi mereka sendiri melakukan bid'ah. Aneh, kan?! <br />
<br />
Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid'ah (syar'iyyah & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten berpegang pada hadis "Setiap bid'ah adalah kesesatan", atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di satu sisi menolak pembagian bid'ah kepada hasanah & sayyi'ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar'iyyah & duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga dianggap bid'ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur'an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid'ah, melainkan termasuk dalam mashlahat mursalah (kemaslahatan umum). <br />
<br />
Mereka juga berdalih bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana untuk melaksanakan perintah hukumnya juga diperintah, bukanlah bid'ah, meskipun sarana itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena "sarana dihukumi menurut tujuannya" (lilwasaa'il hukmu al-maqashid), sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi, membangun sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu syari'at yang diperintahkan di dalam agama (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 29-30). <br />
<br />
Kalau begitu, kenapa mereka tidak bisa melihat bahwa acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau kegiatan tahlilan dan istighatsah yang tidak ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu sebagai maslahat umum (maslahat mursalah) sekaligus sarana untuk melaksanakan perintah di dalam agama seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur'an, bershalawat kepada Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo'a, berbagi rezeki atau sedekah, dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh. Bukankah semua amalan itu jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan itu boleh berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan seperti itu mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan ketaatan, lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.? <br />
<br />
5. Bila segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid (pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini: <br />
<br />
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني) <br />
<br />
"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani). <br />
<br />
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu: <br />
<br />
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ <br />
<br />
"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka."<br />
<br />
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan. <br />
<br />
Dari sekian nama ulama pembaharu (mujaddid) dari setiap masa seratus tahun pertama sampai masa seratus tahun kedelapan (sebagaimana disebut oleh as-Suyuthi di dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii Akhbaaril-Mujaddidiin), dan sampai masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di dalam 'Aunul-Ma'buud), tidak terdapat nama Ibnu taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab (perintis paham Salafi & Wahabi). Bagaimana mungkin mereka dianggap mujaddid (pembaharu) sedangkan paham mereka banyak yang bertentangan dengan ijma' mayoritas ulama. <br />
<br />
Kemungkinan ada orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai pembaharu, tetapi pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang di bawa Ibnu Taimiyah adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama sebelumnya bahkan para ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana mungkin penobatan Ibnu Taimiyah sebagai mujaddid bisa dibenarkan, sementara ia hanya mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf (mereka yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in sekitar 300 H.). Berarti, status mujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid dari sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di setiap akhir masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di abad ke-12 lebih tidak pantas lagi. <br />
<br />
Menolak adanya pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah dhalalah/madzmumah dan bid'ah hasanah/mahmudah, maka secara tidak langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan oleh mujaddid, sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam Syafi'I yang diakui oleh para ulama sebagai mujaddid pada akhir masa abad ke-2 (sebelumnya di abad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan disetujui penjelasannya itu oleh para ulama setelahnya. <br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/kejanggalan-kaum-wahabi-dlm-berdalil.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/07/kejanggalan-kaum-wahabi-dlm-berdalil.html</a></div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-61334233496619768342012-06-17T01:20:00.000-07:002012-06-21T18:19:19.975-07:00Anekdot perdebatan wahabi - ASWAJA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">ANEKDOT PERDEBATAN<br />
<br />
Anekdot perdebatan antara Wahabi & Salafi dengan Ahlus Sunah Wal Jama’ah<br />
Wahabi & Salafi (WS): "Maulid dan tahlilan itu haram, dilarang di dalam agama."<br />
Ahlussunnah (AJ) : "Yang dilarang itu bid'ah, bukan Maulid atau tahlilan, bung!<br />
<br />
WS : "Maulid dan tahlilan tidak ada dalilnya."<br />
AJ : "Makanya jangan cari dalil sendiri, enggak bakal ketemu. Tanya dong sama guru, dan baca kitab ulama, pasti ketemu dalilnya."<br />
<br />
WS : "Maulid dan tahlilan tidak diperintah di dalam agama."<br />
AJ : "Maulid dan tahlilan tidak dilarang di dalam agama."<br />
<br />
WS : "Tidak boleh memuji Nabi Saw. secara berlebihan."<br />
AJ : "Hebat betul anda, sebab anda tahu batasnya dan tahu letak berlebihannya. Padahal, Allah saja tidak pernah membatasi pujian-Nya kepada Nabi Saw. dan tidak pernah melarang pujian yang berlebihan kepada beliau."<br />
<br />
WS : "Maulid dan tahlilan adalah sia-sia, tidak ada pahalanya."<br />
AJ : "Sejak kapan anda berubah sikap seperti Tuhan, menentukan suatu amalan berpahala atau tidak, Allah saja tidak pernah bilang bahwa Maulid dan tahlilan itu sia-sia."<br />
<br />
WS : "Kita dilarang mengkultuskan Nabi Saw. sampai-sampai menganggapnya seperti Tuhan."<br />
AJ : "Orang Islam paling bodoh pun tahu, bahwa Nabi Muhammad Saw. itu Nabi dan Rasul, bukan Tuhan."<br />
<br />
WS : "Ziarah ke makam wali itu haram, khawatir bisa membuat orang jadi musyrik."<br />
AJ : "Makanya, jadi orang jangan khawatiran, hidup jadi susah, tahu."<br />
<br />
WS : "Mengirim hadiah pahala kepada orang meninggal itu percuma, tidak akan sampai."<br />
AJ : "Kenapa tidak! kalau anda tidak percaya, silakan anda mati duluan, nanti saya kirimkan pahala al-Fatihah kepada anda."<br />
<br />
WS : "Maulid itu amalan mubazir. Daripada buat Maulid, lebih baik biayanya buat menyantuni anak yatim."<br />
AJ : "Cuma orang pelit yang bilang bahwa memberi makan atau berinfak untuk pengajian itu mubazir. Sudah tidak menyumbang, mencela pula."<br />
<br />
WS : "Maulid dan tahlilan itu bid'ah, tidak ada di zaman Nabi saw."<br />
AJ : "Terus terang, Muka anda juga bid'ah, karena tidak ada di zaman Nabi Saw."<br />
<br />
WS : "Semua bid'ah (hal baru yang diada-adakan) itu sesat, tidak ada bid'ah yang baik/hasanah."<br />
AJ : "Saya ucapkan selamat menjadi orang sesat. Sebab Nabi Saw. tidak pernah memakai resleting, kemeja, motor, atau mobil seperti anda. Semua itu bid'ah, dan semua bid'ah itu sesat."<br />
<br />
WS : "Kasihan, masyarakat banyak yang tersesat. Mereka melakukan amalan bid'ah yang berbau syirik."<br />
AJ : "Sudah lah, kalau anda masih bodoh, belajarlah dulu, sampai anda bisa melihat jelas kebaikan di dalam amalan mereka."<br />
<br />
WS : "Saya menyesal dilahirkan oleh orang tua yang banyak melakukan bid'ah."<br />
AJ : "Orang tua anda juga pasti sangat menyesal karena telah melahirkan anak durhaka yang sok pintar seperti anda."<br />
<br />
WS : "Para penceramah di acara Maulid, bisanya hanya mencaci maki dan memecah belah umat."<br />
AJ : "Sebetulnya, para penceramah itu hanya mencaci maki orang seperti anda yang kerjanya menebar keresahan dan benih perpecahan di kalangan umat."<br />
<br />
WS : "Qunut Shubuh itu bid'ah, tidak ada dalilnya, haram hukumnya."<br />
AJ : "Kasihan, rokok apa yang anda hisap? Setahu saya, di dalam iklan, merokok Star Mild hanya membuat orang terobsesi menjadi sutradara atau orator. Sedangkan anda sudah terobsesi menjadi ulama besar yang mengalahkan Imam Syafi'I yang mengamalkan qunut shubur. Lebih Brasa, Brasa Lebih pinter gitu loh!!!!!!!!!!!!<br />
<br />
Ajakan: <br />
Saudara-saudara ku Muslimin dan Muslimat ayo kita jaga ukhuwah Islamiyyah, saling ramah tamah, berbuat baik lahir-bathin kepada orang lain, kepada sesama manusia, walaupun berlainan aliran partai, organisasi, berlainan pendapat (khilafiyah) dalam hal furu’iyah, jangan mudah menvonis syirik, bid’ah dan menyalahkan pendapat yang berbeda dengan golongannya. Ayo kita menata hati, memperbaiki niat, agar kita dapat bermujahadah menghilangkan sifat-sifat tercela dan berusaha menghiasi diri kita dengan sifat-sifat terpuji. Semoga Alloh Swt memperbaiki urusan kaum Muslimin dan mencegah kejahatan yang mengganggu, serta melimpahkan kepada kita semua Khusnul khatimah. “Aamiin Ya Alloh Ya Rohmaan Ya Rohiim, antal Jawaadul haliim wa Anta Ni’mal Mu’iin”.<br />
(Ahlus Sunnah wal Jama’ah) <br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/06/anekdot-perdebatan-wahabi-aswaja.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/06/anekdot-perdebatan-wahabi-aswaja.html</a></div></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-58546947813666038772012-06-17T01:16:00.000-07:002012-06-21T18:26:25.709-07:00Ilmuan Muslim Penemu Al-Jabar<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Al Khawarizmi (ilmuan Muslim penemu Al-Jabar)<br />
Para pemikir muslim mewarisi ilmu matematika jauh sebelum peradaban Yunani dan Hindu. Kontribusi Muslim terhadap perkembangan ilmu matematika dimulai sejak awal abad kedelapan sampai pertengahan abad ke-15. Para ahli matematika Muslim itu umumnya berasal dari Iran atau Irak yang muncul bergantian sejalan dengan adanya peperangan selama periode itu. Perkembangan ilmu matematika meluas ke wilayah barat melalui Turki dan Afrika Utara termasuk sebagian besar wilayah Spanyol sampai perbatasan Cina. Al Khawarizmi, ahli matematika dan astromomi dari Persia, memperkenalkan sebuah metode yang hampir sama dengan penjumlahan bilangan akar kuadrat. Dia juga merupakan orang yang memperkenalkan konsep pengurangan untuk variabel bilangan kuadrat. Dia juga menyempurnakan dan mengembangkan geometri dengan persamaan kuadrat yang mempunyai dua variabel, seperti lingkaran, elip, parabola dan hiperbola. Berkat dia, sekarang kita mengenal istilah aljabar yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab Al Jabr yang diambil dari judul bukunya yang paling terkenal, yaitu Al-Jabr wa I-Muqabala (buku tentang pengurangan dan persamaan). Aljabar adalah penggabungan teori bilangan-bilangan rasional, irasional dan geometri. Konsep ini memberikan dimensi dan pengembangan teori matematika yang benar-benar baru dibandingkan teori-teori sebelumnya. Aljabar pulalah yang menjadi dasar pijakan pengembangan teori matematika selanjutnya. Aspek penting lain dari teori aljabar adalah dimungkinkannya penerapan matematika untuk bidang keilmuan eksak lainnya yang belum pernah terjadi dimasa lalu.<br />
Khawarizmi adalah salah seorang ilmuan terhebat pada abad pertengahan dan merupakan ahli matematika terpenting yang terkenal dengan sebutan Bapak Aljabar. Dia menulis buku Al-Jem wa l-Tafraq bi Hisab al Hind yang juga disebut Hisab al-Adad al-Hind pada bidang aritmatika yang menggunakan bilangan numeric India termasuk angka nol dan notasi decimal untuk pertama kalinya. Hal ini berkaitan dengan empat operasi dasar matematika, yaitu penambahan, pembagian pengurangan, dan perkalian. Kini, naskah asli dalam bahasa Arab buku tersebut sudah hilang, hanya tersedia terjemahan latinnya saja. Bukunya yang lain juga sudah raib tak ketahuan rimbanya.<br />
Karya klasikalnya yang terbaik dibidang aljabar adalah buku Al-Mukhtasar di Hisab al-jabar wa l-Muqabala. Buku ini juga diterjemahkan dalam bahasa Latin pada abad pertengahan dan menjadi rujukan utama sejarah matematika. Buku yang menyajikan lebih dari 800 contoh ini menjadi rujukan dalam memecahkan masalah-masalah keseharian yang dihadapi umat Islam menyangkut masalah tempat tinggal, warisan, hokum, pembagian harta, dan perdagangan. Buku aslinya yang berbahasa Arab pertama kali ditulis pada tahun 820 M dan diterjemahkan dalam bahasa Latin pada abad ke-12.<br />
Patut digarisbawahi bahwa istilah Aljabar (dalam bahasa Latin Algebra) yang ditemukan dalam khasanah bahasa Eropa pada kategori istilah-istilah kuno bidang matematika dan algoritma, adalah bentuk penyimpangan dari nama Khawarizmi.<br />
Arti Aljabar sesungguhnya dalam bahasa Arab adalah pengembalian dengan memindahkan bilangan negative kesisi persamaan lainnya agar bilangan tersebut menjadi positif. Adapun istilah Muqabalah mengandung pengertian proses menyisihkan bilangan identik dari dua sisi persamaan. Akan tetapi, terjemahan terbaik untuk Hisab al-Jabar wa l-Muqabala, seperti yang diperkenalkan Jhon K Baumgart, adalah “ilmu tentang persamaan”, sehingga aljabar yang dimaksudkan Khawarizmi adalah retorika bentuk persamaa. Khawarizmi juga memberikan konsep dasar persamaan kuadrat yang dapat digunakan untuk membuktikan kasus-kasus angka geometri.<br />
Konsep dasar aljabar pertama kali diperkenalkan sebagai disiplin ilmu matematika yang independent. Kemudian aljabar diuraikan dengan sangat teliti oleh Khawarizmi untuk diformulasikan menjadi alat analisis menyelesaikan beragam kasus persamaan kudrat. Formulasi ini dijelaskannya melalui metode penggunaan contoh-contoh praktis. Buku karya Khawarizmi Hisab al-Jabr wa l-Muqabala tersebut, sampai kini terus digunakan dalam aplikasi ilmu matematika.<br />
<br />
Tajudin, jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2009.<br />
Dari Tabloid Republika, edisi Jum’at, 24 Agustus 2007 hlm, 11 <br />
<br />
Sumber: <a href="http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/06/ilmuan-muslim-penemu-al-jabar.html">http://tajmahalelbarosi.blogspot.com/2010/06/ilmuan-muslim-penemu-al-jabar.html</a></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-21636333769887144272012-05-19T03:24:00.000-07:002012-06-21T18:26:52.591-07:00Mujahidin Czechnya tahlilan juga<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<h6 class="uiStreamMessage uiStreamHeadline" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">
<div class="actorDescription actorName" data-ft="{"tn":1,"type":2}">
<span style="font-size: small;"><a data-ft="{"tn":2}" data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=1031537381" href="http://www.facebook.com/rosyid.rustantov">By Rasyid Saja</a></span></div>
</h6>
<h6 class="uiStreamMessage" data-ft="{"type":1}" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">
<span class="messageBody" data-ft="{"type":3}" style="font-size: small;">"Tahlilan
itu adalah budaya hindu!!! barang siapa melakukannya maka tergolong
fasiq dan bertasyabbuh orang kafir!!!" kama qoola : makhluk luar angkasa
pas dauroh-an<br /> <br /> padahal Mujahidin Czechnya tahlilan juga... <br /> <br /> kikuk... kikuk....</span></h6>
<div class="mvm uiStreamAttachments clearfix fbMainStreamAttachment" data-ft="{"type":10}">
<div class="UIImageBlock clearfix">
<img alt="" class="img" src="http://external.ak.fbcdn.net/safe_image.php?d=AQB0c1kSO5ZUdde7&url=http%3A%2F%2Fvthumb.ak.fbcdn.net%2Fhvthumb-ak-snc7%2F410020_3178274529060_3178250208452_9192_1528_t.jpg" /><br />
<div class="UIImageBlock_Content UIImageBlock_MED_Content fsm fwn fcg">
<div class="uiAttachmentTitle" data-ft="{"type":11}">
<br /> </div>
<span class="caption"></span><br />
<div class="mts uiAttachmentDesc translationEligibleUserAttachmentMessage">
"Tahlilan
itu adalah budaya hindu!!! barang siapa melakukannya maka tergolong
fasiq dan bertasyabbuh orang kafir!!!" kama qoola : utusan makhluk luar
angkasa pas dauroh-an padahal Mujahidin Czechnya tahlilan juga...
kikuk... kikuk....<br />
<div>
<div class="fsm fwn fcg">
Durasi: <span class="uiAttachmentDetails" data-ft="{"type":12}">1:09</span></div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>
</div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-33089561100257429012012-05-18T21:44:00.000-07:002012-06-21T18:27:50.103-07:00Cara mudah memasang banyak chanel radio aswaja dalam satu widgets<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjScQC9y72xZvTlerbL3_1EgmahO57W6PB86cY7Rh38fzab8XQ-nxT3IS75gbTQjHbOeu8pVZHI-jj9a3fss6EBIt_bV4e3lltONFMBdzE2N3lgqmclS_okZeEW5JG6p3sxnWXmpCtYQ9Y/s1600/Snap+2012-05-18+at+20.35.17.png" /><br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br />
Diatas ini adalah screen shoot dari widgets streaming radio untuk blog
diblogspot ( blogger ) yang di dalamnya telah saya isi dengan chanel 16
chanel radio-radio aswaja yang sangat ringan karena scripnya telah
dimodifikasi juga karena tampilan defaultnya of air ( Tidak otomatis
streaming )<br />
<br />
Jadi jika para pengunjung blog ingin mendengarkan radio ya tinggal klik
saja tulisan " Pilih radio disini" Maka secara otomatis chanel radio
yang dipilih akan on air ( Otomatis streaming ) dan tentu saja kwalitas
suara streaming radionya tergantung pada kecepatan koneksi internet
sobat.<br />
<br />
16 chanel dalam widgets dalam radio itu sebagai berikut:<br />
<br />
1. Al Hidayah Fm<br />
2. Aswaja Fm<br />
3. Himmah Fm<br />
4. Suara Nabawy Fm<br />
6. Dakwatul Mustofa Fm<br />
7. Majelis Rasulullah Fm<br />
8. Rasil Fm<br />
9. Radio QU Fm<br />
10. Sarkub Fm<br />
11. Silaturahim Fm<br />
12. Arisalah Fm<br />
13. MBS Fm<br />
14. Wadi Fm<br />
15. Mudu Fm<br />
16. Madina Fm<br />
<br />
Seperti biasa, cara pasang di blogspot untuk widgets seperti ini dengan adalah:<br />
<br />
Buka dasboard blogspot>>pilih rancangan>>klik tambah
gadgets>> pilih widgets html/java scrip>>pastekan kode di
bawah ini lalu simpan.<br />
<br />
<style type="text/css"><br />
#radionline {<br />
<span style="background-color: lime;">width: 290px;</span><br />
</style><script language='Javascript'><br />
document.write(unescape('%3C%73%63%72%69%70%74%20%74%79%70%65%3D%22%74%65%78%74%2F%6A%61%76%61%73%63%72%69%70%74%22%73%72%63%3D%22%68%74%74%70%3A%2F%2F%65%66%65%6C%69%6E%6E%61%2E%63%6F%6D%2F%64%61%74%61%2F%72%61%64%69%6F%6E%6C%69%6E%65%2E%6A%73%22%3E%0A%3C%2F%73%63%72%69%70%74%3E'));<br />
</script><br />
<div id="radionline" style="height: 86px"><br />
<select id="cancion" onchange="song()" style="width: 100%; height: 30px" ><br />
<option selected value="none" />__________<span style="background-color: yellow;">Pilih Radio Online Disini:</span>______ <br />
<optgroup label="------------------------"><br />
<option value="http://alhidayah.pasar.tv:7930" />Alhidayah FM<br />
<option value="http://radiohimmahfm.serverroom.us:7744" />Himmah FM<br />
<option value="http://suaranabawiy.pasar.tv:7974" />Suara Nabawiy 1<br />
<option value="http://radio.suaranabawiy.com:8872" />Suara Nabawiy FM 2<br />
<option value="http://stream.radiodakwahmustofa.com:8724" />Dakwatul Musthofa FM 1<br />
<option value="http://stream.radiodakwahmustofa.com:8726" />Dakwatul Musthofa FM 2<br />
<option value="http://stream.radiodakwahmustofa.com:8874<br />
" />Dakwatul Mustofa FM 3<br />
<option value="http://www.streamingthe.net/Rasil-Radio-Silaturahim-720-AM-Jakarta/p/23891" />Rasil FM 1<br />
<option value="http://stream.rasfmjakarta.com:8000" />Rasil FM 2<br />
<option value="http://radio.sarkub.com:8784" />Radio SARKUB FM 1<br />
<option value="http://radio.sarkub.com:8784" />SARKUB FM Bojonegoro 2<br />
<option value="http://streaming.arrisalah.org:8756" />Arisalah FM<br />
<option value="http://c1.madinafm.masjidjami.com<br />
" />Madina FM<br />
<option value="http://69.73.163.217:8550" />Madu FM<br />
<option value="http://cast3.broadcastindo.net" />Aswaja FM 1<br />
<option value="http://cast3.broadcastindo.net" />ASWAJA FM 2<br />
<option value="http://stream.majelisrasulullah.org:8000" />Majelis Rasulullah FM<br />
<option value="http://203.29.26.112:8199" />RADIO_QU FM<br />
<option value="http://tunein.com/tuner/?StationId=143186&amp;" />Radio MBS FM<br />
<option value="http://wadi.co.id/index2.php?option=com_joomradio&amp;page=show_radio&amp;id=2" />Radio WADI FM<br />
</optgroup></select><br />
<span id="music1" style="height: 45px; width: 100%;"><br />
<object id="Player"
codebase="http://www.microsoft.com/Windows/MediaPlayer/"
classid="clsid:6BF52A52-394A-11d3-B153-00C04F79FAA6" style="height:
45px; width: 100%;"><br />
<embed autostart="true" loop="true" showstatusbar="1"
showcontrols="true" type="application/x-mplayer2"
pluginspage="http://www.microsoft.com/Windows/MediaPlayer/"
enablecontextmenu="false" height="65" width="100%"><br />
</embed></object></span></div><br />
<br />
NB:<br />
Warna hijau stabilo adalah ukuran lebar widgets maka sesuaikanlah dengan kolom blog sobat.<br />
Warna kuning adalah pada tulisan "Plih radio disini" kanan kirinya ada
garis tepi maka sesuaikan juga dengan kolom blog sobat.<br />
<br />
Sobat juga dapat menambah chanel radio dengan menambah scrip serta merubah alamat/chanel dan nama radionya.<br />
<br />
Semogga bermanfaat untuk sobat aswaja sekalian.</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-68380103181901041102012-05-13T10:02:00.000-07:002012-06-21T18:19:19.977-07:00Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img alt="" class="fbPhotoImage img" id="fbPhotoImage" src="https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/547900_10150902367784846_667484845_9514036_828558830_n.jpg" /><br /><br /><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: left;">
<span class="hasCaption">Hb. Lutfi: Benarkah tarekat itu bid'ah<br /> <br /> Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah<br /> <br />
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pernah membaca buku
yang menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya
bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat.
Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah. Saya semakin bingung lagi.
Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu sehingga semuanya
harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid
yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan
malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena
dikelompokkan dan kemudian berzikir secara bersamaan dalam sebuah
kelompok disebut sesat dan bid'ah? Mohon penjelasan, apa batasan bid'ah
itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara bersama-sama?
Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jabir Ibnu
Hayyan<br /> <br /> Jawaban:<br /> <br /> Waalaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh. Islam adalah agama yang universal. Ini dapat dibuktikan
dengan keuniversalan Al-Qur'an. Orang yang mempelajari Al-Qur'an atas
dasar keuniversalannya justru akan selalu melihat bahwa manusia perlu
dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak diperlukan dan dibekali ilmu
yang cukup dalam mempelajari Al-Qur'an.<br /> <br /> Islam itu luwes. Sebab
kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah bisa saja terjadi di
zaman para sahabat. Demikian pula, kejadian yang tidak terjadi di zaman
sahabat, bisa terjadi di zaman tabi'in yaitu orang-orang yang hidup pada
generasi setelah para sahabat Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.<br /> <br />
Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan
generasinya karena adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan
berarti bahwa Al-Qur'an tidak bisa menjawab persoalan. Al-Qur'an siap
menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup memberi
penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur'an yang cukup.<br /> <br />
Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan
sebagainya belum terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok
sudah ada. Tapi peristiwa itu secara syariat di zaman Rasul belum ada.
Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada seseorang memerlukan
kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah
ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan?<br /> <br />
Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir
dari Rasulullah. Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini
sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi (saw)- menyebutkan, diriwayatkan
oleh Imam Ali Ridha, "Kalimat La ilaha Illallah itu benteng-Ku. Barang
siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah berarti orang itu masuk ke
dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang siapa yang masuk ke
dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku." Apakah ini
tidak bisa dianggap sebagai tuntunan?<br /> <br /> Selanjutnya, mohon maaf,
sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa tarekat itu sesuatu yang
bid'ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu perihal tarekat. Setelah itu
melaksanakan ajaran dalam tarekat tersebut dalam kehidupan Anda
sehari-hari. Jadi bukan hanya bersumberkan pada pertanyaan tadi. Lebih
dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan kaidah yang ada dalam
tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui, termasuk siapa ulama-ulama
itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu telah mengatakannya
sebagai bid'ah. Apakah sejauh itu prasangka kita pada ulama-ulama?
Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan hanya kita sendiri
yang mengerti bid'ah?<br /> <br /> Harap diingat, melihat figur jangan
sampai dijadikan ukuran. Sebab sebuah figur belum merupakan orang yang
alim. Makanya syarat orang yang mengikuti tarekat itu, haruslah
mengetahui arkan al-iman (rukun iman) dan Islam. Mengetahui batalnya
shalat, rukun shalat, rukun wudhu, batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga
mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat
para rasul, membedakan barang halal dan haram.<br /> <br /> Setelah itu baru
dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita masuk tarekat. Bukan
suatu yang bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang yang masuk terkadang
tertarik oleh sebuah ritus, termasuk mendekatkan diri pada ulama. Tetapi
di dalam dirinya masih ada banyak kekurangan, sehingga apa yang
sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat, terpaksa dilakukan.
Seperti, kita menjalankan tarekatnya namun justru meninggalkan yang
wajib. Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan
sebaliknya.<br /> <br /> Sumber: <a href="http://sufiroad.blogspot.com/2012/05/hb-lutfi-benarkah-tarekat-itu-bidah.html" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>sufiroad.blogspot.com/2012/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>05/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>hb-lutfi-benarkah-tarekat-i</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>tu-bidah.html</a><br /> <br /> Pengamalan Tasawuf Ala Al Habib Luthfi<br /> <br />
Berikut ini petikan wawancara crew Habibluthfiyahya.net dengan Al Habib
Luthfi bin Yahya. Dalam wawancara kali ini Al Habib menjelaskan
bagaimana tasuf dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.<br /> <br /> Apa pandangan-pandangan Al-Habib tentang tasawuf?<br /> <br />
Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada
tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur
diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu
melepaskannya dengan tangan kiri.<br /> <br /> Bagaimana kita masuk masjid
dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana membiasakan masuk kamar mandi
dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Artinya bagaimana
kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah merupakan bagian dari
tasawuf.<br /> <br /> Bukankah hal semacam itu sudah diajarkan orang tua kita sejak kecil?<br /> <br />
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya
saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka
terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima
pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan
dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi
SAW.<br /> <br /> Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini
kita tahu kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi.
Itu adalah tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari
nilai-nilai akhlaqul karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana
adab kita terhadap kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan
teman sebaya, bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita.
Bagaimana adab kita terhadap lingkungan kita.<br /> <br /> Termasuk ucapan
kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita. Kepada anak-anak
kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener menjaganya agar jangan
sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat kepada mereka. Sebab ucapan
itu yang diterima dan akan hidup di jawa anak-anak kita.<br /> <br /> Bagaimana sikap kita berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang sudah carut maut?<br /> <br />
Mampukah ketika kita berhadapan dengan lingkungan yang demikian itu?
Ketika kita asik-asiknya bergurau, maka berhentilah sejenak. Kita
koreksi apakah ada sesuatu yang kurang pantas? Agar hal yang demikian
itu tak dicontoh atau ditiru oleh anak-anak kita. Itu sudah merupakan
tasawuf. Jadi dalam rangka pembersihan hati, bisa dimulai dari hal-hal
kecil semacam itu.<br /> <br /> Lalu kita tingkatkan dengan tutur sikap kita
terhadap orang tua. Ketika kita makan bersama orang tua. Janganlah kita
menyantap lebih dahulu sebelum bapak-ibu kita memulai dulu. Janganlah
kita mencuci tangan dahulu sebelum kedua orang tua kita mencuci
tangannya. Makanlah dengan memakai tangan kanan. Dan jangan sampai
tangan kiri turut campur kecuali itu dalam kondisi darurat. Sebab
Rasulullah tak pernah makan dengan kedua tangannya sekaligus. Ini sudah
tasawuf.<br /> <br /> Apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf?<br /> <br />
Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya
ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak
sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong
karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat
kepada kebesaran Allah SWT yang diberikan kepada kita. Itu karena
fadhalnya Allah SWT.<br /> <br /> Sehingga kita tidak lagi mempunyai
prasangka-prasangka yang buruk, apalagi berpikiran jelek dalam pola
pikir dan lebih-lebih lagi di hati. Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub,
yakni untuk membersihkan hati. Jika hati kita ini bersih, maka hal-hal
yang selalu menghalangi-halangi hubungan kita kepada Allah itu akan
sirna dengan sendirinya. Sehingga kita senantiasa mengingat Allah.<br /> <br />
Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena
karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan,
sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi.
Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu.<br /> <br /> Lantas dari mana kita mesti memulai untuk pembersihan hati tersebut?<br /> <br />
Ikutlah dahulu ajaran fiqih yang tertera dalam kitab-kitab fiqh.
Seperti arkanus shalat (rukun-syarat sholat), lalu adabut shalat, adabut
thaharah dan seterusnya. Marilah itu semua kita pelajari dan kita
laksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita diundang untuk menghadiri
acara walimah di sebuah gedung misalnya, maka kenakanlah pakaian yang
bagus-bagus.<br /> <br /> Sebab itu demi menghormat dan untuk menyaksikan
kehalalan kedua mempelai di pelaminan. Untuk menghormati acara tersebut,
kita menggunakan pakaian yang rapi. Sebab pada hakikatnya, kita telah
menghormati Allah SWT yang telah menghalalkan hal tersebut.<br /> <br />
Kita juga menghormati yang telah mengundang kita, serta menghormati
sesama kita dalam gedung atau dalam jamuan tersebut. Kalau kita bisa
menyaksikan aqdun nikah (akad nikah) secara demikian, mengapa kalau kita
menghadap langsung kepada Allah SWT, tidak pernah melakukan
penghormatan yang demikian itu?<br /> <br /> A-Habib dikenal sebagai mursyid thariqah, tetapi kelihatan gemar memainkan alat musik?<br /> <br />
Di sana kita akan menemukan kekaguman. Ilmullah yang ada dalam music
itu sendiri. Diantaranya notnya itu hanya ada 7; do re mi fa sol la si
do, do si la sol fa mi re do. Sedangkan oktafnya ada 7, suara miringnya
5, jadi ada 12. Yang memakai adalah di seliruh dunia, dan mengeluarkan
lagu yang beragam. Itu merupakan satu hal yang sangat menarik. Ketika
orang mendengarkan musik, mereka bisa menangis dan tertawa, bersedih dan
bersuka ria. Nah, yang berupa benda saja bisa menghasilkan efek semacam
itu. Lantas bagaimana kalau kita tengah mendengar lantunan ayat
Al-Qur’an sedang dibacakan? Mesti akan jauh lebih dari itu.<br /> <br /> Sumber: <a href="http://www.habiblutfiyahya.net/index.php?Itemid=18&catid=34%3Aberita&id=133%3Apengamalan-tasawuf-ala-al-habib-luthfi&lang=ar&option=com_content&view=article" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>www.habiblutfiyahya.net/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>index.php?Itemid=18&catid=3</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>4%3Aberita&id=133%3Apengam</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>alan-tasawuf-ala-al-habib-</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>luthfi&lang=ar&option=com_</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>content&view=article</a></span><div class="fbPhotoTagList" id="fbPhotoPageTagList">
<span class="fcg"> </span></div>
</div>
</div>
<br /></div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-43675965620619174902012-05-07T21:34:00.000-07:002012-06-21T18:19:19.979-07:00Kontes GADIS ARAB IDEAL<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img alt="" class="fbPhotoImage img" height="400" id="fbPhotoImage" src="https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/s720x720/543009_350893754973038_100001572504293_988374_1544310128_n.jpg" width="258" /><br />
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: center;">
<a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100001572504293" href="https://www.facebook.com/profile.php?id=100001572504293">By Kaheel Baba Naheel</a></div>
<div class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoPageCaption" style="text-align: center;" tabindex="0">
<span class="hasCaption"><br />Kontes GADIS ARAB IDEAL<br /> <br /> Reuters:<br />
Diputuskan dalam babak final, pada perhelatan di rabu malam putaran
ketiga kontes GADIS ARAB IDEAL dimenangkan oleh MAWADDAH NOOR kontestan
Arab Saudi <br /> <br /> View image:<br /> <br /> <a href="http://s.alriyadh.com/2009/11/12/img/457423364549.jpg" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://s.alriyadh.com/<wbr></wbr><span class="word_break"></span>2009/11/12/img/<wbr></wbr><span class="word_break"></span>457423364549.jpg</a><br /> <br /> <a href="http://s.alriyadh.com/2009/11/12/img/350601827781.jpg" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://s.alriyadh.com/<wbr></wbr><span class="word_break"></span>2009/11/12/img/<wbr></wbr><span class="word_break"></span>350601827781.jpg</a><br /> <br />
Menyaksikan dihari terakhir kompetisi, persaingan tampak semakin
sengit. Pada saat itu keluar pula kontestan Mesir dan Sudan dari putaran
kedua dari belakang.<br /> <br /> Meskipun mereka hanya meraih kontestan
ter favorit di putaran kedua, tapi keluarnya mereka menjadi sebuah
kejutan bagi para peserta kompetisi.<br /> <br /> Mawaddah Noor yang saat itu mengenakan kerudung berkata:<br /> <br />
“Kemenangan ini mengejutkan hati dan akan selalu tercatat dalam hati.
Kompetisi seperti ini banyak sekali faidah nya, yaitu antara lain
menambah banyak teman dari Negara Negara arab yang lain.<br /> <br /> Terjemah dari;<br /> Sumber: <a href="http://www.alriyadh.com/net/article/473812" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://www.alriyadh.com/<wbr></wbr><span class="word_break"></span>net/article/473812</a><br /> <br /> <br /> Demikian baba naheel melaporkan</span></div>
<div class="fbPhotoTagList" id="fbPhotoPageTagList">
<span class="fcg"><br /></span></div>
</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-33680839862898343612012-05-06T10:25:00.000-07:002012-06-21T18:28:22.475-07:00BACA AYAT ATAU SURAT TERTENTU SEBAGAI JAWABAN YANG TIDAK MEMPERBOLEHKANNYA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img alt="" class="fbPhotoImage img" height="294" id="fbPhotoImage" src="https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/389576_452957554718051_100000114327395_1834344_634006380_n.jpg" width="400" /><br /><br /></div>
<div style="text-align: left;">
<div class="fbPhotoContributorName" id="fbPhotoPageAuthorName">
<a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100000114327395" href="https://www.facebook.com/mks82">By Emka Shofa</a></div>
<div class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0">
<span class="hasCaption"><br />BACA AYAT ATAU SURAT TERTENTU SEBAGAI JAWABAN YANG TIDAK MEMPERBOLEHKANNYA.<br /> <br /> 1."Surat al-fatihah dibaca karna (tujuan) sesuatu" (HR.Al-baihaqi)<br /> <br /> 2.Dari abi hurairah ra: "Barangsiapa membaca 100 ayat diwaktu malam, maka tidaklah tercatat sebagai orang yg lupa".<br /> (HR.Al-hakim) shahih<br /> <br /> 3."Barangsiapa membaca 3 ayat awal dari surat al-kahfi, maka dijaga dari fitnah dajjal".<br /> (HR.Turmudzi dari Abi darda') shahih<br /> <br /> 4."Barangsiapa membaca 10 ayat akhir dari surat al-kahfi, maka terjaga dari fitnah dajjal".<br /> (HR.Ahmad, Muslim, an-nasai dari Abi darda') shahih<br /> <br /> 5."Barangsiapa membaca 2 ayat dari akhir surat al-baqarah diwaktu malam, maka dicukupkan baginya".<br /> (HR.Abu daud, an-nasai, Turmudzi, Ibn majah dari Ibn mas'ud) shahih<br /> <br />
6."Barangsiapa membaca ayat al-kursi selepas tiap shalat wajib, maka
tidak tercegah masuk surga kecuali dia meninggal (mati masuk surga)".<br /> (HR.An-nasai, Ibn majah dari Abi umamah) shahih<br /> <br /> 7.Sungguh seorang lelaki berkata: ya Rasulallah, sungguh aku cinta surat ini Qul huallohu ahad.<br /> Nabi berkata: "Sungguh mencintainya (mampu) memasukkanmu ke surga".<br /> (HR.Turmudzi dan Bukari) shahih<br /> <br />
8."Barangsiapa membaca surat Yasin karna mengharap ridla Allah, maka
diampuni dosanya yg lalu. Bacakanlah surat Yasin disisi orang mati
kalian".<br /> (HR.Baihaqi dari Mu'aqal bin yasar) shahih<br /> <br /> 9."Barangsiapa baca "Qul huallohu ahad", maka seperti membaca 1/3 al-quran".<br /> (HR.Ahmad, an-nasai) shahih, JIM-SHAD:8944<br /> <br /> 10."Barangsiapa membaca Haamim ad-dukhan dimalam jumat atau hari jumat, maka Allah membangun rumah baginya disurga".<br /> (HR.Thabrani dari Abi umamah) hasan<br /> <br /> 11."Barangsiapa membaca surat al-baqarah, maka dipakaikan mahkota di surga".<br /> (HR.Baihaqi dari al-shalshal) shahih<br /> <br />
12."Barangsiapa membaca al-quran, maka mintalah kepada Allah dengan
(lantaran) nya. Karna akan datang golongan yang membaca al-quran lalu
meminta manusia dengan (lantaran) nya".<br /> (HR.Turmudzi dari Ibn 'imran) hasan<br /> <br />
13.Sungguh Rasulullah SAW berkata dalam (masalah) Qul huallohu ahad:
"Demi dzat yang diriku dalam kekuasaanNya, sungguh ia sepadan dengan 1/3
al-quran".<br /> (HR.Bukhari)<br /> <br /> 14.Malaikat-malaikat turun dari
langit berkata: "Berilah kabar baik berupa 2 cahaya diberikan padamu
yang tidak diberikan pada Nabi sebelummu: (yaitu) surat al-fatihah dan
akhiran surat al-baqarah, tidaklah membaca satu huruf darinya kecuali
engkau diberikannya (hajatmu)".<br /> (HR.Muslim)<br /> <br /> 15."Barangsiapa menjaga 10 ayat awal dari surat al-kahfi, maka dijaga dari fitnah dajjal".<br /> (HR.Ahmad, Muslim, Abu daud, Nasai dari Abi darda')<br /> <br />
16.Sungguh setan berkata: ketika kamu mau tidur, maka bacalah ayat
kursi,karna sesungguhnya engkau selalu mendapat penjagaan dari Allah,
dan setan tidak akan mendekatimu hinggu waktu subuh. Rasulullah benar
tentang itu.<br /> (HR.Bukhari)<br /> <br /> Dan hadits-hadits yang lain yang senada.<br />
Akhiran, Al-quran adalah kalamullah sekaligus mu'jizat Rasulullah yang
mendapat balasan bila membaca atau mengamalkannya, walaupun hanya 1
ayat. Jadi tidak benar bila ada segelintir golongan yg melarang atau tak
memperbolehkan membaca bila sepotong-sepotong.<br /> <br /> Percalah pada Rasulullah ketimbang percaya pada orang yang tak diketahui sumber ilmu dan rujukannya. Barakallah</span></div>
<span class="fcg"></span></div>
<div style="text-align: left;">
<br />Sumber: <a href="https://www.facebook.com/photo.php?fbid=452957554718051&set=a.362776917069449.103040.100000114327395&type=1">https://www.facebook.com/photo.php?fbid=452957554718051&set=a.362776917069449.103040.100000114327395&type=1</a></div>
</div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-71322282714572708582012-05-06T00:37:00.000-07:002012-06-21T18:19:19.981-07:00“THE BEAUTIFUL GOAT”<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img alt="" class="fbPhotoImage img" height="258" id="fbPhotoImage" src="https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/541106_350095015052912_100001572504293_986126_1340397938_n.jpg" width="400" /><br /><br /></div>
<div style="text-align: left;">
<div class="fbPhotoContributorName" id="fbPhotoPageAuthorName">
<a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100001572504293" href="https://www.facebook.com/profile.php?id=100001572504293" id="js_3">By Kaheel Baba Naheel</a></div>
<span class="hasCaption"><br />Sekarang saya akan mengabarkan sebuah TRADISI (duniawi) di Arab Saudi, yaitu kontes<br /> <br /> “THE BEAUTIFUL GOAT”<br /> (wedus ayu)<br /> <br /> Berikut liputannya:<br /> <br /> Riyadh-Reuters:<br /> <br /> Telah di helat di Saudi Arabia “KONTES PEMILIHAN KAMBING YANG PALING INDAH”<br /> <br /> Pesertanya (kambing) kebanyakan dari nejed, karena kontes ini memang di gelar di ibu kota Arab Saudi yaitu Riyadh.<br /> Nanti akan di pilih 10 ekor terbaik dalam 10 katagori.<br /> Disela sela acara tersebut pemenangnya akan di jual dari harga yang paling rendah yaitu, SR.100.000,- ($.26.000,-).<br /> Sedangkan pemenang yang paling dan terindah akan dijual seharga SR.450.000,- (empat ratus lima puluh ribu real)<br /> <br /> Selengkapnya anda baca disini:<br /> <a href="http://www.akhbaralarab.net/index.php/varieties/5679" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>www.akhbaralarab.net/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>index.php/varieties/5679</a><br /> <br /> Data foto foto di berbagai kontes akan saya lansir dikolom komentar.<br /> <br /> Demikian baba naheel melaporkan</span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-65550431700004469542012-05-05T11:52:00.000-07:002012-06-21T11:09:32.307-07:00Ini adalah Tiang tempat tidur<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img alt="" class="fbPhotoImage img" height="300" id="fbPhotoImage" src="https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/545701_349561381772942_100001572504293_985155_918507286_n.jpg" width="400" /><br /><br /></div>
<div class="fbPhotoContributorName" id="fbPhotoPageAuthorName">
By <a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100001572504293" href="https://www.facebook.com/profile.php?id=100001572504293">Kaheel Baba Naheel</a></div>
<div class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0">
<span class="hasCaption"><br />SERI -3<br /> <br /> Tiang ini bertuliskan<br /> <br /> هذه اسطوانة السرير<br /> <br /> Ini adalah Tiang tempat tidur<br /> <br /> Penamaannya berangkat dari diletakkannya tempat tidur Rasulullah ditempat ini, saat beliau saw beri’tikaf.<br /> <br /> Seperti dalam gambar, tiang ini kini menempel di ventilasi makam nabi sisi barat.<br /> Terletak disebelah tiang taubat/abi lubabah.<br /> <br />
Jika anda mengintip dari celah atau lubang lubang ventilasi tersebut,
maka anda akan melihat makam Nabi dan kedua sahabat nya seperti ni:<br /> <br /> <a href="http://www.facebook.com/note.php?note_id=393655427332517" rel="nofollow" target="_blank"><span>http://www.facebook.com/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>note.php?note_id=3936554273</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>32517</a><br /> <br /> <br /> Tempat ini dekat dengan kamar Nabi saw atau Aisyah ra.<br /> Sayyidah Aisyah r.a menceritakan:<br /> <br />
“Pernah Rasulullah saw mendekatkan kepalanya kepadaku, beliau ada di
samping, aku membasuh kepala beliau dan kedua kakinya. Saat aku
melakukan itu aku tetap berada dikamarku, aku sedang Haidl dan beliau
tetap berada di masjid.<br /> HR. Ibnu Majjah (kitab as shiyaam, bab fil mu’takif).<br /> <br />
Ibnu Umar r.a meriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau saw, apabila ber
i’tikaf, tempat tidur atau kasur nya dibeberkan disini dibelakang tiang
Abi Lubabah.<br /> <br /> Juga diriwayat bahwa Imam Malik senang berada
ditempat ini, yang sekaligus sebagai tempatnya Umar r.a. (al- tuhfah al-
lathiiah lis- sakhowi).<br /> <br /> Inilah satu satu nya tiang yang membuat aku terpesona jika mengingat sejarahnya :’)<br /> <br /> Semoga bermanfaat bagi yang belum, yang ingin dan yang akan berziarah ke Makkah-Madinah<br /> Amin<br /> <br /> <br /> Demikian baba naheel melaporkan dari Madinah</span></div>
<span class="fcg"> </span><div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-73656085673885610402012-04-30T23:48:00.000-07:002012-06-21T18:28:47.392-07:00MAHABBAH ATAU CINTA MENURUT ULAMA TASAWUF<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img alt="" class="fbPhotoImage img" id="fbPhotoImage" src="https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/581529_447151095298697_100000114327395_1820864_1022075734_n.jpg" /><br /><br /></div>
<div style="text-align: left;">
<div class="fbPhotoContributorName" id="fbPhotoPageAuthorName">
<a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100000114327395" href="https://www.facebook.com/mks82" id="js_1">By Emka Shofa</a></div>
<div class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoPageCaption" tabindex="0">
<span class="hasCaption"><br />MAHABBAH ATAU CINTA MENURUT ULAMA TASAWUF<br /> >Sufyan as-sauri: mengikuti perilaku Rasulullah SAW.<br /> >Al-junaid al baghdadi: Allah menghalangi atas orang yg hatinya ada fikiran dunia.<br /> >Dzun nun al-misry: berkatalah kepada orang yg cinta pada Allah "takutlah kamu direndahkan karna mencintai selain Allah".<br /> >As-sybli: orang ma'rifat apabila berbicara maka binasa, begitu pula orang yg cinta bila berdiam juga binasa.<br /> >Rabiah al-adawiyah: barangsiapa yg menunjukkan pada kekasihku (Allah).<br /> >Pembantu rabiah: kekasihku ada bersamaku, namu dunia telah memutuskannya.<br />
>Ibn jala': Allah memberi wahyu pada Musa as, "sungguh ketika aku
memberi tahu akan rahasia pada seorang hamba, maka aku tak menemukan
kecintaan pada dunia dan akhirat krn telah penuh kecintaannya padaKU dan
penjagaanKU".<br /> >Ibrahim bin adham: ya Allah, sungguh engkau
mengengetahui bahwa surga tak terbesit padaku sesayap lalat pun, engkau
memulyakanku dg mencintaiMU, dan membahagiakanku dg mengingatMU, dan
memberi waktu agar tafakur pada keagunganMU.<br /> >As-sariy:
barangsiapa cinta Allah maka dia hidup, bila cinta dunia maka akan keras
(hatinya), dan orang bodoh tiap pagi-sore selalu bergantung pada dunia,
dan orang pandai bila mengetahui celanya akan lari darinya.<br /> >Abu
yazid al-bustomi: seorang pecinta tak akan mencintai dunia dan akhirat,
karna cintanya hanya penuh pada penciptanya (Allah).<br /> >Al-khowas: hancurnya segala keinginan, dan terbakarnya sifat ketergantungan dan semua hajat (dunia akhirat).<br /> >Sahl: Allah melunakkan hati seorang hamba karna telah mampu "melihat"NYA setelah faham apa yang diinginkannya.<br />
>Harm bin hibban: orang mukmin tatkala mengetahui Tuhannya maka akan
mencintaiNYA, bila sudah mencinyaiNYA maka akan memfokuskanNYA, dan
ketika menemukan manisnya fokus padaNYA maka tak akan melirik dunia dg
pandangan keinginan (syahwat) dan tak akan melirik akhirat dg pandangan
kesunyian, artinya lemah pada urusan agama dan sibuk urusan akhirat.<br /> <br /> ULAMA-ULAMA LAINNYA<br /> >Selalu mengingatNYA.<br /> >MendahulukanNYA.<br /> >Benci berlama-lama didunia.<br /> >Memaksa hati untuk menemukanNYA, namun melarang lisan untuk menggambarkanNYA.<br /> >Dll<br /> (Ihya ulumuddin IV/477-478)</span></div>
<span class="fcg"></span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
</div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3005384606944964295.post-61782361821104948332012-04-30T08:08:00.000-07:002012-06-21T18:19:19.984-07:00Menjawab kedangkalan, tuduhan dan pembohongan public Abu Ubaidah as-Sidawi terhadap ucapan para ulama madzhab<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<img alt="" class="fbPhotoImage img" height="299" id="fbPhotoImage" src="https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/318587_284830471536571_100000288615904_1100027_1216289574_n.jpg" width="400" />
</div>
<div class="fbPhotoContributorName" id="fbPhotoPageAuthorName" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">
<a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100000288615904" href="https://www.facebook.com/ibnu.alkatibiy" id="js_2"><br />By Ibnu Abdillah Al-Katibiy</a></div>
<div class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoPageCaption" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" tabindex="0">
<span class="hasCaption"><br />
Menjawab kedangkalan, tuduhan dan pembohongan public Abu Ubaidah as-Sidawi terhadap ucapan para ulama madzhab.<br />
<br />
Telah beredar di internet khususnya dalam situs-situs para penentang
madzhab sebuah tulisan yang bersifat sangat profokasi dan merusak
persatuan umat Muslim, tulisan yang berisikan tentang bahaya fanatic
madzhab yang disasarkan kepada jumhur muslimin yang bermadzhab, sungguh
penulisnya yaitu Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi menulisnya berdasarkan :<br />
<br />
1. Kebodohan akan persoalan ijtihad dan madzhab<br />
2. Telah melakukan kebohongan public<br />
3. Pembodohan besar-besaran terhadap pembacanya<br />
4. Memvonis kaum muslimin yang mayoritas ini dengan ta’ashshub pada madzhabnya masing-masing<br />
<br />
Abu Ubaidah telah menunjukkan kedangkalan cara berpikirnya di dalam
memahami persoalan ijtihadiyyah dan mazdhabiyyah, dan kalau mau jujur
semua tulisannya justru berdasarkan taqlid buta kepada para ulama yang
juga kontra terhadap madzhab jumhurul muslimin.<br />
<br />
Di sini al-Faqir akan membongkar pembohongan public Abu Ubaidah di dalam menukil sebuah pujian para ulama atas para imamnya.<br />
<br />
# Di awal tulisan Abu Ubaidah membawakan sebuah syi’ir pujian sebagai berikut :<br />
Abu Ubaidah :<br />
<br />
فَلَعْنَةُ رَبِّنَا أَعْدَادَ رَمْلٍ عَلَى مَنْ رَدَّ قَوْلَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ <br />
<br />
La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir<br />
Terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah.<br />
<br />
Jawaban saya :<br />
<br />
Pertama : Abu Ubaidah salah di dalam menyebutkan sumber dari potongan
bait tsb yang sebenarnya adalah bersumber dari Abdullah bin Mubarak,
beriku kelengkapan baitnya :<br />
<br />
لقد زان البلاد ومن عليها إمام المسلمين أبو حنيفه بأحكام وآثار وفقه
كآيات الزبور على صحيفه فما في المشرقين له نظير ولا في المغربين
ولا بكوفه يبيت مشمرا سهر الليالي وصام نهاره لله خيفه فمن كأبي
حنيفة في علاه إمام للخليفة والخليقه رأيت العائبين له سفاها خلاف
الحق مع حجج ضعيفه وكيف يحل أن يؤذى فقيه له في الأرض آثار شريفه
وقد قال ابن إدريس مقالا صحيح النقل في حكم لطيفه بأن الناس في فقه
عيال على فقه الإمام أبي حنيفه فلعنة ربنا أعداد رمل على من رد قول
أبي حنيفه<br />
(Raddul Mukhtar ‘ala Ad-Durri Al-Mukhtar juz : 1 hal : 61)<br />
<br />
Kedua : Rupanya Abu Ubaidah tidak mengetahui maksud dari potongan bait
Ibnu Al-Mubarak tsb, atau memang ia sengaja membohongi public dengan
menutupi maksud yang sebenarnya.<br />
Inilah syarh / penjelsan dari makna bait tsb :<br />
<br />
( قوله : على من رد قول أبي حنيفة ) أي على من رد ما قاله من الأحكام
الشرعية محتقرا لها ، فإن ذلك موجب للطرد والإبعاد ، لا بمجرد الطعن في
الاستدلال ; لأن الأئمة لم تزل يرد بعضهم قول بعض ، ولا بمجرد الطعن في
الإمام نفسه ، لأن غايته الحرمة فلا يوجب اللعن ، لكن ليس فيه لعن شخص معين
فهو كلعن الكاذبين ونحوهم من العصاة فافهم<br />
<br />
“ Ucapan ; La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir. Terhadap orang
yang menolak perkataan Abu Hanifah. Maksudnya adalah “ Terhadap orang
yang yang menolak dengan merendahkan ucapan Abu Hanifah dari
hukum-hukum syare’atnya, karena hal itu memang mengahruskan penngusiran
dan penolakan (terhadap yg menolaknya hukum syare’at), bukan
semata-mata mencela dari sisi pengambilan dalilnya. Karena sesungguhnya
para imam madzhab memang saling berbeda dengan yang lainnya, dan bukan
karena semata-mata mencela diri pribadi imam tsb, karena hal itu
adalah haram. Dalam bait tsb bukanlah melaknat pada orang tertentu
melainkan seperti melaknta orang2 pendusta, para pelaku maskyiat, maka
pahamilah hal ini “.<br />
(Raddul mukhtar juz 1 hal : 63)<br />
<br />
# Kemudian Abu Ubaidah menukil kalam seorang ulama besar dari kalangan
madhzab Hanbali yaitu Abul Hasan Al-Karkhi dengan bertujuan
meremehkannya dan memvonisnya telah melakukan fanatic buta pada
madzhabnya, berikut petikannya :<br />
<br />
Abul Hasan Al-Karkhiy Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap ayat dan
hadits yang menyelisihi penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka dia
harus dita’wil (diselewengkan artinya) atau mansukh (dihapus
hukumnya)”. (Lihat Ma Laa Yajuzu Al-Khilaf Bainal Muslimin hal. 95).<br />
<br />
Jawaban saya :<br />
<br />
Lagi-lagi Abu Ubaidah hanya meangambil ucapan tersebut dengan
memtong-motongnya. Dan ia pun tak paham maksud dari ucapan tersebut.<br />
Berikut lengkapnya :<br />
<br />
لأصل أن كل آية تخالف قول أصحابنا فإنها تحمل على النسخ أو على الترجيح والأولى أن تحمل على التأويل من جهة التوفيق <br />
<br />
<br />
“ Pokok berikutnya adalah “ Setiap ayat yang menyelisihi pendapat para
ulama kami, maka diarahkan pada naskh atau diarahkan kepada yang lebih
tarjih (kuat), namun yang lebih utama diarahkan pada ta’wil dari sisi
taufiq “. (Usul Al-Karkhi : 84)<br />
<br />
Inilah maksud dari ucapan tersebut :<br />
<br />
والفهم الموضوعي المتجرد لهذا الأصل: يشير بكل بساطة إلى مدى حرص فقهاء
الأحناف – كغيرهم من الفقهاء – في عدم تجاوزهم لنصوص الكتاب والسنة وإن بدا
شيء من ذلك ظاهرا فذلك لوقوفهم على علة في ذلك النص من نسخ أو تأويل أو
ترجيح دعاهم إلى صرف النظر عنه.<br />
<br />
“ Pemahaman yang objektif terhadap pokok tersebut adalah :
Mengisyaratkan sejauh optimisme para ulama fiqih Hanafi (sbgaimana juga
ulama fiqih madzhab lainnya) untuk tidak melampaui nash-nash al-Quran
dan sunnah. Dan jika Nampak perkara yang mnyelisihi terhadap al-Quran
atau sunnah, maka hal itu disebabkan mereka (para ulama) masih meneliti
atau memahami sebuah illat /alasannya di dalam nash tsb yang berupa
naskh, takwil atau tarjih yang mendorong mereka untuk tidak<br />
Mengabaikan hal ini “. (Al-Fikru Al-Ushuli : 122-124)<br />
<br />
Artinya : “ Terkadang ucapan para ulama kita berselisih dengan nash
al-Quran dengan ijma’ (konsesus) para sahabat Nabi Saw, atau ditarjih
dengan hadits. Maka yang dimaksud ucapan di atas adalah takhshis yaitu
mentakhshis ayat dengan hadits dan hal itu sudah hal biasa dalam ilmu
tafsir. Maka jelaslah bahwa ucapan syaikh Abul Hasan bukanlah ta’ashshub
(fanatik) terhadap madzhabnya “.<br />
<br />
Seorang ulama ahli fiqih yang mendalam seperti beliau tidak mungkin
mengatakan harus lebih mendahulukan pendapat ulama ketimbang al-Quran
dan sunnah, sungguh ini tidak mungkin dalam benak beliau.<br />
<br />
Hal ini pun telah dijelaskan maksudnya oleh syaikh Al-Bazdawi :<br />
<br />
وقوله : الأصل أن كل خبر يجيء بخلاف قول أصحابنا فإنه يحمل على النسخ أو
دليل آخر أو ترجيح فيه بما يحتج به أصحابنا من وجوه الترجيح أو يحمل على
التوفيق، وإنما يفعل ذلك على حسب قيام الدليل، فإن قامت دلالة النسخ يحمل
عليه وإن قامت الدلالة على غيره صرنا إليه.<br />
<br />
“ Ucpannya : Prinsip dasar bahwa setiap hadits yang berseberangan
dengan pendapat ulama kita, maka dimungkinkan pada naskh, atau dalil
lain atau ditarjih dengan beberapa wujuh tarjih, atau dimungkinkan
berdasarkan taufiq. Sesungguhnya melakukan hal itu hanyalah sesuai akan
tegagknya dalil. Jika tegak dalil adanya naskh, maka diarahkan ke
naskh, dan jika tegak dalil atas selainnya, maka juga di arahkan kesana
“.<br />
<br />
Dan ini sesuai dengan penafssiran Ibnu Taimiyyah :<br />
<br />
"وليعلم أنه ليس أحد من الأئمة المقبولين عند الأمة قبولا عاما يتعمد
مخالفة رسول الله صلى الله عليه وسلم في شيء من سنته، دقيق ولا جليل، فإنهم
متفقون اتفاقا يقينيا على وجوب اتباع الرسول وعلى أن كل أحد من الناس
يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم ولكن إذا وجد لواحد
منهم قول قد جاء حديث صحيح بخلافه فلا بد له من عذر في تركه .<br />
وجميع الأعذار ثلاثة أصناف :<br />
أحدها : عدم اعتقاده أن النبي صلى الله عليه وسلم قاله .<br />
والثاني : عدم اعتقاده إرادة تلك المسألة بذلك القول .<br />
والثالث : اعتقاده أن ذلك الحكم منسوخ<br />
رفع الملام عن الأئمة الأعلام (1 / 9، 10.<br />
<br />
“ Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada satupun dari para imam madzhab
yang diterima oleh umat secara menyeluruh itu menyalahai Rasulullah Saw
di dalam satu sunnahnya saja baik yang lembut maupun yang jelas. Karena
sesungguhnya mereka bersepakat dengan yakin atas wajibnya mengikuti
Nabi Saw, dan setiap ucapan manusia ditolak kecuali Rasulullah Saw.
Akan tetapi jika menemukan salah satu pendapat mereka yang berselisih
dengan hadits shohih, maka harus ada alasan di dalam meninggalkannya.<br />
<br />
Seluruh alasan ada tiga macam :<br />
<br />
Pertama : Tidak meyakini bahwa Nabi Saw mengatakannya<br />
Kedua : Tidak meyakini menginginkan masalah tersebut dengan ucapan tersebut<br />
Ketiga : Meyakini bahwa hukum tersebut dimansukh (dihapus) “.<br />
(Raf’ul malam ‘an aimmatil a’lam juz : 1 hal : 9-10)<br />
<br />
<br />
# Kemudian Abu Ubaidah menampilkan sebagian ucapan yang masyhur dikalangan Malikiyyah :<br />
<br />
لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكاً لَكَانَ الدِّيْنُ هَالِكًا<br />
“ Seandainy bukan karena Malik, maka agama ini akan hancur “.<br />
<br />
Jawaban saya :<br />
<br />
Sungguh jika Abu Ubaidah menuduh pengikut madzhab imam Malik sebagai
pengikut yang fanatic dan berlebihan atas dasar ucapan tsb, maka dia
telah menuduh dan memvonis mereka atas tuduhan yang bersumber dari
kedangkalan cara berfikirnya tersebut.<br />
<br />
Ucapan tersebut adalah sebuah wujud rasa syukur para pengikutnya atas
anugerah Allah Swt yang diberikan melalui seorang ulama besar bernama
imam Malik, yang telah banyak berjasa dalam syare’at Islam ini, Kaum
muslimin diseluruh penjuru dunia sungguh telah merasakan jasa beliau
dalam hal keagamaan. sehingga agama menjadi kuat sebabnya. Bukan sebuah
ucapan fanatic atau berlebihan. Maka patutlah imam Malik mendapat
pujian semacam itu.<br />
<br />
Ucapan-ucapan senada banyak termaktub di kitab-kitab para ulama, di
anataranya pujian imam Syafi’I kepada imam Abu Hanifah berikut :<br />
<br />
قال ابن حجر : وقال الشافعي رضي الله تعالى عنه : من أراد أن يتبحر في الفقه فهو عيال على أبي حنيفة <br />
“ Ibnu Hajar berkata : Berkata imam Malik Radhiallahu ‘anhu “
Barangsiapa ingin mendalami dalam ilmu fiqih, maka dia butuh (merujuk)
pada Abu Hanifah “ (Raddu al-Mukhtar : 63)<br />
<br />
Dasn juga pujian imam Ahmad bin Hanbal kepada imam Syafi’I berikut :<br />
<br />
قال الإمام أحمد بن حنبل : ما مس أحد محبرة ولا قلما إلا وللشافعي في عنقه منة<br />
“ Imam Ahmad bin Hanbal berkata “ Tidaklah seseorang menyentuh tinta
dan pena kecuali imam terdapat jasa imam Syafi’i di dalamnya “.<br />
<br />
Beranikah Abu Ubaidah mengatakan imam Sayfi’I dan imam Ahmad telah
fanatic buta pada sesorang ?? atau berlebihan di dalam pujian ??<br />
<br />
Tiga bait tersebut telah disebutkan oleh para penulis biografi Ibnu
Taimiyyah yang telah tersebar luas. Ketiga bait tsb, sebenranya justru
terlalu berlebihan di dalam memuji Ibnu Taimiyyah dan terlalu
mengada-ngada. Bagaimana pun hebatnya ibnu taimiyyah al-harrani ia
tetaplah manusia biasa, bukan Nabi dan bukan Rasul<br />
<br />
# Selanjutnya Abu Ubadiah berkata “ Dalam madzhab Syafi’iyyah, imam
Al-Juwaini As-Syafi’i rahimahullah berkata: “Menurut kami, setiap orang
berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di timur maupun barat, jarak
dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab Syafi’i. Bagi orang yang masih
awam dan jahil, mereka harus mengikuti madzhab Syafi’i dan tidak
mencari pengganti lainnya”. (LihatMughitsul Al-Khalq hal. 15-16)<br />
<br />
Jawaban saya :<br />
<br />
Kedangkalan cara berpikir Abu Ubaidah semakin nyata saat menampilkan
kalam Imam Ibnu Juwaini sebagai hujjah untuk memvonis ulama syafi’iyyah
telah berfanatik buta pada gurunya.<br />
Inilah kalam Ibnu Juwaini lengkapnya :<br />
<br />
وقال إمام الحرمين الجويني الشافعي نحن ندعي أن يجب على كافة العاقلين
وعامة المسلمين شرقا وغربا بعدا وقربا انتحال مذهب الشافعي ويجب على العوام
الطغام والجهال الأنذال أيضا انتحال مذهبه بحيث لا يبغون عنه حولا ولا
يريدون به بدلا<br />
<br />
Ucapan beliau menjelaskan akan pentingnya bertaqlid bagi orang awam
kepada seorang ulama yang ahli dalam berijtihad, bahkan menjadi suatu
kewajiban untuk bertaqlid. Dan tidak mengikuti pendapat orang lain yang
tidak ahli dalam berijtihad. Hal ini sudah mnjadi fakta sejarah dari
generasi salaf hingga masa para imam madzhab, bahwa taqlid atau madzhab
adalah sebuah keniscayaan yang tdk bisa diabaikan.<br />
Dalam persoalan ini saya akan membahasnya secara tersendiri, karena
akan butuh penjelsan panjang dan luas dalam persoalan madzhabiyyah.<br />
<br />
# Berikutnya Abu Ubaidah menampilkan kalam sebagian pengikut madzhab Hanbali :<br />
Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika memuji imam Abu Hanifahrahimahullah:<br />
<br />
“Kesimpulanya, imam Abu Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar setelah Al-Qur’an.…”.<br />
(Lihat Ad-Durrul Mukhtar 1/55-58 diringkas dari Zawabi’ fi Wajhi Sunnah
hal. 223 oleh Syaikh Sholah Maqbul Ahmad dan Kutub Hadzara Minha Ulama’
(1/158-167) oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).<br />
<br />
Jawaban saya :<br />
<br />
Sunnguh Abu Ubaidah sebenarnya justru telah taqlid buta dengan mencomot
ucapan tersebut begitu saja dan langsung memvonis tanpa mau memahami
makna yang sebenarnya.<br />
<br />
والحاصل إن أبا حنيفة من أعظم معجزات المصطفى بعد القرآن<br />
<br />
Ucapan imam Muhammad bin ‘Alauddin ini, memang benar adanya. Berdasarkan hadits Nabi Saw yang shohih berikut ini :<br />
عن ابي هريرة رض الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو كان العلم بالثريا لتنواله اناس من ابناء فارس<br />
<br />
Rasulullah Saw bersabda “ Andaikan ilmu agama itu bergantung di bintang
tujuh, niscaya akan dijamah oleh orang-orang dari putra Parsi “.<br />
(HR. Ahmad dan dishohikan oleh Ibnu Hibban : 7309)<br />
<br />
Menurut para ulama seperti al-Hafidz as-Suyuthi dan lain-lain, hadits
tersebut paling tepat sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap imam Abu
Hanifah. Karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari keturunan
Parsi, hanya imam Abu Hanifah yang memiliki reputasi dan popularitas
tertinggi dan diikuti oleh banyak umat dari dulu hingga kini. <br />
Maka pantas beliau disebut bagian dari mu’jiat Nabi Saw, karena sebelum
kelahirannya Nabi Saw telah mengkabarkannya kepada kita dan kabar gaib
ini merupakan mu’jizat Nabi Saw.<br />
<br />
Bahkan kalau kita mau melihat bagaimana para pengagum Ibnu Taimiyyah
Al-Harrani memuji Ibnu Taimiyyah, maka sungguh terlihat mengada-ngada
dan bahkan berlebihan :<br />
<br />
ما ذا يقول الواصفون له # وصفاته جلت عن الحصر<br />
هو حجة لله قاهرة # هو بيننا اعجوبة الدهر<br />
هو اية في الخلق ظاهرة # انوارها اربت على الفجر<br />
<br />
“ Dapatkah mereka melukiskan sifat-sifat Ibu Taimiyyah #<br />
Sedangkan sifat-sifatnya yang terpuji telah melampaui batas.<br />
Dia adalah hujjah Allah yang kokoh #<br />
Dan keajiban masa diantara kami.<br />
Dia adalah ayat yang terang bagi makhluk, cahayanya mengalahkan sinar matahari “.<br />
(kitab Ar-Radul wafer, Ibnu Nashir hal : 96)<br />
<br />
Di dalam Hadist Nabi Saw tak disebutkan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah ayat Allah yang diwahyukan untuk manusia.<br />
Maka beranikah Abu Ubaidah memvonis para pengagum Ibnu Taimiyyah ini
sebagai pengikut yang fanatic buta dan berlebihan kepada Ibnu Taimiyyah
???<br />
<br />
CATATAN :<br />
<br />
Kalau Abu Ubaidah mau jujur, sebenrnya dia sendiri telah melakukan
fanatic buta terhadap orang yang belum jelas keilmuannya, semua
tulisannya hanyalah copas dari sebuah situs berikut ini; <a href="http://www.islamadvice.com/ilm/ilm20.htm" rel="nofollow nofollow" target="_blank"><span>http://</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span><span>www.islamadvice.com/ilm/</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>ilm20.htm</a> yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Indoensia dan sedikit ia tambahkan bukan murni hasil dari ijtihad atau penelitiannya.<br />
<br />
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy) <br />
14. 10.2011</span></div>
</div>wahyuboezhttp://www.blogger.com/profile/06285140832047893413noreply@blogger.com0